Sabtu, 20 April, 2024

Pemerintah Dinilai Gagap Lindungi Anak-anak Korban Tsunami Banten

MONITOR, Jakarta – Bencana Tsunami yang memporak-porandakan kawawan pesisir Kabupaten Pandeglang, Serang dan Juga Lampung Selatan pada Sabtu 22 Desember 2018 telah menimbulkan banyak kerusakan, salah satunya kerusakan infrastruktur. Akibatkan akses untuk menyalurkan bantuan terutama ke kawasan terdampak bencana di wilayah Pandeglang dan Serang jadi terhambat.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak GENERASI, Ena Nurjanah menilai kerusakan infrastruktur akibat bencana selalu menjadi alasan pemerintah atas banyaknya korban yang belum mendapat bantuan.

“Infrastruktur yang buruk selalu dijadikan alasan bagi penerintahan setempat maupun pusat untuk menyatakan betapa sulitnya penanganan terhadap korban. Padahal, seharusnya pemerintah menyadari bahwa kondisi tersebut tidak lepas dari abainya pemerintah terhadap pembangunan di wilayah tersebut,” kata Ena Nurjanah kepada MONITOR, Minggu 30 Desember 2018.

Dikatakan Ena, beberapa wilayah yang masih terisolir diantaranya Cihanggas, Kertajaya, Cipining, Ketapang, Cigerondong, Tamanjaya, dan Paniis.

- Advertisement -

“Desa/dusun ini masih sangat minim mendapat bantuan dari pemerintah. Pasokan makanan, susu untuk bayi, tidur di tenda bersama dengan alas seadanya sementara cuacapun masih belum bersahabat, ketakutan yang masih menghantui mereka, tidak hanya anak-anak bahkan para orangtua pun belum
berani tidur di rumah mereka karena takut potensi tsunami dan juga karena berita hoax yang merajalela di tengah- tengah situasi kebencanaan,”paparnya.

Ena menambahkan, hingga saat ini uluran tangan bagi korban bencana kebanyakan berasal dari kalangan relawan suatu lembaga masyarakat. Bantuan pun seringkali lebih banyak diperuntukan bagi orang dewasa, sementara kebutuhan anak-anak dan bayi sangat minim. Bahkan ada relawan yang mengatakan ketersediaan stock susu sudah habis sampai di kawasan Serang.

“Bencana alam yang terjadi di wilayah Banten bukanlah kejadian yang baru pertama kali. Bahkan bisa dibilang untuk yang kesekian kalinya bencana terjadi di Indonesia. Namun, penanganan terhadap korban bencana masih tetap gagap,” kritik Ena.

“Masih saja kurang ada kesigapan menyegarakan bantuan terhadap korban. Anak-anak selalu menjadi korban yang paling menderita diantara orang dewasa yang menjadi korban bencana. Dalam keadaan bencana kebutuhan dan hak anak-anak akan semakin terreduksi,” tambahnya.

Menurut Ena, pasokan kebutuhan makanan yang selalu diutamakan pemerintah adalah makanan instan dan berbagai kebutuhan untuk orang dewasa. Sementara kebutuhan untuk anak-anak dan balita sangat minim bahkan jarang diprioritaskan.

Sementara, tubuh anak-anak justru paling rentan terhadap serangan penyakit, sedangkan bantuan korban bencana berupa pakaian anak – anak, selimut seringkali sulit diperoleh.

“Apalagi kebutuhan dan juga hak anak untuk bermain, ketika bencana terjadi akses tersebut seringkali hilang. Mereka harus ikut larut dalam keprihatinan yang tidak mereka mengerti. Belum lagi ketakutan yang menghantui anak-anak akan musibah bencana yang mereka alami, menjadi trauma berkepanjangan bagi masa depan anak-anak,” imbuhnya.

Kondisi kebencanaan yang dialami dan dirasakan anak-anak bukanlah sesuatu yang baru diketahui. Kondisi yang dialami anak-anak ini pastinya sudah sangat dikenali dan dipahami oleh pemerintah pusat dan daerah. Namun, kondisi buruk yang dialami anak-anak korban bencana terus saja terjadi seperti sebuah pembiaran. Anak-anak yang merupakan tumpuan bangsa masa depan dibiarkan hak-haknya terabaikan.

Buruknya pembangunan infrastruktur telah memberikan efek domino yang signifikan bagi anak-anak ketika terjadi bencana. Anak-anak yang selama ini sudah berada dalam ketidakcukupan akses pembangunan yang layak, ketika ditimpa bencana mereka semakin menderita karena semakin hilang hak-hak mereka untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Kesehatan mereka terancam, gizi mereka pun akan semakin buruk.

Penanganan terhadap korban bencana tidak hanya pemenuhan terhadap kebutuhan fisik, berupa sandang , pangan dan papan. Namun, para korban bencana tsunami ini pun mengalami kondisi psikis yang terguncang akibat bencana tsunami yang mereka alami. Mereka butuh penanganan psikososial agar bisa kembali hidup normal. Mereka butuh bantuan tenaga ahli maupun relawan yang bisa menetralkan kembali kondisi mereka dari kondisi psikis yang tertekan yang mempengaruhi aktivitas keseharian mereka.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER