Kamis, 25 April, 2024

Generasi Milenial, Penentu Kemenangan Capres Menuju Istana

Oleh: Djoni Gunanto, M.Si

Di tahun politik 2018 dan 2019, generasi milenial menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Generasi milenial atau sering disebut generasi Y adalah sekelompok orang yang lahir setelah generasi X, terlahir pada kisaran tahun 1980-2000-an. Anak muda umumnya apatis bahkan menganggap politik adalah dunia nista.

Partai politik selayaknya terlecut untuk menggaet anak muda. Menurut Tapscott (2009), ada tiga pembagian generasi, yakni generasi X (1965-1976), generasi Y (1977-1997), dan generasi Z (1998-sekarang). Artinya, generasi milenial berumur antara 17-37 tahun. Generasi ini sangat berbeda dari generasi sebelumnya, terutama dalam penguasaan teknologi.

Menurut Alexis de Toqcueville (2013), di negara demokrasi, setiap generasi adalah manusia baru. Generasi baru ini pun mengisi kekosongan gerakan politik Indonesia pasca-Orde Baru. Generasi milenial adalah satu-satunya generasi yang disebut “digital native”, lahir dan tumbuh berbarengan dengan berkembangnya teknologi.

- Advertisement -

Generasi ini lebih berpendidikan, terbuka pada perubahan terutama pada perubahan iklim, hingga kebijakan pelayanan kesehatan. Mereka menggunakan media sosial dan internet untuk berkomunikasi yang selangkah lebih maju dari generasi sebelumnya.

Sebagai bagian dari perjalanan berbangsa dan bernegara, generasi milenial menjadi bagian dari anak bangsa yang penting. Selain mereka kelak akan melanjutkan kepemimpinan bangsa ini, populasi mereka yang besar tidak dapat diabaikan dalam perhelatan pilkada dan pemilu. Agar generasi milenial melek politik dan mau terlibat dalam kehidupan politik, mereka harus mendapatkan pendidikan politik. Perilaku pemilih muda umumnya cenderung rasional. Dalam diri kaum muda memiliki kemampuan mengakses beragam media guna memperoleh informasi.

Demokratisasi dewasa ini pun lebih banyak digerakkan oleh internet. Pendidikan politik generasi muda tidak didapat dengan cara-cara konvensional melainkan melalui media sosial. Kecenderungan politik ditandai dengan tren global dalam mewujudkan demokrasi partisipatoris. Sehingga transformasi politik terhubung ke internet dan memberikan akses yang bersifat personal.

Yang menjadi persoalan, apakah partai politik konsisten memberikan pendidikan politik kepada mereka? Terpotret sekarang bahwa partai politik tidak mempunyai strategi jitu mendekati generasi milenial ini. Dengan karakternya yang berbeda, generasi milenial bukanlah pemilih instan seper ti anggapan partai politik selama ini. Partai politik cenderung melakukan pendekatan kepada pemilih, termasuk kaum muda dan pemilih pemula, hanya ketika sedang ada maunya.

Ketika dukungan dan kekuasaan sudah diraih, pemilih ditinggalkan. Kerapkali partai juga secara pragmatis beranggapan dengan bagibagi uang dan sembako, maka suara dukungan dapat diraih. Generasi milenial sadar betul tindakan pembodohan partai hanya merugikan bangsa ini.

Oleh karena itu, pendidikan politik kepada generasi milenial adalah penting. Sebab, bukan tidak mungkin dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, generasi milenial tidak memberikan suaranya karena merasa program partai tidak menyentuh atau terlalu banyak janji yang sulit terpenuhi. Bisa jadi mereka tidak berpartisipasi dalam perhelatan politik ketika mereka tidak mendapatkan pencerahan politik.

Literasi politik dapat diberikan baik melalui media sosial maupun internet yang bersinggungan langsung dengan kaum milenial. Mereka adalah pengawal perubahan. Mencerdaskan mereka dalam berpolitik merupakan investasi yang berharga untuk perubahan di masa depan.

Karakter Generasi Milenial
pertama, mereka lebih melek teknologi tetapi cenderung apolitis terhadap politik. Mereka tidak loyal kepada partai, sulit tunduk dan patuh instruksi. Generasi milenial cenderung tidak mudah percaya pada elite politik, terutama yang terjerat korupsi dan mempermainkan isu negatif di media sosial.

Kedua, generasi milenial cenderung berubah-ubah dalam memberikan hak politiknya. Mereka cenderung lebih rasional, menyukai perubahan dan antikemapanan. Mereka cenderung menyalurkan hak politik kepada partai yang menyentuh kepentingan dan aspirasi mereka sebagai generasi muda
Penetrasi Milenial terhadap informasi
Terdapat perbedaan antara akses media online antara milenial dan non milenial sekitar 54.3 % milenial mengaku setiap hari mengakses media online dan hanya 11.9 % non milenial yang membaca online.

*Penulis merupakan Dosen Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta 

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER