Direktur Eksektutif Trilogia Institute Wakil Sekretaris LHKP PP Muhammadiyah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Muh Fitrah Yunus. (Ist)
Oleh: Muh Fitrah Yunus
Andai saya diberi pilihan, antara negara ini menjadi ladang uji coba vaksin dari hibah sang dermawan dunia, Bill Gates, atau menerima sokongan dana dari dunia internasional demi tegaknya suara rakyat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat, tanpa sedikitpun ragu, saya condong memilih yang kedua. Sebab bagi saya, demokrasi yang tegak karena kesadaran dan partisipasi rakyat jauh lebih bernilai daripada eksperimen yang menjadikan manusia sebatas objek.
Alasannya sederhana, Lembaga Swadaya Masyarakat memegang peran strategis dalam menyalakan obor demokrasi dan menata ulang arah tata kelola pemerintahan yang berpihak pada rakyat. Bila kita mendambakan sebuah sistem negara yang sehat dan berkeadaban, maka kehadiran LSM bukan sekadar penting melainkan esensial, sebagai penyeimbang kekuasaan dan penjaga akal sehat dalam ruang-ruang kekuasaan.
Meski telah berlalu sejak Presiden Prabowo melontarkan tudingan bahwa LSM dibiayai pihak asing untuk mengadu domba sesama anak bangsa, penulis merasa belum terlambat untuk menyampaikan pandangan. Dalam hemat penulis, pernyataan itu adalah sebuah generalisasi yang keliru. Alih-alih menguatkan demokrasi, justru melemahkannya. Sebab, jika direnungi lebih dalam, kehadiran LSM telah memberi banyak manfaat bagi masyarakat, dan secara tidak langsung, turut memperkokoh fondasi negara. Maka sejatinya, tak perlu ada kecurigaan yang justru menutup ruang bagi partisipasi sipil yang kritis dan konstruktif.
Pilar Utama Demokrasi
Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America (1835) menyebut Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ibarat tiang kokoh yang menyangga bangunan demokrasi. Ia menempatkan masyarakat sipil sebagai kekuatan penyeimbang, penjaga batas antara kehendak mayoritas yang berpotensi menjadi tirani dan kekuasaan negara yang sangat mungkin menjelma otoritarian.
Dalam wujudnya sebagai asosiasi maupun lembaga, LSM menjadi jembatan yang menghubungkan suara rakyat dengan ruang-ruang pengambilan keputusan, sekaligus benteng yang melindungi kebebasan tiap individu dari intervensi kekuasaan yang melampaui batas. Melalui semangat advokasi, pendidikan publik, hingga pendampingan komunitas, LSM hingga saat ini membuka kanal partisipasi yang memungkinkan warga negara ikut membentuk arah kebijakan yang menyentuh kehidupan mereka sehari-hari.
Dalam sejarahnya, banyak LSM hadir sebagai garda terdepan yang menantang kesewenang-wenangan, menyoroti pelanggaran hak, dan memperjuangkan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan. Peran ini tentu memperkuat legitimasi demokrasi itu sendiri, menjadikannya bukan sekadar sistem politik, tetapi praktik hidup bersama yang menghargai keberagaman suara dan kepentingan.
Ambil saja contoh YLBHI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Sebagai lembaga yang teguh berdiri di sisi rakyat, YLBHI telah lama menjadi tiang penyangga keadilan, bukan hanya bagi masyarakat kecil yang tertindas, tetapi juga bagi marwah negara hukum itu sendiri. Tak terhitung sudah berapa banyak bantuan hukum yang mereka berikan, terutama kepada mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Semua itu dilakukan tanpa pamrih, tanpa imbalan sepeser pun. Semata-mata demi menegakkan hak dan demi merawat harapan.
Selain YLBHI ada KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). KontraS berperan penting dalam mengadvokasi masyarakat korban pelanggaran HAM. Salah satu isu paling mendesak dan ikonik yang ditangani KontraS sejak awal adalah kasus penculikan dan penghilangan paksa para aktivis pro demokrasi pada tahun 1997-1998. KontraS juga secara aktif mengumpulkan data, kesaksian, dan bukti-bukti terkait berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di bawah Orde Baru, termasuk kasus-kasus kekerasan militer, penyiksaan, dan pembunuhan di berbagai daerah. Tentu apa yang diperjuangkan KonstraS adalah tentang kemanusiaan, sebagai bukti menegakkan amanat Pancasila dan UUD 1945.
Komunitas Kewargaan
Kehadiran LSM sebagai pilar utama demokrasi tentu akan membangun komunitas kewargaan (civic community) yang kuat sebagai “modal sosial”. Tujuannya tak lain untuk membangun kepercayaan, solidaritas, dan kolaborasi antara masyarakat dan pemerintah (civic engagement).
Robert Putnam dalam Making Democracy Work (1993), menyebut modal sosial adalah jaringan, norma, dan kepercayaan timbal balik yang memudahkan koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama. Setidaknya ada tiga peran penting LSM, menurut Putnam: Pertama, memperkuat jaringan sosial horizontal untuk menciptakan solidaritas dan kepercayaan. Kedua, mendorong partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan publik. Dan yang ketiga, menumbuhkan budaya kewargaan yang tidak hanya menekankan hak dan tanggung jawab, tapi juga kepudulian kolektif.
Faktanya, sampai hari ini, LSM hadir untuk kemanusiaan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Dalam konstitusi, pun telah mengatur betapa pentingnya kehadiran LSM. Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 menjamin kebebasan setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, yang merupakan landasan konstitusional bagi pendirian dan keberadaan LSM.
Adu Gagasan
Penting digaris bawahi bersama bahwa kehadiran LSM itu bukan untuk mengadu domba, tapi mengadu gagasan. LSM menjadi ruang intelektual yang mengedepankan diskusi, riset dan advokasi. Dengan data dan solusi konkret, LSM menyuarakan kepentingan masyarakat.
Hidup di ruang demokrasi sudah barang tentu akan menghadirkan ring adu gagasan. Dinamika demokrasi yang hidup dan progresif itu ditandai dengan adanya adu gagasan yang sehat antara LSM, pemerintah dan semua pemangku kepentingan lainnya. Jika tidak, maka yang terjadi adalah hilangnya kontrol sosial, sehingga pemerintah berpotensi sewenang-wenang, bertindak tanpa pengawasan, dan bahkan menyimpang dari kepentingan rakyat. Habermas (1962) menyimplikasinya dengan tegas bahwa jika ruang adu gagasan ditutup, maka ruang publik berubah wujud menjadi tidak demokratis.
Disamping itu, dampak buruk lainnya yaitu kebijakan publik akan lebih elitis dan tidak responsif. Kebijakan yang diambil pemerintah cenderung top-down dan tidak mempertimbangkan kebutuhan. Akhirnya, program-program pembangunan tidak tepat sasaran, bahkan selalu menimbulkan konflik sosial.
Ironisnya lagi, jika adu gagasan itu tidak ada, kualitas tata kelola pemerintahan akan menurun. Pemerintah akan kehilangan sarana perspektif alternatif yang penting dalam membentuk kebijakan inklusif dan berkelanjutan.
Beda halnya jika pemerintah saat ini sengaja membangun pemeritahan otoriter, diksi “mengadu domba” yang dilekatkan pada LSM kerap menjadi tanda mewujudkannya. Semoga saja tidak!
Penulis Adalah: Direktur Eksekutif Trilogia Institute Wakil Sekretaris LHKPKP Muhammadiyah Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
MONITOR, Jakarta - Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto menghadiri acara ceramah rohani Islam dalam…
MONITOR, Jakarta - DPR memberi peringatan agar kerja sama antara Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan sejumlah…
MONITOR, Jakarta - Direktur Utama Jasa Marga Rivan Achmad Purwantono menyampaikan sebanyak 380.721 kendaraan kembali…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal memberikan sejumlah catatan terhadap…
MONITOR, Jakarta - Jasamarga Nusantara Tollroad Regional Division (JNT/Regional Nusantara) mendata peningkatan volume lalu lintas…
MONITOR, Jakarta - Analis Intelijen, Pertahanan dan Keamanan Ngasiman Djoyonegoro melakukan soft launching buku 'Polri…