Selasa, 30 April, 2024

Green Economy dan Akar Rumput: Sudahkah Berjalan Seperti yang Diharapkan?

MONITOR – Green economy menjadi topik yang hangat dibahas dimana-mana akhir-akhir ini. Meski fondasi pemikiran dari green economy ini telah ada sejak lama, didorong oleh pengesahan program Sustainable Development Goals yang disahkan oleh PBB pada 25 September 2015, pembahasan mengenai green economy yang dirasa selaras dengan SDG’s mulai banyak dibicarakan lagi. Konsep ini dicanangkan oleh pemikir barat dan tentu penerapannya di Indonesia sendiri butuh perhatian khusus, mengingat luasnya wilayah dan banyaknya penduduk di tanah air sendiri.

Seminar daring yang dilaksanakan oleh Yayasan Menggiring Arus Dunia pada Sabtu (17/12) dengan tema “Green Economy dan Masyarakat Adat” ini mengulas hal tersebut. Seminar daring ini diikuti oleh mahasiswa dan pakar dari seluruh Indonesia, serta menghadirkan dua pembicara yang kompeten di bidang ini.

Pembicara pertama adalah Nur Cholis, direktur eksekutif dari ESWKA Foundation yang bergerak di bidang riset mengenai pengembangan berkelanjutan dan green economy dan Ayaturahman, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN Bima yang berfokus pada masyarakat adat yang berlokasi di Bima.

Nur Cholis menjelaskan bahwa konsep green economy ini adalah pembangunan ekonomi yang “tidak melupakan alam”. Konsep ini mengusahakan bagaimana ekonomi tetap berjalan dan bertumbuh namun disisi lain juga memikirkan bagaimana bumi tempat manusia tinggal ini juga masih terjaga.

- Advertisement -

“Kesempatan kerja luas, pertumbuhan pendapatan yang stabil, penekanan emisi gas karbon, serta usaha untuk mencari dan menggunakan energi baru terbarukan menjadi hal yang diinginkan oleh konseptor green economy,” terangnya.

Hal yang perlu disoroti adalah pabrik-pabrik yang menghasilkan banyak zat sisa yang merusak lingkungan. “Industri-industri menghabiskan banyak energi fosil. Diperkirakan 35% alokasi penggunaan energi dunia digunakan oleh pabrik-pabrik di seluruh dunia. Nah, green economy berusaha bagaimana limbah tersebut bisa dimanfaatkan kembali”, jelas Nur Cholis.

Lebih lanjut, menurutnya yang menjadi pendorong memburuknya kualitas lingkungan hidup adalah urban societty atau masyarakat perkotaan yang konsumtif. Diperkirakan 50% penduduk perkotaan mengonsumsi 60-80% energi yang menghasilkan emisi karbon sebesar 75%. Masyarakat adat, yang menggunakan sedikit sekali energi, menurutnya jauh lebih baik daripada masyarakat urban. Lebih lanjut, ia lebih kagum kepada masyarakat adat karena sangat menjaga lingkungan hidupnya.

“Masyarakat adat hidupnya jauh lebih visioner dibandingkan masyarakat modern. Masyarakat adat telah melakukan konsep SDG’s jauh terlebih dulu. Mereka bahkan menganggap lingkungan adalah satu hal yang wajib dijaga” katanya.

Sejalan dengan yang disampaikan oleh Nur Cholis, Ayaturahman, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Bima juga setuju bahwa masyarakat di pedesaan sangat mementingkan lingkungan mereka tinggal. Masyarakat adat cenderung tidak percaya dengan konsep green economy yang pernah disosialisasikan oleh pemerintah. Ia melihat bahwa masyarakat adat sendiri telah melakukan apa yang diusahakan oleh para pegiat green economy dalam skala kecil.

Masyarakat adat mengambil sesuatu dari alam secukupnya. Bahkan ketika membangun rumah pun, masyarakat adat memperhitungkan segala sesuatunya agar tanah tempat tinggal mereka tidak rusak dan berkurang apa pun. Mirisnya, sosialisasi SDG’s dan usaha penerapan green economy dari pemerintah tidak memberi efek yang signifikan. Dia menilai bahwa pemerintah acapkali lupa melibatkan masyarakat adat ketika ingin melindungi lingkungan. Administrasi yang berbelit-belit dan kerja sama dengan korporasi membuat berbagai usaha perlindungan alam menjadi tidak maksimal.

“Fakta yang dilihat di lapangan sebenarnya adalah masyarakat adat itu sendiri yang mengusahakan green economy. Kami berusaha untuk mengambil manfaat sekaligus melindungi alam. Negara hanya melibatkan masyarakat adat secara seremonial saja, tentang bagaimana proses berlanjutnya program yang telah dicanangkan kurang jelas”, terangnya.

Terlepas dari semua itu, integrasi antara pemerintah dan masyarakat luas serta stakeholder-stakeholder diharap akan mampu mewujudkan green economy berjalan lancar di Indonesia ini. Harapan ini tentu akan terwujud ketika semua pihak saling membahu-satu sama lain untuk mewujudkan tujuan tersebut di Indonesia ini.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER