Senin, 29 April, 2024

Prof Rokhmin di Forum ICFA dorong Penerapan Ekonomi Biru untuk Akuakultur dan Perikanan Tangkap Berkelanjutan

MONITOR – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri MS menjadi narasumber dalam acara 10th International Conference on Fisheries and Aquaculture (ICFA) 2023 “Towards Improving Climate Resilience Of Aquaculture And Fisheries In The Blue Economy” The International Institute of Knowledge Management, Bali, 24-25 Oktobeber 2023.

Dalam paparan makalahnya yang berjudul “Penerapan Ekonomi Biru Untuk Pembangunan Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap Berkelanjutan di Era Perubahan Iklim Global”, mantan menteri kelautan dan perikanan itu menuturkan bahwa permintaan terhadap produk dan jasa yang berkualitas semakin meningkat didorong oleh meningkatnya jumlah populasi manusia, daya beli masyarakat, dan gaya hidup yang konsumtif. Permintaan terhadap produk dan jasa tidak hanya mencakup kebutuhan dasar manusia yang meliputi pangan, sandang, perumahan, pelayanan kesehatan, dan pendidikan namun juga kebutuhan sekunder dan tersier seperti transportasi, telepon seluler, komputer, kosmetik, kesehatan, rekreasi, dan pariwisata.

“Dunia perlu memproduksi setidaknya 50% lebih banyak pangan untuk memberi makan 9 miliar orang pada tahun 2050. Namun perubahan iklim dapat mengurangi hasil panen hingga lebih dari 25%. Sementara pada sisi lain lahan, keanekaragaman hayati, lautan, hutan, dan bentuk-bentuk kekayaan alam lainnya sedang mengalami pengikisan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya,” katanya. 

Menurut Prof Rokhmin, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat; seluruh sektor pembangunan termasuk perikanan budidaya dan perikanan tangkap harus mampu meningkatkan produksi, produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan.

- Advertisement -

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, sejak awal abad ke-20, perikanan tangkap dan akuakultur telah memainkan peran penting dalam menyediakan pangan (terutama protein hewani), meningkatkan nutrisi dan pola makan yang sehat, menciptakan lapangan kerja (kesempatan kerja), dan mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia.

“Sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan populasi manusia, meningkatnya pendapatan, meningkatnya kesadaran mengenai manfaat kesehatan yang lebih baik dari makanan akuatik (ikan dan makanan laut) dibandingkan makanan yang hanya dikonsumsi (misalnya daging sapi, ayam, dan babi), dan stagnasi atau penurunan produksi peternakan dan pertanian di seluruh dunia. Peran perikanan budidaya dan perikanan tangkap dalam menjamin ketahanan pangan dan nutrisi, menyediakan lapangan kerja, dan mengentaskan kemiskinan akan menjadi lebih penting di masa depan,” tuturnya.

Ekonomi Biru

Pada kesempatan tersebut, ketua umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu juga menjabarkan ekonomi biru yakni kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (up land area) yang memanfaatkan sumber daya alam pesisir dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan umat manusia secara berkelanjutan.

Menurut Rokhmin, potensi ekonomi biru (Blue Economy) Indonesia sangat besar dengan total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN tahun 2022 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional tahun 2022. “Blue Economy Indonesia bisa menyediakan lapangan kerja untuk  45 juta orang atau 30 persen  total angkatan kerja Indonesia,” ujarnya.

Namun, potensi yang amat besar itu belum dimaksimalkan. Sebagai contoh, kata Prof Rokhmin Dahuri, pada tahun 2018, kontribusi ekonomi kelautan terhadap PDB Indonesia berkisar 10,4%. “Negara lain yang potensi kelautannya lebih sedikit (seperti Thailand, Korea Selatan, Jepang, Maladewa, Norwegia, dan Islandia), memberikan kontribusi >30%,” papar ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Sayangnya, penerapan blue economy di Indonesia yang masih belum optimal padahal memiliki potensi yang sangat besar untuk pembangunan bangsa. Prof. Rokhmin Dahuri memperkirakan ada sejumlah hal yang mendasarinya. Salah satunya adalah masyarakat Indonesia yang enggan keluar dari  zona nyaman. “Orang Indonesia senang di zona nyaman. Nyaman dengan budidaya konvensional lalu tidak ada pengembangan,” ujarnya.

Mitigasi Perubahan Iklim adalah tindakan apapun yang diambil untuk secara permanen menghilangkan atau mengurangi risiko dan bahaya jangka panjang perubahan iklim terhadap kehidupan manusia dan harta benda. 

Panel Internasional tentang Perubahan Iklim (IPCC) mendefinisikan mitigasi sebagai: “Intervensi antropogenik untuk mengurangi sumber atau meningkatkan penyerapan gas rumah kaca”

Pemerintah Indonesia telah secara sukarela berjanji untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 26% melalui usahanya sendiri, dan hingga 41% dengan dukungan internasional, dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030.
Indonesia telah mengumumkan instrumen hukum dan kebijakan yang relevan, termasuk rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (PERPRES) No. 61/2011 dan inventarisasi GRK

Adaptasi Perubahan Iklim mengacu pada kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim (termasuk variabilitas dan iklim ekstrem) untuk mengurangi potensi kerusakan, memanfaatkan peluang, atau mengatasi konsekuensinya IPCC mendefinisikan adaptasi sebagai, “penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap lingkungan baru atau perubahan. 

“Adaptasi terhadap perubahan iklim mengacu pada penyesuaian sistem alam atau manusia sebagai respons terhadap rangsangan iklim aktual atau yang diharapkan atau dampaknya, yang mengurangi dampak buruk atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER