Jumat, 19 April, 2024

Gejolak Covid-19 Mengguncang Dunia

Muhammad Sutisna S.Sos *

Hampir 4 bulan lebih dunia saat ini dirundung pilu terkait munculnya virus Covid-19 yang pada pertengahan Maret lalu baru saja ditetapkan WHO sebagai pandemik global.

Secara pengertiannya Pandemi menurut WHO merupakan sebuah fenomena penyakit yang tingkat penyebarannya sudah meluas ke banyak orang di beberapa negara dalam waktu yang bersamaan.

Pada awalnya Virus ini ditemukan pada akhir 2019 silam, ketika kasus pertama kali melanda wilayah Wuhan yang terletak di Provinsi Hubei, Tiongkok. Namun, bukan hanya Tiongkok saja yang memiliki kasus penyebaran virus ini, tapi hampir seluruh negara di belahan dunia mengalami situasi yang sama untuk bertarung menghadapi virus ini.

Bahkan menurut data worldmeter per 7 April saat ini sudah ada 1.374.610 kasus, dengan jumlah kematian 77.316 jiwa dan yang berhasil disembuhkan sekitar 259.637 jiwa, dimana kasus ini sudah menyebar dihampir 209 negara.

Kondisi seperti ini menyebabkan setiap negara yang terdampak harus fokus mengatasinya, supaya penyebaran tidak terlalu meluas dan bagi yang sudah terpapar bisa disembuhkan.

Sehingga banyak aktifitas masyarakat yang terhenti,
khususnya aktifitas perekonomian yang merupakan aktifitas yang paling vital bagi masyarakat dunia. Sehingga banyak aspek yang terkena dampak bukan hanya dari segi kesehatannya saja, akan tetapi kondisi sosial dan ekonomi masyarakat juga terkena dampaknya.

Bahkan pemerintah Tiongkok, tidak lama berselang terjadinya kasus pertama di wilayah Wuhan melakukan kebijakan lockdown (karantina wilayah).

Seperti yang dilansir oleh China South Morning Post, Tepatnya pada tanggal 23 Januari 2020 Pemerintah Tiongkok menutup akses keseluruh wilayah Wuhan baik jalur penerbangan, maupun jalur darat untuk mencegah penyebaran virus secara meluas.

Kebijakan tersebut dinilai sangat efektif untuk memperlambat penyebaran virus, tepatnya dipertengahan Februari adanya penurunan kasus yang cukup signifikan.

Namun, dibalik kebijakan tersebut berdampak besar terhadap eskalasi konflik sosial dan ekonomi. Karena masyarakat yang biasanya bekerja, mengharuskan untuk tetap di rumah, otomatis mereka kehilangan pekerjaannya, sementara kebutuhan hidup harus terpenuhi, serta perusahaan-perusahaan terancam bangkrut karena tidak adanya pemasukan akibat terhentinya produksi dan rendahnya permintaan pasar.

Oleh karena itu, untuk meminimalisir dampak sosial dan ekonomi tersebut, pada Februari silam pemerintah Tiongkok bergerak cepat dengan menggelontorkan dana stimulus sebesar RMB 1,2 Triliun ($ 174 Miliar), memaksimalkan transaksi non tunai (e-commerce), memperkuat sektor UMKM, serta mendorong industry tekstil yang biasanya memproduksi pakaian didorong untuk memproduksi masker dan APD (Alat Pelindung Diri) agar perekonomian tetap stabil.

Langkah tersebut dinilai sangat efektif, terbukti semenjak dicabutnya lockdown di Provinsi Hubei akhir Maret silam, dan menjelang dicabutnya lockdown secara Nasional pada 8 April 2020 (CGTN:2020), dimana sudah tidak ada lagi kasus penyebaran hingga zero case dan aktifitas mulai berangsur normal, dan secara perekonomian sudah berangsur membaik.

Namun, kebijakan lockdown atau karantina wilayah ini tidak semua negara berjalan efektif. Bahkan semenjak 9 Maret 2020 pemerintah Italia menerapkan kebijakan tersebut. kasus terus melonjak meskipun saat ini adanya penurunan kasus meskipun tidak signifikan.

Begitu juga dengan Spanyol yang memberlakukan lockdown pada 14 Maret 2020, belum ada tanda tanda penurunan kasus. Bahkan Saat ini Spanyol menempati urutan kedua dengan jumlah kasus sebesar 140,511 kasus dan Italia di urutan ketiga dengan jumlah kasus sebesar 132,547.

Bahkan sebulan menjelang pasca ditetapkannya lockcdown di Italia, sudah banyak gejolak sosial terjadi, seperti adanya seruan dari kelompok gangster yang memanfaatkan situasi ini untuk memprovokasi massa agar melakukan tindakan penjarahan, karena banyaknya persediaan logstik warga yang sudah menipis (kompas.com).

Namun, ada juga beberapa negara yang tidak memberlakukan lockdown seperti Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Mungkin berkaca dari situasi yang terjadi di Eropa, dimana mayoritas negara negara di Eropa memberlakukan lockdown. Namun lockdown malahan menimbulkan masalah baru yang harus dihadapi negara negara saat ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada awal Maret silam, muncul pertanyaan apakah Indonesia akan tetap bertahan dan kuat menghadapi situasi.

Dimana, banyaknya negara negara yang sudah mulai kelimpungan karena Covid-19, sehingga Pemerintah di berbagai negara termasuk Indonesia harus berputar otak agar bisa menyelesaikan permasalahan ini.

Berbagai kebijakan sudah ditempuh oleh Pemerintah Pusat dengan mengkoordinasi kepada pemerintah daerah dalam mengatasi pandemi ini, mulai dari menetapkan situasi darurat nasional seperti meliburkan kegiatan Pendidikan di sekolah sekolah maupun kampus, seruan bekerja dari rumah, membatasi perjumpaan sosial masyarakat secara besar besaran, melakukan test rapid secara massal, hingga mendirikan rumah sakit darurat (wisma Atlet Kemayoran yang sementara dijadikan rumah sakit), serta rumah sakit khusus penanganan Covid-19 di Pulau Galang.

Selain itu, seruan untuk menerapkan lockdown atau karantina wilayah dari berbagai kalangan masyarakat untuk memotong mata rantai penyebaran virus sempat bergema di media sosial.

Meskipun secara realitas hal itu tidak bisa dilakukan karena ada sebagian besar masyarakat kita bekerja di sektor informal, yang sangat sulit untuk melakukan pekerjaan dari rumah. Seperti para pedagang, ojek online dan sektor lainnya.

Sehingga saat ini pemerintah mengimbau kepada masyarakat untuk membatasi perjumpaan sosial, meskipun hal tersebut dinilai belum efektif memutus mata rantai penyebaran virus karena hingga saat ini kasus di Indonesia terus bertambah, dimana sudah ada 2965 kasus, dengan jumlah korban meninggal 240, dan yang berhasil disembuhkan ada 222 orang.

Hal itu menunjukan bahwa kesadaran masyarakat untuk mentaati kebijakan pemerintah sangat kurang. Perlu adanya kesadaran sosial secara bersama agar virus ini segera mereda di negara kita.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita memaksimalkan segenap komponen yang dimiliki bangsa ini untuk melawan Covid-19. Dengan cara melibatkan seluruh komponen ketahanan nasionalnya.

Sesuai dengan amanat Pancasila yang termaktub di dalam sila ke tiga, yakni persatuan Indonesia. Dan inilah yang tidak dimiliki oleh negara lain, yakni semangat gotong royong.

Hal itu terbukti pada saat ini banyaknya masyarakat yang terjun langsung baik para tokoh, influencer maupun masyarakat lainnya melakukan kegiatan amal, seperti membantu masyarakat kurang mampu yang terkena dampak Covid-19 secara tidak langsung, dan memberikan bantuan alat kesehatan kepada petugas di rumah sakit.

Selain itu pemerintah juga harus lebih serius mendorong para pelaku industry tekstil untuk membuat APD dan masker. Selain sebagai stimulus bagi para pegiat industri karena sudah kembali berproduksi, hal tersebut juga sangat membantu bagi para petugas kesehatan yang masih banyak kekurangan alat kesehatan untuk melindungi dirinya ketika sedang bertugas.

Sehingga dalam situasi sulit seperti ini sangat tidak elok bagi kita sebagai warga bangsa, saling tuding siapa yang paling bersalah. Namun, yang lebih penting adalah saling bahu membahu memaksimalkan potensi yang kita miliki sesuai dengan bidang yang kita geluti.

Atau kalau belum bisa berbuat sesuatu, minimal mengikuti imbauan pemerintah untuk tetap di rumah. Karena dalam menyelesaikan Covid 19 ini perang melawan Covid-19 bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan semua elemen kehidupan berbangsa dan bernegara.

- Advertisement -

Penulis merupakan Mahasiswa S2 Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER