Jumat, 22 November, 2024

Spesies Hiu Berjalan di Indonesia masih mengalami Proses Evolusi

MONITOR, Jakarta – Sejumlah spesies hiu berjalan (walking shark) di Indonesia diperkirakan masih akan mengalami proses evolusi. Hal ini berdasarkan hasil penelitian terbaru yang dirilis hari ini di jurnal Marine and Freshwater Research. Penelitian ini dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO), University of Queensland, University of Florida, dan Conservation International.

Studi ini memperkirakan bahwa sejumlah spesies hiu berjalan yang dijumpai di bagian barat dari Pulau Nugini – diantaranya adalah hiu berjalan Raja Ampat dan Halmahera – masih dalam proses diferensiasi. Namun demikian masih belum dapat diketahui kapan tepatnya spesies-spesies tersebut akan berevolusi mengingat evolusi sendiri merupakan proses yang cukup lama.

“Enam dari spesies hiu berjalan di dunia dapat dijumpai di Indonesia, dengan kata lain Indonesia adalah rumah bagi hiu berjalan. Mengingat spesies-spesies tersebut merupakan endemik maka Pemerintah Indonesia harus bangga, dan perlu memastikan bahwa jenis hiu unik ini serta habitatnya dilindungi,” ujar Fahmi, salah satu penulis penelitian dan peneliti senior di LIPI.

“Penelitian ini lagi-lagi menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman hayati laut kita sangat tinggi. Temuan ini menjadi tahap awal yang baik bagi peneliti, pemerintah, dan LSM di Indonesia untuk dapat lebih memahami mengenai spesies unik ini,” kata Andi Rusandi, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

- Advertisement -

Temuan lainnya dari penelitian ini adalah hiu berjalan merupakan spesies hiu yang terakhir berevolusi. Mereka diperkirakan berevolusi sekitar 9 juta tahun yang lalu. Hal ini menjadikan mereka sebagai spesies hiu yang paling muda karena sebagian besar spesies hiu terakhir berevolusi sekitar 200 juta tahun yang lalu.

“Melalui pendekatan filogeni molekuler, kami dapat memperkirakan kapan mereka berevolusi serta menyelidiki proses yang mengarah pada spesiasi – proses terbentuknya spesies baru. Kami menemukan bahwa perubahan permukaan laut, formasi terumbu karang baru, dan daratan memainkan peran,” jelas Dr. Christine Dudgeon, penulis utama dan peneliti dari University of Queensland.

“Genus hiu berjalan merepresentasikan proses radiasi terkini dari jenis-jenis hiu lainnya dan diperkirakan bahwa proses diferensiasi masih berlangsung di wilayah Barat dari Pulau Nugini. Hiu berjalan memberikan kita kesempatan langka untuk melihat bagaimana proses evolusi pada spesies hiu yang telah ada sebelum dinosaurus muncul,” tambah Gavin Naylor, salah satu penulis dan Direktur Program Florida untuk Penelitian Hiu di Florida Museum of Natural History.

Spesies hiu berjalan di Indonesia pertama kali dideskripsikan pada tahun 1824 dari Kepulauan Raja Ampat (H. freycinetti), namun pada tahun 2008 dua spesies hiu berjalan dideskripsikan dari Kaimana (H. henryi) dan Teluk Cenderawasih (H. galei). Pada tahun 2013, dideskripsikan juga spesies hiu berjalan dari Halmahera (H. halmahera).

Berbeda dari hiu pada umumnya, mereka dapat ‘berjalan’ dengan menggunakan sirip mereka. Hal ini yang menjadi daya tarik bagi peneliti untuk memahami spesies ini lebih dalam. Namun, dikarenakan habitatnya yang terbatas dan terisolasi mereka sangat rentan terhadap ancaman seperti penangkapan berlebih.

“Perlu diingat bahwa ancaman ini tidak hanya datang dari kegiatan di pesisir saja. Tapi juga dari daratan seperti sampah plastik, limbah dari pabrik, dan pembangunan yang tidak terkendali dan terencana. Hal-hal tersebut akan merusak terumbu karang yang merupakan habitat penting dimana hiu berjalan menghabiskan seluruh hidupnya,” ujar Victor Nikijuluw, Senior Director Marine Program Conservation International.

Viktor menyarankan untuk segera dilakukan upaya konservasi yang terintegrasi antara darat dan laut untuk memastikan keberlangsungan hidup dari spesies endemik ini.

Adanya temuan baru ini diharapkan dapat membuat lebih banyak spesies hiu berjalan masuk di dalam International Union for Conservation of Nature Red List. Dari sembilan spesies, tiga (H. galei, H. henryi, dan H. Halmahera) diantaranya tidak memiliki data yang mencukupi (data deficient) untuk penetapan status keterancaman punah, dan ketiga spesies itu adalah spesies hiu berjalan dari Indonesia.

Selama hampir 4 dekade, Indonesia merupakan negara penangkap hiu dan pari terbesar di dunia. Upaya ini utamanya didorong oleh permintaan akan produk turunan dari hiu (sirip) dan pari yang tinggi dari negara-negara Asia, khususnya Cina. Tekanan perikanan yang berlangsung sejak lama ini telah mendorong sejumlah spesies hiu dan pari di Indonesia ke ambang kepunahan, setidaknya kepunahan lokal.

Hingga saat ini hanya 1 spesies hiu yang dilindungi secara penuh di Indonesia (KEPMEN-KP No.18 Tahun 2013), yaitu hiu paus. Dalam 5 tahun kebelakang, telah muncul kesadaran bahwa sejumlah jenis hiu dan pari lebih berharga hidup-hidup sebagai aset pariwisata daripada mati dan dijual sebagai produk perikanan. Ini ditunjukkan oleh upaya perlindungan pada jenis-jenis hiu dan pari yang memiliki nilai tinggi dari sisi pariwisata seperti hiu paus dan pari manta.

Selain itu, daerah-daerah di Indonesia yang memiliki pariwisata bahari yang maju seperti Raja Ampat dan Manggarai Barat juga berkomitmen dalam menjadikan kawasan lautnya sebagai suaka hiu dan pari, mempertimbangkan tingginya minat wisatawan untuk menyelam dengan hiu dan pari.

Untuk memastikan keberlanjutan hidup populasi hiu dan pari di Indonesia, KKP telah membuat Rencana Aksi Nasional Konservasi Hiu dan Pari 2016-2020. Dokumen ini merupakan pedoman untuk terciptanya upaya pengelolaan hiu dan pari di Indonesia yang kolaboratif dan komprehensif.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER