MONITOR, Jakarta – Komisioner KPAI Ai Maryati Sholihah prihatin mengamati kasus trafficking yang menyasar anak di bawah umur, dalam sebulan terakhir. Seperti kasus yang dialami Bunga (16), nama samaran, warga kota Bekasi ini dijual ke Papua.
Kemudian Luna (15) dan Leni (16) asal Kabupaten Malang dijual ke Papua juga. Terakhir Tuti (15) yang dieksploitasi ibu kandungnya untuk tujuan prostitusi di Blitar. Mengapa Ke Papua?
Ai Maryati pun mempertanyakan tujuan menjual gadis ini ke Papua. Namun trend menunjukkan bahwa daerah tujuan Papua tergolong baru untuk trafficking dengan tujuan prostitusi. Hal ini menandakan adanya pergeseran demand atau pemesanan dari yang biasanya kota besar menjadi daerah yang jauh dan sulit dijangkau transportasi seperti pada umumnya.
“Untuk kasus Luna dan Leni KPAI mengapresiasi Polda Papua yang telah sigap dalam mengamankan korban dan mengembalikannya ke Kab. Malang,” ujarnya dalam keterangan yang diterima MONITOR, Selasa (5/6).
Lebih jauh, KPAI juga meminta adanya perhatian khusus pada Kepolisian Papua untuk meningkatkan pelayanan pada perlindungan anak korban trafficking di Papua.
“Dalam kasus Bunga (16) asal Kota Bekasi, keluarga belum bertemu anaknya sampai saat ini karena pemulangan masih belum jelas. Padahal keluarga sangat mengharapkan kepolisian dan Gugus Tugas Trafficking Jawa Barat segera mengambil langkah untuk pengembalian Bunga,” terangnya.
Modus menjadi Pemandu Lagu
Dari keterangan Kepolisian, yang sudah mengamankan Korban dan Pelaku, gadis-gadis ini memang berniat bekerja sebagai pramusaji di cafe melalui informasi teman dan kenalannya. Namun, niat mereka kandas ketika harus menjadi PL (pemandu lagu) di tempat-tempat karaoke dan berakhir dengan harus melayani nafsu para hidung belang.
Luna dan Leni menjadi contoh nyata mereka melarikan diri dari lokasi prostitusi dan mengadu kepada pihak berwajib untuk segera kembali ke kampung halaman. Oleh sebab itu, untuk mencegah terjadinya trafficking yang menyasar gadis muda ini harus diawali oleh informasi yang benar tentang tempat bekerja, pastikan tidak ada rekayasa dokumentasi yang justru akan menyulitkan diri sendiri.
“Masyarakat harus lebih berhati-hati dan mewaspadai apabila pada usia anak ada yang merekrut atau mengajak bekerja yang menyebutkan menjadi PL di tempat-tempat hiburan demi untuk mencegah hal yang tak diinginkan sedini mungkin,” tegas Ai.
Terlebih melihat peristiwa memilukan di Blitar dimana ibu kandung menjual anak gadisnya berkali-kali untuk kepentingan ekonomi harus segera ditindak. Dalam kasus ini, orangtua akan mendapatkan pemberatan hukuman karena sebagai ibu sejatinya memberikan perlindungan dan mendidik anak-anaknya bukan sebaliknya menjadikannya budak seksual.
“Dalam hal ini orang tua berhadapan dengan Uu No 35/2014 tentang Perlindungan anak dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah,” ucapnya.
Air berkesimpulan, kemiskinan kerap menjadi alasan terjadinya praktik eksploitasi hingga dilakukan oleh keluarga sendiri yang tega mengorbankan anak sendiri. Padahal tidak ada alasan apapun yang membenarkan itu sehingga penegakkan hukum adalah jalan yang tetap harus ditegakkan demi keadilan dan perlindungan khusus pada korban anak.