Sabtu, 23 November, 2024

Perpres Gaji BPIP, Bukti Istana Boros Mengelola Anggaran?

MONITOR, Jakarta – Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2018 mengenai besaran gaji yang diterima para pejabat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendapat banyak kritik bahkan kini menjadi polemik.

Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon pun tak luput mencibir Perpres tersebut, menurutnya, tidak sepantasnya sebuah lembaga non-struktural seperti BPIP diberi standar gaji mirip BUMN, yang melebihi standar gaji di lembaga-lembaga tinggi kenegaraan.

“Perpres itu menunjukkan betapa borosnya pihak Istana dalam mengelola anggaran, sekaligus membuktikan inkonsistensi mereka terhadap agenda reformasi birokrasi yang selama ini selalu didengung-dengungkan. Di tengah keprihatinan perekonomian nasional, pemerintah malah menghambur-hamburkan anggaran untuk sebuah lembaga ad hoc,” kata Fadli kepada MONITOR, Jakarta Senin (28/5).

Fadli menjelaskan bahwa setidaknya ada empat cacat serius yang terkandung dalam Perpres tersebut. Pertama, menurutnya dari sisi logika manajemen. Di lembaga manapun, baik di pemerintahan maupun swasta, gaji direksi atau eksekutif pasti selalu lebih besar daripada gaji komisaris, meskipun komisaris adalah wakil pemegang saham. Beban kerja terbesar memang adanya di direksi atau eksekutif.

- Advertisement -

Fadli mengklain bahwa struktur gaji di BPIP ada keanehan. Kata dia, bagaimana bisa gaji ketua dewan pengarahnya lebih besar dari gaji kepala badannya sendiri.

“Dari mana modelnya?, dewan pengarah, sesuai dengan namanya, seharusnya lebih berupa anggota kehormatan, atau orang-orang yang dipinjam wibawanya saja. Jadi, mereka seharusnya tak punya fungsi eksekutif sama sekali. Aneh sekali jika mereka kemudian digaji lebih besar daripada pejabat eksekutif BPIP. Lebih aneh lagi jika mereka semua tidak memberikan penolakan atas struktur gaji yang aneh ini,” imbuh Politisi Gerindra ini.

Lanjut Fadli, yang kedua dilihat dari sisi etis. Menurutnya, lembaga tersebut bukan BUMN atau bank sentral yang bisa menghasilkan laba, sehingga gaji pengurusnya pantas dipatok ratusan juta. Dikatakannya, BPIP adalah lembaga non-struktural, kerjanya ad hoc, ia heran mengapa gajinya bisa begitu tinggi.

Ia mencontohkan, misalkan gaji seorang presiden, wakil presiden, menteri, dan pimpinan lembaga tinggi negara yang tanggung jawabnya lebih besar saja tidak sebesar itu.

Kemudian yang ketiga Fadli menyoroti dari sisi anggaran dan reformasi birokrasi. Menurutya, Presiden Joko Widodo selalu bicara mengenai pentingnya efisiensi anggaran dan reformasi birokrasi. Kata dia, Itu sebabnya, dalam kurun 2014-2017, ada 23 lembaga non struktural (LNS) berupa badan maupun komisi yang telah dibubarkan pemerintah, mulai dari Dewan Buku Nasional, Komisi Hukum Nasional, Badan Benih Nasional, hingga Badan Pengendalian Bimbingan Massal (Bimas).

Namun, Fadli mengatakan, pada saat bersamaan, Presiden justru malah terus menambah lembaga non-struktural baru.

“Sejak 2014 hingga kini, melalui berbagai Perpres, dalam catatan saya Presiden setidaknya telah meneken 9 lembaga non-struktural baru, seperti Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN), hingga BPIP ini. Jumlahnya memang hanya 9, tapi Anda bisa menghitung betapa mahalnya ongkos operasional lembaga-lembaga non-struktural baru yang dibikin Presiden Joko Widodo jika standar gaji pegawainya dibikin tak masuk akal begitu.” Paparnya.

Kemudian dikatakan Fadli yang keempat adalun dari sisi tata kelembagaan. Kata dia, Kecenderungan Presiden untuk membuat lembaga baru setingkat kementerian seharusnya distop, sebab bisa overlap dan menimbulkan bentrokan dengan lembaga-lembaga yang telah ada.

“Dalam wacana mengenai penghidupan kembali Komando Operasi Gabungan (Koopsgab) TNI untuk menangani terorisme, misalnya, bukankah aneh jika Kepala KSP sangat dominan dalam mewacanakan hal-hal semacam itu, padahal itu adalah wilayah pertahanan dan keamanan di mana kita sudah punya Menteri Pertahanan dan juga Menko Polhukam di situ? Mungkin karena yang bersangkutan merasa setingkat menteri, sehingga tak menyadari jika pernyataan-pernyataannya sudah offside terlalu jauh.” Pungkasnya.

“Jadi, menurut saya, Perpres No. 42/2018 seharusnya ditinjau kembali. Jangan sampai cara pemerintah mendesain kelembagaan BPIP, menyusun personalia, dan kini mengatur gaji pejabatnya, justru melahirkan skeptisisme dan sinisme publik. Itu kontra produktif terhadap misi pembinaan ideologi dan Pancasila itu sendiri. Tak ada ruginya Perpres itu dicabut atau direvisi kembali. Perpres itu sudah melukai perasaan masyarakat yang kini sedang dihimpit kesulitan.” Sambung Fadli.

Dia menambahkan, apabila ada keleluasan anggaran, ia menyarankan, lebih baik pemerintah menggunakannya untuk meningkatkan kesejahteraan para pegawai honorer di lingkungan pemerintahan saja.

“Mereka jauh lebih membutuhkannya daripada para bekas pejabat yang duduk di dalam BPIP.” Tandas Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra ini.

Senada dengan Fadli, Mantan politikus Golkar yang kini menjadi Sekjen Partai Berkarya mengaku sangat kaget ketika mengetahui, Megawati Soekarno Putri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), mendapatkan gaji 112 juta rupiah, berdasarkan Perpres Nomor 42/2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Pemimpin, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.

“Padahal, gaji Presiden saja hanya menerima penghasilan sebesar Rp 62.740.030, sedangkan Wakil Presiden JK setiap bulan hanya mendapat Rp 42.160.000. Dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya membaik ini, sungguh tidak elok memberi gaji pejabat sebesar itu!” kata Priyo Budi Santoso dalam pernyataan pers-nya yang diterima MONITOR, Senin (28/5/2018).

Menurut Priyo, memang ada hak pemerintah memberi gaji kehormatan. Tapi, berdasarkan Peraturan Pemerintah No 75 Tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara serta Uang Kehormatan Anggota Lembaga Tertinggi Negara, disebutkan, gaji pokok tertinggi pejabat negara, seperti Ketua DPR, MA, dan BPK, hanya sebesar Rp 5.040.000/bulan. Bahkan, gaji Wakil Ketua MPR, Wakil Ketua DPR, Wakil Ketua DPA, Wakil Ketua BPK, Wakil Ketua MA, dan Wakil Ketua MPR yang tidak merangkap Wakil Ketua DPR, hanya sebesar Rp 4.620.000 sebulan.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER