MONITOR, Jakarta – Ditengah pesatnya perkembangan teknologi informatika saat ini membuat pemberitaan atau informasi hoax tidak hanya menjadi persoalan di Indonesia saja, melainkan ada di negara-negara lain.
Hal itu disampaikan Staf Ahli Bidang Komunikasi & Media Massa Kemenkominfo RI Prof.Dr. Henri Subiakto dalam acara diskusi bertajuk “Indonesia Optimistis: Peran Konrkret Media Dalam Membangun Optimisme Bangsa Melalui Pemberitaan” yang digelar Kaukus Muda Indinesia/KMI di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (23/4).
Bahkan, sambung dia, saking mudahnya seorang mengakses media sosial (Medsos) kini menjadi sebuah ‘lapangan pekerjaan’, lantaran setiap orang bisa memberikan menjadi wartawan.
“Kita nggak bisa pisah dengan smartphone, maka teknologi ini lah yang akan menjadi media untuk berhubungan dengan sejumlah aplikasi media sosial. Semakin anda sering membuka Medsos, semakin banyak anda membaca berita-berita Hoax,” kata Henri.
“Sampai-sampai, hoax yang nggak masuk akal sekarang pun dapat di terima masyarakat. Maka sekarang yang akan kita lakukan ialah memberantas hoax yang ada dari media-media di Indonesia,” tambahnya.
Karena itu, ia berharap kepada masyarakat, kalau ada menerima informasi atau berita sebaiknya coba di cek terlebih dulu, karena berita bohong cenderung menarik.
“Kita harus menyebarkan konten positif. Maka harus ada gerakan literasi nasional,” sebut dia.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Jodhi Yudono menilai kalau dunia sekarang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Sebab, media bisa mengendalikan pikiran dan bisa membuat yang tidak salah menjadi bersalah.
“Makanya sekarang media-media di Indonesia ini, dikuasai oleh para pedagang. Karena mereka sudah berdagang dengan media-medianya,” sindir Jodhi.
Akibatnya, masih menurut dia lagi, independensi dari media ini yang masih menjadi pertanyakan. Namun demikian, dirinya masih optimis karena masih memiliki kawan-kawan muda dan pers yang masih bersemangat memberantasan Hoax.
“Optomisme ini adalah hal utama untuk melawan berita-berita Hoax. Dulu kita memiliki toko pers Muhtar Lubis, dimana setiap ungkapannya selalu diikuti oleh media di Indonesia,” ujar dia.
Namun, membangun optimisme saja tidak cukup, tapi harus juga waspada. Sebab, optimis itu sudah jadi budaya masyarakat Indonesia sejak sebelum merdeka
“Saya lebih cenderung membangun optimisme dan kewaspadaan. Tahun 1924, sudah ada namanya majalah Indonesia Merdeka, padahal kita merdeka masih 21 tahun lagi. Artinya, optimis itu sudah jadi budaya masyarakat,” pungkas Dir.Eksekutif KOMUNIKONTEN Harico Wibowo.