Jumat, 20 September, 2024

Soal Bullying di Binus Simprug, Komisi X Khawatir Aparat Sering Masuk Sekolah

MONITOR, Jakarta – DPR RI menyoroti kasus perundungan di SMA Binus Simprug yang diduga dilakukan oleh 8 siswa terhadap seorang temannya. Komisi X DPR RI mengungkapkan kekhawatirannya jika aparat sering masuk ke sekolah karena kurang efektifnya Satgas Antibullying.

“Saya prihatin kasus bullying ini terjadi di sekolah dengan kriteria unggul dan fasilitas yang mungkin sudah tercukupi. Peran sekolah menjadi sangat penting, saya khawatir dengan fenomena aparat penegak hukum yang jadi sering masuk ke sekolah,” ujar Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, Selasa (17/9/2024).

Peristiwa perundungan di Binus School Simprug terjadi kepada siswa inisial RE (16) di mana korban mengaku menerima perundungan (bullying) dan kekerasan fisik dari awal masuk sekolah pada November 2023 hingga mengakibatkan dirinya masuk ke rumah sakit. Dalam audiensi dengan Komisi III DPR hari ini, korban menyatakan juga mengalami dugaan kekerasan seksual.

Aksi perundungan di SMA Binus Simprug ini menambah panjang kasus bullying yang sedang marak terjadi. Kasus perundungan di Binus School sendiri juga sudah pernah terjadi sebelumnya yakni pada bulan Maret lalu, tepatnya di Binus School Serpong yang melibatkan anak dari artis Vincent Rompies.

- Advertisement -

Kasus tersebut dilakukan oleh sejumah oknum murid kelas 12 dengan nama Geng Tai kepada murid kelas 10. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 4 tersangka yakni E (18), R (18), J (18), dan G (19).

Dede pun mengatakan, kasus bullying yang berakhir hingga ke jalur hukum dapat menimbulkan banyak dampak negatif.

“Dampaknya sekolah menjadi tempat yang mengerikan, karena dikit-dikit ada penegak hukum. Tentu untuk proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman dan kondusif,” tutur mantan Wagub Jawa Barat itu.

“Karena kan kalau menggunakan payung hukum anak SMA sudah kategorinya sudah bukan anak-anak lagi bisa kena delik hukum pidana,” sambung Dede.

Padahal Kementerian Pendidikan, Budaya (Kemendikbud) dan Ristek sudah memiliki regulasi terkait masalah bullying di sekolah yakni Permendikbud No 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (Permendikbudristek PPKSP). Permendikbud ini juga mewajibkan dibuatnya Satuan Tugas (Satgas) untuk mengurus masalah bullying di sekolah.

“Ketika terjadi bullying di dalam sekolah, satgas kekerasan antibullying itu yang harus bertanggung jawab. Nah apakah di swasta ada? Karena kalau di negeri semua ada,” ungkapnya.

Dede menjelaskan, sebenarnya pada Satgas Antibullying ini aparatur yang mengurusnya sudah ada. Hanya sayangnya, aparat yang masuk biasanya hanya bersifat penyuluh dan pembimbing sehingga dinilai kurang maksimal karena tidak ada bagian penegakan hukumnya.

“Jadi kalau misalnya melaporkan sampai ke Polisi dan menggunakan pengacara, ini kan kaitannya jadi harus ada yang dipenjara. Jadinya kan panjang sekali, padahal kalau satgas itu bekerja dengan baik dan sekolah tidak membiarkan maka hal-hal semacam ini tidak perlu terjadi,” tukas Dede.

“Nah itu harus kita tanyakan bagaimana di Binus itu ada tidak satgasnya karena satgas ini terdiri dari orang tua, guru, kepala sekolah bahkan hingga keamanan sehingga tidak serta merta permasalahan ini harus diangkat ke penegak hukum. Bisa diselesaikan oleh satgas tadi,” imbuhnya.

Dalam pengakuannya, RE siswa SMA Binus Simprug juga mengaku mendapat intimidasi dari para pelaku bullying. Termasuk adanya ancaman dari terduga pelaku yang mengaku sebagai anak ketua umum partai politik (parpol). Baik korban maupun pihak sekolah menggunakan pengacara ternama pada kasus ini.

“Akhirnya endingnya bukan lagi soal pendidikan tapi jadinya proses gugat menggugat, ketika sudah ada proses gugat menggugat artinya proses pendidikannya sudah kacau sudah tidak terjadi karena masuknya ranah hukum,” terang Dede.

Maraknya kasus bullying di sekolah telah lama menjadi concern Komisi X DPR yang berfokus pada pengawasan bidang pendidikan itu. Dede mengatakan, masalah hukum yang terlibat pada kasus bullying menyebabkan kasus semakin kompleks.

“Selama ini kan datangnya ke komisi X lalu kita panggil pihak sekolah nanti diselesaikan dengan jalur pendidikan. Kalau masuk ke ranah hukum datangnya ke komisi III,” pungkas Legislator dari Dapil Jawa Barat II tersebut.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER