MONITOR, Jakarta – Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum) menilai penjelasan Presiden Jokowi mengenai UU Cipta Kerja ke publik nyatanya tak mengakhiri polemik atas UU Cipta Kerja yang hingga kini masih terus terjadi di berbagai kalangan masyarakat.
“Tudingan mengenai sejumlah substansi norma di UU Cipta Kerja sebagai informasi bohong (hoax), tidak menghentikan polemik yang terjadi. Sejumlah substansi yang disebut bersumber dari informasi hoax nyatanya secara substansi tetap dianggap bermasalah,” ujar Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Ferdian Ardi dalam keterangan tertulisnya kepada MONITOR, Senin (12/10/2020).
“Dorongan dan seruan Presiden agar pihak-pihak yang tidak puas dengan keputusan bersama DPR dan Presiden di UU Cipta Kerja melalui jalur judicial review juga bukan solusi. Betul itu merupakan mekanisme konstitusional, namun persoalan yang muncul di UU Cipta Kerja ini adalah persoalan substansial yakni tentang partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pembahasan yang dianggap minim,” tegas Ferdian.
Menurut Pengajar HTN di FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya tersebut, Persoalan polemik UU Cipta Kerja tidak bisa ditempuh melalui jalan pintas melalui ruang persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK). Tapi ruangnya dikembalikan di parlemen sebagai tempat persemaian ide dan aspirasi warga negara.
“Warga negara dan badan-badan negara dapat berembuk di DPR. Bukan berhadap-hadapan di ruang pengadilan di MK. Untuk mengembalikan ruang perdebatan dan dialektika secara konstitusional antara warga negara dengan negara pilihannya dengan melakukan legislative review di DPR,” ungkapnya.
Perubahan sejumlah norma melalui DPR yang dilakukan bersama-sama antara DPR dan Presiden. Pilihan ini merupakan langkah moderat sekaligus sebagai koreksi atas pengambilan keputusan terhadap UU Cipta Kerja oleh Presiden dan DPR sebelumnya. Langkah ini jauh lebih kontekstual dan menempatkan rakyat dalam posisi yang terhormat.
“Perubahan UU Cipta Kerja sebagai upaya menemukan kembali daulat rakyat di Parlemen. Pilihan itu kian relevan dengan kondisi obyektif saat ini dimana draft UU Cipta Kerja masih dalam proses perapihan di Badan Legislasi DPR,” terangnya.
Ferdian menerangkan secara teknis, upaya legislative review ini cukup mudah dan praktis sepanjang DPR dan Presiden menangkap kemauan rakyat atas substansi UU Cipta Kerja. Di Pasal 23 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan DPR dan Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas disebabkan mengatasi keadaan konflik serta keadaan tertentu lainnya yang terkait dengan urgensi nasional.
“Secara teknis, UU Cipta Kerja ini diundangkan terlebih dahulu, setelah itu langsung diajukan draft perubahan UU Cipta Kerja di DPR. Nah, perubahan UU Cipta Kerja ini harus melibatkan sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan,” pungkasnya.