MONITOR, Jakarta – Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Romli Atmasasmita, mengungkapkan bahwa suatu dokumen yang akan disahkan atau dinotariskan di negara lain harus melalui sejumlah prosedur.
Hal itu disampaikan Romli saat menanggapi ada dokumen milik Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang dinotariskan di Rusia.
Romli menjelaskan, jika ada suatu dokumen yang hendak dinotariskan di negara lain, maka salah satu prosedurnya ialah harus melalui prosedur diplomatik yang disebut ‘Apostille’ yang diatur dalam The Hague Convention 1961 dimana Pemerintah Indonesia dan Rusia adalah bagian dari konvensi tersebut.
“Syarat suatu dokumen dapat di akte-kan di Federasi Rusia harus diajukan pemilik dokumen melalui Pemerintah Indonesia, KBRI Moskwa, untuk kemudian atas dasar permohonan tersebut, Pemerintah Federasi Rusia melegalisasi dokumen tersebut,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Rabu 15 Januari 2025.
Romli menegaskan, tanpa prosedur ‘Apostille’, maka dokumen menjadi tidak sah di negara tersebut.
“Karena status pemilik dokumen HK (Hasto Kristiyanto) adalah TSK (Tersangka), maka ada 3 masalah yang perlu diluruskan. Pertama, muatan dokumennya, apakah barang bukti suatu tindak pidana?. Kedua, apakah muatan dokumen mengandung kebenaran?. Ketiga, masalah pertanggungjawaban hukum atas kepemilikan dokumen,” ujarnya.
Berdasarkan ketiga masalah tersebut, Romli mengatakan, dalam konteks hubungan Indonesia dan Rusia, terdapat Perjanjian Timbal Balik dalam Masalah Pidana (Mutual Assistance Treaty/MLA) berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2021.
“Dengan MLA tersebut, Pemerintah Indonesia wajib melaksanakan MLA agar teka teki dokumen Hasto dapat segera diselesaikan,” katanya.