Jumat, 26 April, 2024

Pemulihan Hak Negara dalam Mega Skandal BLBI

MONITOR – Kasus Mega Skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi perhatian publik utamanya dalam konteks pemulihan hak negara terhadap para obligor dan krediturnya. Skandal keuangan terbesar sepanjang sejarah republik ini bak benang kusut yang sulit diuraikan dan menjadi rumit karena bersentuhan dengan banyak “orang besar” di Republik ini. Kini pemerintah fokus dalam pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti.

Kembali kebelakang, BLBI merupakan bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia (BI) kepada berbagai bank yang mengalami persoalan likuiditas dengan skema bantuan berupa pinjaman sejumlah uang yang diberikan BI terhadap bank-bank  hampir bangkrut pada waktu tahun 1997-1998. Setidaknya, pada Desember 1997, ada 48 bank (mayoritas swasta) yang kemudian diberikan bantuan likuiditas dengan total uang senilai Rp 144,53 triliun.

Kebijakan BLBI diambil Presiden Soeharto kala itu tepatnya pada pekan pertama Oktober 1997 usai menggelar sidang kabinet yang salah satu hasilnya adalah meminta bantuan IMF (Badan Moneter Dunia) untuk memulihkan krisis ekonomi Indonesia yang tengah babak belur. IMF sendiri kemudian memberikan dua rekomendasi yakni mencabut izin usaha bank-bank yang tak mungkin diselamatkan dan kedua bank-bank yang sakit akan disembuhkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Persoalannya, dana ratusan triliun rupiah yang dikucurkan pemerintah terhadap bank-bank itu tidaklah berjalan sesuai rencana. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa beberapa pemilik bank diduga menyalahgunakan bantuan tersebut. Ya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat bahwa skema bantuan dana segar itu tak tepat sasaran dan merugikan negara sebesar Rp 138 triliun atau hanya Rp 6 triliun saja dari Rp 144,53 triliun yang benar-benar digunakan sebagaimana mestinya.

- Advertisement -

Para konglomerat pemilik bank yang mendapat kucuran dana segar BLBI menyalahgunakan bantuan pemerintah tersebut bahkan beberapa diantaranya kabur ke luar negeri. Sebelum para pemilik bank itu kabur, pemerintahan BJ Habibie sempat meminta pelunasan utang itu dilakukan dalam tempo satu bulan. Namun, bank-bank itu mengaku tak mampu melunasinya dalam waktu secepat itu. Mereka meminta 5 tahun sebagai jatuh tempo pelunasan utang tersebut. Akhirnya diambil keputusan penting, yakni pengembalian BLBI ditetapkan 4 tahun. Tahun pertama 27 persen, sisanya dikembalikan dalam tiga tahun dalam jumlah yang sama.

Tanggal 30 Desember 2002, Megawati meneken Instruksi Presiden (Inpres) No 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada para pemilik bank yang berhasil melunasi utangnya. Selain itu, Inpres tersebut juga mengatur soal ancaman hukum kepada orang-orang yang melanggar. Dengan skema tersebut penerima BLBI dianggap sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan Surat Keterangan Lunas (SKL) walau hanya membayar 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai, serta 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Untuk diketahui, mega skandal BLBI ini terdiri dari bantuan langsung yang kemudian dibayar dengan aset para pemilik bank tersebut kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tapi kemudian aset tersebut banyak yang bodong alias nilainya tak mencukupi untuk membayar hutang mereka. Masalah kedua adalah penerbitan obligasi rekap (OR) oleh negara untuk mengakali perhitungan akuntansi agar modal bank di atas kertas cukup sesuai ketentuan.

Pemulihan Hak Negara

Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tanggal 6 April 2021. Keppres ini dibuat dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI maupun aset properti. Ini adalah kelembagaan baru yang dibentuk khusus menangani skandal BLBI setelah pada tahun 1998 silam, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, nilai aset eks BLBI diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut, pemerintah akan memanggil seluruh debitur dan obligor yang berjumlah 48 orang. Adapun jumlah total utang mereka terhadap negara disebut mencapai Rp 111 triliun. Mahfud menegaskan langkah itu dilakukan karena perkara BLBI secara pidana telah selesai. “Pidananya sudah tidak ada kata Mahkamah Agung (MA), perdatanya kita tagih,” demikian pernyataan Mahfud MD beberapa waktu lalu.

Data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa piutang yang timbul dari pemberian BLBI sampai 2020 senilai Rp102,3 triliun, naik dibandingkan dengan 2019 yang hanya Rp91,7 triliun. Total piutang tersebut bisa dikategorikan dalam tiga kelompok aset. Pertama, aset piutang kredit eks BPPN senilai Rp83,4 triliun. Kedua, aset kredit kelolaan PT PPA senilai Rp8,9 triliun. Ketiga, piutang bank dalam likuidasi yang nilainya Rp10,03 triliun.

BLBI sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah membuat Pemerintah sampai detik ini juga harus menanggung beban bunga yang ditimbulkan dari pemberian BLBI. Dalam Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia diperkirakan, beban BLBI baru tuntas pada 2043. Mundur 10 tahun dari proyeksi berakhir 2033.

Dua bulan usai dibentuk, Satgas mulai bekerja. Belum lama ini,  mereka telah memangil sejumlah obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Nama obligor yang muncul ke publik antara lain putra penguasa Orde Baru, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto dan eks pemilik Bank Pelita Agus Anwar. Selain itu, ada nama Kaharudin Ongko. Setidaknya ada sebanyak 22 obligor dan 20 bank dalam likuidasi atau BDL yang masih memiliki tanggungan kepada pemerintah. Jumlah piutang paling besar, tercatat di dokumen Kemenkeu, adalah milik obligor BLBI Kaharudin Ongko. Nilainya mencapai Rp8,2 triliun. Tagihan itu terdiri dari saldo utang Kaharudin terkait di Bank Arya Pandhuarta senilai Rp359,4 miliar dan Bank Umum Nasional senilai Rp7,8 triliun.

Meskipun terdapat kasus penyitaan, seperti yang terjadi terhadap Tommy Soeharto, Pemerintah melalui Menkopolhukam Mahfud MD menyebut ada empat konglomerat yang melunasi utang mereka terhadap BLBI dengan damai. Keempat konglomerat tersebut, antara lain Anthony Salim, Bob Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad. Tidak disebutkan dengan jelas berapa besaran pelunasannya.

Mega Skandal BLBI adalah peristiwa extraordinary cryme yang merupakan kejahatan ketika negara sedang alami transisi dari pemerintah orde baru ke era reformasi. BLBI masih menjadi kotak pandora yang hingga kini belum terungkap secara terang benderang.

Kita berharap Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI (Satgas BLBI) bekerja maksimal mengejar para obligor dan debitur untuk menyelesaikan utangnya kepada negara. Pemerintah mesti lebih tegas, tidak pandang bulu, sekaligus berhati-hati termasuk untuk mengobral Surat Keterangan Lunas (SKL) yang berakibat merugikan keuangan negara. Pemerintah harus transparan dan akuntabel dalam melakukan penanganan dan pemulihan hak negara atas sejumlah dana yang berhasil dikembalikan dan aset yang disita.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER