HUKUM

Pakar Hukum UGM: Pasal Hukuman Mati Bagi Koruptor Perlu Dicermati

MONITOR, Jakarta – Wacana hukuman mati bagi koruptor masih menyisakan persoalan. Pakar hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) Djoko Sukisno,
angkat bicara terkait soal wacana ini. Menurutnya walaupun hukuman mati diijinkan menurut Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, namun harus dicermati pula penjelasannya.

“Sebagaimana telah diketahui bahwa hukuman mati koruptor telah diatur pada Pasal 2 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hukuman tersebut menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (1) yang mengatur tentang perbuatan memperkaya diri dan orang lain yang dapat merugikan keuangan negara. Namun perlu kehati-hatian dalam memaknai Pasal 2 ayat (2) undang-undang tersebut yang berbunyi ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’, karena harus pula dicermati bagian penjelasan atas ayat tersebut.” ujarnya kepada wartawan, Senin (6/12).

Dijelaskannya, yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Menurutnya, pada kalimat yang menyebutkan kata ‘pengulangan’ diawali dengan tanda baca koma. Maka anak kalimat tersebut dapat dimaknai sebagai berdiri sendiri dan tidak terkait dengan anak kalimat sebelum dan sesudahnya.

“Oleh karena itu, kalimat tersebut dapat berarti seseorang yang sudah pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana korupsi kemudian setelah keluar dia melakukan tindak pidana korupsi lagi. Sehingga orang tersebut layak untuk dituntut hukuman mati karena dianggap tidak jera atas hukuman yang pernah dijatuhkan padanya,” tegasnya.

Terkait dengan wacana hukuman mati bagi para terdakwa Jiwasraya dan Asabri, ia menekankan perlu juga dicermati sekali lagi apakah diantara mereka ada yang recidivis atau orang yang pernah dihukum dan melakukan tindak pidana yang sama.

“Lalu bagaimana dengan tempus delicti-nya, apakah negara dalam kondisi bencana alam atau dalam keadaan krisis moneter. Ingat, tempus delicti adalah waktu terjadinya suatu delik atau tindak pidana bukan waktu persidangannya,” pungkasnya.

Recent Posts

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama Publikasi dan Edukasi Masyarakat

MONITOR, Jakarta - PT Pertamina (Persero) bersama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) jalin sinergi publikasi…

7 jam yang lalu

Sean Gelael Menang di FIA WEC 2024, Komitmen Pertamina Dukung Atlet Mendunia

MONITOR, Jakarta – Pertamina berkomitmen untuk terus mendukung kiprah atlet nasional agar dapat bersaing di tingkat…

9 jam yang lalu

Babinsa Kuala Kencana Laksanakan Komsos dan Pendampingan Kepada Petani

MONITOR, Jakarta - Babinsa Koramil 03/Kuala Kencana Kodim 1710/Mimika Koptu Alfaris Kumiyu melaksanakan kegiatan Komunikasi…

10 jam yang lalu

Semangat Hari Kartini dalam Transformasi Kepemimpinan Perempuan di Jasa Marga, 27 Persen Perempuan Sebagai Pimpinan Puncak Perusahaan

MONITOR, Jakarta - Dalam memperingati Hari Kartini ke-147, PT Jasa Marga (Persero) Tbk turut menunjukkan…

11 jam yang lalu

Kemenag Depok Luncurkan Madrasah Ibtidaiyah Negeri Digital Pertama

MONITOR, Depok - Kementerian Agama (Kemenag) Kota Depok meluncurkan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) pertama di…

13 jam yang lalu

Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Sarmuji Dorong Bali Jadi Destinasi Wisata Premium

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Sarmuji mendorong pengembangan sektor pariwisata beserta…

13 jam yang lalu