Kamis, 18 April, 2024

Ramai-ramai Protes Aturan PCR untuk Penerbangan

MONITOR, Jakarta – Sejumlah penumpang pesawat mengeluhkan peraturan terbaru yang menyatakan hasil negatif Covid-19 berdasarkan tes PCR sebagai syarat wajib untuk melakukan penerbangan. Bahkan, sejumlah kalangan menilai syarat ini memberatkan dan berpotensi memperlambat pemulihan sektor pariwisata.

Sebelumnya, Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Karangasem, I Wayan Kariasa mengaku senang ketika pemerintah memutuskan membuka kembali pariwisata Bali. Namun, perasaan itu seketika sirna setelah aturan baru diberlakukan. Mengingat harga tes PCR masih cukup mahal.

Kariasa menyebut, aturan tersebut dinilai cukup berat bagi para wisatawan sehingga turut berdampak pada perkembangan pariwisata di Bali, terutama di Karangasem.

“Orang yang mau ke Karangasem jadi berpikir lagi. Karena ada biaya akomodasi tambahan, yaitu tes PCR yang harganya lumayan,” katanya pada Sabtu (23/10/2021).

- Advertisement -

Beberapa hari sebelumnya, protes serupa datang pula dari Ketua DPR RI Puan Maharani. Puan mengatakan bahwa dia telah mendengar keluhan masyarakat dan kebingungan mereka terkait aturan baru tersebut ketika pandemi justru berangsur membaik.

“Kenapa dulu ketika Covid-19 belum selandai sekarang, justru tes antigen dibolehkan sebagai syarat penerbangan. Kalau sekarang harus PCR karena hati-hati, apakah berarti waktu antigen dibolehkan, kita sedang tidak atau kurang hati-hati? Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat seperti ini harus dijelaskan terang benderang oleh pemerintah,” ujar Puan pada Kamis (21/10/2021).

Eks Menko PMK tersebut berpendapat, tes PCR seharusnya digunakan hanya untuk instrumen pemeriksaan bagi suspect Corona. Ia mengingatkan, fasilitas kesehatan di Indonesia belum merata dan akan semakin menyulitkan masyarakat yang hendak bepergian dengan transportasi udara.

“Di daerah belum tentu hasil tes PCR bisa selesai dalam 7×24 jam, maka kurang tepat ketika aturan tes PCR bagi perjalananan udara berlaku untuk 2×24 jam,” ujar Puan.

Namun, lanjut dia, jika memang pemerintah menilai syarat tes PCR bagi pelaku penerbangan adalah solusi terbaik, diharapkan harga tes PCR dibuat lebih terjangkau dan fasilitas kesehatan harus diseragamkan di seluruh daerah.

“Pemerintah harus bisa memastikan waktu dan proses PCR di seluruh daerah bisa selesai dalam waktu singkat, agar bisa memenuhi syarat pemberlakuan hasil tes 2×24 jam. Dan harganya pun harus sama di semua daerah,” pungkasnya.

Merugikan konsumen

Tanggapan serupa juga datang dari Susi Pudjiastuti. Melalui akun Twitternya, Susi menyatakan setuju dengan pernyataan Puan Maharani.

“Betul Mbak Puan … ayo teriakin yg kenceng .. harusnya PCR tidak boleh lebih dari rp 275.000,” cuit Susi di Twitter.

Tak hanya itu, apresiasi pun datang dari aktivis Nicho Silalahi. Dia mengapresiasi desakan Puan Maharani karena akhirnya Puan tampak membela rakyat.

Sebelumnya, Nicho berpikir selama ini Puan hanya “pajangan pemerintah” untuk menghabiskan uang rakyat.

“Akhirnya berguna juga Tante @puanmaharani_ri. Kukira selama ini cuma pajangan doank untuk menghabiskan uang rakyat,” cuit Nicho Silalahi melalui akun Twitter pribadinya.

Namun begitu, dia sendiri mengungkapkan bahwa dirinya berpendapat seharusnya tes PCR sebagai syarat perjalanan moda udara dihapuskan saja.

Nicho Silalahi menilai hal tersebut justru bisa menjadi ajang perampokan terhadap uang rakyat.

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi turut menolak keras kewajiban tes PCR bagi penumpang pesawat.

Dia menilai aturan itu diskriminatif sebab memberatkan sekaligus menyulitkan konsumen. Padahal, sektor transportasi lain hanya menggunakan antigen, beberapa bahkan tidak perlu syarat tes.

Apalagi, lanjut Tulus, Harga Eceran Tertinggi (HET) tes PCR di lapangan ini nantinya akan membebani calon penumpang.

“HET PCR di lapangan banyak diakali oleh provider dengan istilah ‘PCR Ekspress’, yang harganya tiga kali lipat dibanding PCR normal. Ini karena PCR normal hasilnya terlalu lama, minimal 1×24 jam,” kata dia, Sabtu (23/10/2021)

Dia pun menilai syarat wajib PCR sebaiknya dibatalkan atau minimal direvisi. Misalnya, waktu pemberlakuan PCR menjadi 3×24 jam. Hal ini berdasarkan fakta bahwa tidak semua laboratorium PCR bisa mengeluarkan hasil cepat.

“Jangan sampai kebijakan tersebut kental aura bisnisnya. Ada pihak pihak tertentu yang diuntungkan,” pungkas Tulus Abadi.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER