MONITOR, Jakarta – Wereng Batang Coklat (WBC) merupakan salah satu Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) utama di Indonesia. Bahkan ancaman serangan WBC terhadap pertanian di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial sebelum kemerdekaan Indonesia. Hal tersebut terungkap pada diskusi interaktif Webinar Propaktani episode ke-70 dengan topik “Serangan Wereng Batang Cokelat dan Pengendaliannya”
Prof. Aunu menjabarkan sejarah WBC yang dimulai dari era kolonial hingga saat ini. Pada era kolonial hingga tahun 1970, hama utama yang merugikan tanaman padi adalah penggerek batang padi alih-alih wereng batang cokelat.
Pada tahun 1960-1970, mulai terjadi pergeseran serangan penggerek batang padi putih dengan penggerek batang padi kuning karena adanya pembangunan irigasi sehingga petani dapat menanam padi lebih dari 1 kali dalam kurun waktu satu tahun.
Selain itu, proyek CIBA-Bimas pada tahun 1965 dengan penyemprotan pestisida dalam skala luas pada tanaman padi untuk mengendalikan hama padi turut mengakibatkan berkurangnya populasi musuh alami. Era tahun 1970 adalah era dimulainya serangan WBC, tepatnya di Brebes dengan luas serangan mencapai 1.633 ha.
Hal ini terjadi karena adanya upaya peningkatan produksi dengan menanam varietas unggul yang rentan terhadap WBC. Serangan WBC terus mengalami peningkatan dan puncaknya terjadi pada tahun 1974-1979.
“Faktor pemicu terjadinya ledakan serangan WBC, dapat terjadi pada jenjang petakan dan jenjang hamparan. Pada jenjang petakan, yaitu aplikasi pestisida sembarangan, pemupukan N yang berlebihan, dan varietas rentan. Sedangkan pada jenjang hamparan penyebab terjadinya ledakan WBC adalah penanaman padi terus menerus dan penanaman padi tidak serempak. Setelah ledakan serangan WBC, terbit Inpres No. 3 tahun 1986 dan lahir Program Nasional PHT pada tahun 1989. Sejak PHT muncul, serangan WBC mengalami penurunan kembali,” terang Prof. Aunu.
Mohammad Takdir Mulyadi, Direktur Perlindungan Tanaman Pangan menyampaikan bahwa WBC memiliki kemampuan adaptasi cukup tinggi, siklus hidup relatif pendek, kemampuan reproduksi yang cukup tinggi, dan mampu merusak tanaman pada umur persemaian hingga panen. Dalam 10 tahun terakhir, luas serangan WBC tertinggi terjadi pada tahun 2011 mencapai 223.606 ha.
“Kita perlu memahami bioekologi WBC sebelum melakukan pencegahan dan penanggulangan ke depannya. Pengendalian preemtif dapat dilakukan dengan cara penanaman varietas yang tahan WBC, seed treatment dengan agens hayati, pengaturan jarak tanam, pemupukan berimbang, aplikasi dekomposer seperti Trichoderma sp., dan pemanfaatan musuh alami. Pengendalian responsif dilaksanakan secara bijaksana, umumnya upaya pengendalian responsif menggunakan bahan kimia yang dapat menyebabkan resistensi dan resurjensi apabila tidak bijak dalam penggunaannya,” ujar Takdir.
Selaras dengan ungkapan Takdir Mulyadi dan Prof. Aunu, Akademisi dari UGM yaitu Prof. Andi menanggapi bahwa tidak ada serangan populasi wereng yang datang tiba-tiba, melainkan dimulai dari populasi yang sedikit atau spot-spot serangan yang tidak tertangani dengan baik.
“Saya ingin menekankan, karena saya pikir tidak ada populasi wereng yang kemudian datang tiba-tiba tanpa kemudian berangkat dari spot-spot yang kecil. Jadi populasi itu pasti berkembang dari sedikit, dari kecil yang kemudian karena tidak ada kontrol itu menjadi melebar (meluas),” tegas Prof. Andi.
Spot serangan WBC yang ditemukan pada tanaman masih hijau dan tidak dikendalikan dengan bijaksana akan menyebabkan terjadinya hopperburn. Musim tanam berikutnya biasanya akan mulai terlihat munculnya gejala serangan virus kerdil rumput dan kerdil hampa.
“WBC sangat penting untuk dikendalikan karena selain menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil, WBC juga turut membawa virus kerdil hama dan kerdil rumput. Pada saat populasi WBC tinggi (saat outbreak) belum terlihat adanya gejala serangan virus pada tanaman, namun next season akan mulai muncul gejala serangan virus ini,” urai Prof. Andi.
Selama 1 musim tanam WBC berpotensi membentuk 4 generasi, G0 (generasi pendatang), G1 (keturunan ke-1), G2 (keturunan ke-2), dan G3 (migran makroptera jantan dan betina).
“WBC yang dapat menimbulkan kerusakan, apabila populasi G2 >100 ekor/rumpun akan menyebabkan terjadinya hopperburn,” tutur Mustagfirin dari Balai Besar Peramalan OPT.
Laju perkembangan populasi WBC dari generasi pendatang ke generasi berikutnya lebih tinggi ketika musim penghujan. Serangan WBC lebih tinggi terjadi di daerah pinggiran pantai daripada daerah perbukitan. Mustagfirin menjelaskan bahwa pengendalian WBC akan lebih mudah dan lebih murah dilakukan pada fase G0 dan G1.
Pengendalian dengan sistem PHT dapat dilakukan melalui langkah preventif dan kuratif. Langkah preventif dapat dilakukan dengan cara rotasi tanaman, konservasi musuh alami, dan pengendalian mekanik/ perangkap/ kultur teknis. Apabila populasi WBC masih tinggi maka perlu dilakukan langkah kuratif, yaitu pelepasan musuh alami, menggunakan pestisida hayati dan pestisida kimia sintesis.
“Kunci dalam pengendalian hama WBC adalah memahami kondisi ekosistem pertanian dan pengamatan rutin,” tegas Prof. Andi.
Mustagfirin menjelaskan bahwa BBPOPT memiliki tugas dalam menentukan peramalan luas serangan OPT. Peramalan OPT dibuat dengan model yang sederhana, akurat, dan aplikatif. Angka peramalan luas serangan OPT disusun berdasarkan data serangan pada musim tanam sebelumnya.
Dengan adanya model peramalan OPT diharapkan populasi/ luas serangan OPT dapat ditekan seminimal mungkin. Model peramalan OPT ini dapat diakses melalui aplikasi Siperditan, website BBPOPT, dan buletin peramalan OPT yang didistribusikan ke seluruh BPTPH di Indonesia.
Terpisah, Direktur Jenderal Tanaman Pangan, Suwandi menyampaikan bahwa penanganan hama untuk tanaman pangan dilakukan dengan menerapkan prinsip prinsip Pengendalian Hama Terpadu (PHTT), pengamatan pertanaman secara intensif oleh Petugas POPT, budidaya tanaman sehat dari mulai pengolahan, pemilihan varietas, pemupukan, pembibitan, jarak tanam, waktu tanam, tindakan penanganan OPT secara preemtif dengan menggunakan Agen Pengendali Hayati (APH), pestisida nabati, penanaman refugia, serta melakukan Gerakan Pengendalian OPT (Gerdal) melibatkan berbagai unsur. Sedangkan pengendalian hama tikus bisa dengan mengandalkan burung hantu sebagai predator hama tikus.
Sesuai dengan arahan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo untuk dapat mengawal dan menuntaskan masalah-masalah pertanian seperti hama dan serangan penyakit.
“Langkah kongkretnya adalah melakukan upaya-upaya maksimal untuk menjaga dan mengamankan produksi pangan nasional. Jika ada serangan hama agar cepat turun melakukan penyemprotan dan pendampingan kepada petani,” kata SYL.
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani berharap peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2024…
MONITOR, Jakarta - Koperasi sebagai tonggak pemberdayaan masyarakat, telah membuktikan bahwa ekonomi yang kuat dapat…
MONITOR, Banten - Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto mengaku kaget…
MONITOR, Jakarta – Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imipas) menyerahkan bantuan untuk pengungsi erupsi Gunung Lewotobi di Lembata, Nusa Tenggara…
MONITOR, Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengeluarkan surat penangkapan bagi…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin…