Oleh: Haris Zaky Mubarak, MA
Pemerintah akhirnya kembali memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) terkait penanggulangan pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelar jumpa pers terkait evaluasi PPKM Covid-19 yang berakhir pada 20 Juli 2021.
PPKM akan dilonggarkan jika hingga 26 Juli terjadi penurunan kasus. Jokowi menyebut pemerintah selalu memantau dan memahami dinamika di lapangan. Pemerintah, menurut Jokowi selalu mendengar suara-suara masyarakat yang terdampak dari PPKM. Karena itu, jika tren dari kasus ini terus mengalami penurunan, maka 26 Juli 2021 pemerintah akan melakukan pembukaan secara bertahap
Penegakan PPKM ini merujuk pada Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pelaksanaan dilapangan, penegakan PPKM ini dilakukan oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dengan dibantu pendampingan dari Kepolisian yang didukung oleh Kejaksaan dan pengadilan. Adanya kebijakan ketat untuk menertibkan masyarakat dalam regulasi pidana tentu saja membawa kecemasan kuat masyarakat karena ditengah kesulitan ekonomi yang hebat, sejatinya masyarakat berusaha menaati segala macam aturan protokol kesehatan.
Namun, besarnya tekanan ekonomi, mau tak mau membuat banyak orang pada akhirnya harus melonggarkan kedisiplinan terhadap aturan PPKM. Rasionalitas Data Jika kita melihat data selama wabah pandemi Covid-19 berlangsung.
Maka tak cukup rasanya jika kita membaca rasionalitas penyelesaian wabah pandemi Covid -19 ini semata hanya pada perspektif kedisiplinan kepatuhan aturan kesehatan dengan implikasi ketatnya penertiban hukum. Karena faktanya banyak negara dunia, masyarakat dapat menjadi patuh terhadap aturan penegakan protokol kesehatan bukan karena kuatnya tekanan terhadap
penegakan sanksi hukum negara melainkan karena negara mereka telah menyiapkan skema ketahanan ekonomi yang baik pula.
Tak hanya pada skema persiapan ketahanan ekonomi, beberapa negara sejak masa awal pandemi Covid-19 bahkan sudah lebih dulu melakukan pembatasan sosial penuh (Lockdown) demi menjaga dampak ekor rusaknya ketahanan masyarakat dilaksanakannya pembatasan sosial.
Studi empiris pandemi masa lalu menunjukkan jika dalam penyelesaian pandemi
Covid-19 yang perlu dilakukan pemerintah tak cukup dengan hanya melibatkan pendekatan hukum secara normatif semata tapi juga harus mampu menjangkau pada ruang kepatuhan secara humanis dan juga kesadaran sosial yang sangat tinggi.
Seperti pengalaman wabah pandemi Flu Spanyol yang terjadi 1918 hingga 1919, dimana pemerintah Hindia Belanda saat itu secara taktis mengeluarkan beberapa aturan umum terkait upaya penanggulangan pandemi influenza di Indonesia masa kolonial.
Seperti tercantum dalam Nederlandsch Centrale Gezondheidsraad, masyarakat Hindia Belanda dianjurkan untuk tidak melakukan aktivitas kerja yang terlalu letih, tidak menghirup udara berdebu, dan tidak mengunjungi fasilitas publik seperti Bioskop dan Pasar malam. Demi mencegah makin merebaknya wabah pandemi Flu Spanyol di Hindia Belanda. (Sin Po, 14 dan 15 November 1918).
Sampai hari ini,rekor kasus harian wabah Covid-19 terus terjadi di Indonesia. Dengan penambahan rata-rata 20 ribu kasus per hari pekan ini, Indonesia menempati urutan ke-5 negara penyumbang kasus Covid-19 tertinggi. Bahkan kabarnya saat ini sudah ada 2.178.272 kasus dan 58.491 kematian terjadi karena akibat wabah corona di Indonesia. Tingginya mobilitas warga ditambah adanya varian baru dari SARS-CoV-2 telah membuat positivity rate kita menjadi semakin tak terkendali bahkan naik sampai diatas 20%.
Angka ini berada jauh diatas batas angka maksimal World Health Organization (WHO) yakni sebesar 5%. (WHO, 2021). Tentu indikasi ini sangat mengkhawatirkan, terlebih dapat kita saksikan secara bersama – sama bagaimana sibuk dan lelahnya tenaga kesehatan yang bekerja keras untuk menurunkan agar pandemi cepat usai.
Kebijakan Efektif
Di tengah situasi yang semakin mengkhawatirkan dan melihat semakin lemahnya kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan, maka secara rasional pemerintah akan kesulitan menghadapi tsunami pandemi Covid-19. Dalam konteks ini, dibutuhkan sebuah kesatuan langkah yang efektif dalam mengontrolisasi meluasnya wabah pandemi Covid-19.
Secara taktis, Pemerintah Indonesia perlu untuk segera dapat mengoptimalisasikan langkah tracing atau pelacakan, pembatasan interaksi dan percepatan studi riset unggulan yang menjadi kesatuan terpadu dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19.
Pertama, tracing atau pelacakan yang menjadi langkah awal dalam mendiagnosa setiap gejala pandemi Covid-19. Saat ini langkah tracing Indonesia masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan.Tracing bukan hanya bertujuan mengidentifikasi aktivitas dan riwayat kontak seseorang, namun juga untuk dapat mempelajari transmisi, karakteristik penyakit, genomic sequencing, dan segala bentuk kerusakanya. Pemetaan penyebaran virus pada berbagai daerah, terutama varian-varian baru akan dapat segera diketahui.
Kedua, pembatasan interaksi sosial. Penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) darurat sedikit banyak mempengaruhi optimalisasi pengendalian wabah pandemi Covid-19.Tapi tentunya tak hanya mengatur soal aturan keluar masuk orang secara ketat. Pemerintah juga harus mampu membuat skema program pembersihan lingkungan saat pelaksanaan pembatasan interaksi sosial demi menjaga keselarasan lingkungan.
Kita dapat berkaca dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda saat diserang wabah pandemi Flu Spanyol, pemerintah Hindia Belanda tak hanya aktif mengeluarkan pembatasan interaksi masyarakat tapi juga mengeluarkan kebijakan pembersihan jalanan yang berdebu, termasuk juga upaya membatasi penggunaan kendaraan bermotor secara berlebih.(Sin Po, 13 Desember 1918).
Hal ini memberi bukti jika aturan ketat dari pembatasan sosial tak hanya menekankan pada aspek manusia semata tapi juga pembenahan tata lingkungan. Ketiga, pemajuan studi riset yang komprehensif. Selama pandemi Covid-19 melanda Indonesia pada awal tahun 2020 yang lalu. Kita hampir tak pernah melihat ada media massa Indonesia yang mempublikasikan hasil studi terbaru tentang pencegahan Covid-19 bahkan ajakan untuk melakukan penelitian dalam menyelesaikan wabah pandemi Covid-19.
Hal ini jelas berbeda dengan upaya yang pernah dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda saat diserang wabah Flu Spanyol, mereka mendorong untuk melakukan studi riset secara luas. Puluhan ribu Gulden, pemerintah Hindia Belanda kucurkan demi membangun pusat studi dan laboratorium demi memberantas wabah pandemi Flu Spanyol secara sistematis dan cepat. ( Sin Po, 12 Desember 1918).
Dalam pengendalian wabah Covid-19, pemerintah memang harus banyak melakukan penguatan strategis program demi mendukung langkah efektif penyelesaian secara umum.
Seperti halnya prioritas tata kelola anggaran dan rekrutmen Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini relawan medis dan non medis, termasuk juga prioritas memenuhi ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), serta pengembangan ruang perawatan darurat Covid-19 yang mendesak di seluruh pelosok Indonesia. Keseriusan dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu terus dilakukan supaya wabah tak memperburuk kesehatan masyarakat.
Terakhir, diperlukan sikap gotong royong dari seluruh komponen masyarakat untuk mau bekerja sama dalam mempercepat segala macam penyelesaian wabah pandemi juga sangat menentukan Indonesia bisa lepas dari ledakan pandemi yang besar. Pihak swasta, lembaga, institusi pendidikan, agamawan, dan tokoh masyarakat bersama pemerintah harus mau berdialog demi menanggulangi wabah pandemi Covid-19. Kerja sama menjadi kata kunci yang sangat penting dalam mengisi kekuatan sistem kesehatan nasional menghadapi pandemi Covid-19.
Penulis adalah Analis Nasional dan Peneliti Jaringan Studi Indonesia