Jumat, 26 April, 2024

Temuan FSGI, Sekolah Belum Berani Terapkan PJJ Fase 2

MONITOR, Jakarta – Berdasarkan temuan hasil pemantauan jaringan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), mayoritas sekolah masih melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh, meski dalam perkembangannya telah terjadi buka tutup sekolah di sejumlah daerah. Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan zona, yang semula zona hijau dan kuning kemudian berubah zona orange atau merah.

Pelaksanaan pembelajaran di masa pandemic, dari hasil pemantauan FSGI terbagi 3 (tiga), yaitu PJJ daring, gabungan PJJ daring dan luring; Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Sekolah yang zona hijau dan kuning seluruhnya menggunakan Kurikulum 2013 meski jam belajar sudah diperpendek hanya 2 – 4 jam per hari. Sekolah di zona orange dan merah mayoritas juga menggunakan kurikulum 2013, bukan menggunakan kurikulum 2013 yang disederhanakan, padahal pembelajaran lebih banyak searah, tanpa interaksi.

Kurikulum khusus atau kurikulum 2013 yang disederhanakan juga belum dirasakan oleh siswa dan orangtua sebagai pendamping anak-anaknya belajar. Penugasan masih banyak dan isi seluruh buku teks pelajaran tidak ada yang dilewati semua dibahas dan ditugaskan.

“Sekolah tidak memiliki keberanian melaksanakan kebijakan memilih kurikulum 13 yang disederhanakan,” ujar Heru Purnomo, Sekretaris Jenderal FSGI.

- Advertisement -

Salah seorang Kepala Sekolah di kabupaten Seluma, Bengkulu, yang juga menjabat sebagai Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) kabupaten Seluma, Nihan, menyatakan para Kepala Sekolah kebingungan hendak menggunakan kurikulum 2013 atau Kurikulum khusus, karena tak ada petunjuk dan arahan apapun dari pihak Dinas Pendidikan Provinsi Bengkulu. Sementara untuk membuat kurikulum mandiri, pihaknya tidak mampu.

Kurikulum khusus atau Kurikulum 2013 yang disederhanakan seharusnya sangat membantu guru, karena para guru tidak perlu lagi memilih Kompetensi Dasar (KD) mana saja yang esensial dan mana yang tidak.

“Kurikulum khusus atau Kurikulum 2013 yang disederhanakan seharusnya juga dapat meringankan peserta didik dan orangtua peserta didik yang mendampingi anak-anaknya belajar, namun nyatanya dalam PJJ fase 2, penugasan yang banyak dan berat masih juga dialami oleh peserta didik,” ujar Retno Listyarti, Dewan Pakar FSGI.

Modul Pembelajaran Tak Termanfaatkan Maksimal

Modul pembelajaran Kemdikbud belum dirasakan oleh Sekolah, guru dan siswa karena modul sulit di download, maklum kapasitasnya besar dan jaringan internet juga tikapasitasnya besar dan kalau pun bisa di download mereka tidak memiliki biaya untuk mem-print (mencetak). Jadi akhirnya modul yang sudah susah payah tidak dipergunakan di lapangan.

“Kami dari kabupaten Bima adalah wilayah yang sulit sinyal. Kami sangat membutuhkan modul pembelajaran karena ketika PJJ daring sulit dilaksanakan, maka modul dapat dipergunakan sebagai pembelajaran mandiri untuk luring,” ujar Eka Ilham, guru Bahasa Inggrid di salah satu SMA Negeri di kabupaten Bima.

Eka menambahkan, pihaknya lantas mengusulkan agar bantuan kuota yang tidak mungkin bermanfaat di wilayah mereka, dapat diganti dengan Kemdikbud mencetak modul yang biayanya diambil dari bentuan kuota internet, dialihkan agar tepat guna dan tepat sasaran.

“Peran pemerintah daerah masih lamban dalam mengatasi kendala PJJ daring, selain keterbatasan anggaran di banyak daerah. Sejumlah murid di perkampungan di daerah pedalaman belum mempunyai gawai dan terkendala akses sinyal telekomunikasi seluler. Dengan kondisi seperti itu, modul pembelajaran sebenarnya adalah solusi,” tegas Heru, yang juga Kepala SMPN di Jakarta.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER