HUKUM

Putusan PTUN Soal Evi Munculkan Pertentangan Posisi Hukum dan Etika

MONITOR, Jakarta – Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan eks Komisioner KPU RI Evi Novida Ginting Manik yang menggugat pemecatan dirinya disebut memunculkan kembali pertentangan antara posisi hukum dan etika.

Hal itu disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Indonesia (UI), Jimly Asshiddiqie, dalam Diskusi Publik Virtual berjudul ‘Urgensi Pelembagaan Peradilan Etika dan Transparansi Persidangan Peradilan Etika’ yang diadakan oleh Jimly School of Law and Government (JSLG)-Konrad Adenauer Stiftung (KAS), Jakarta, Kamis (13/8/2020).

Jimly mengungkapkan bahwa pertentangan itu muncul karena Putusan PTUN yang memenangkan Evi tersebut adalah sebuah produk hukum. Sedangkan objek yang digugat Evi adalah Keputusan Presiden (Keppres) yang berdasarkan pada produk etika, dalam hal ini Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Menurut Jimly, ketika Presiden menerbitkan Keppres pemecatan Evi Novida dari jabatan Komisioner KPU RI berdasarkan Putusan DKPP, maka Presiden sudah bersikap benar karena sudah menaati aturan perundangan-undangan yang berlaku.

“Presiden RI menghormati Putusan DKPP, dia sudah memberhentikan Evi Novida Ginting dari KPU RI. Presiden sudah menjalankan Putusan DKPP, dia menghormati dan menjalankan, titik,” ungkapnya.

Namun Evi Novida tidak terima dengan pemecatan dirinya itu, sehingga mengajukan gugatan ke PTUN dengan objek gugatan Keppres yang dikeluarkan Presiden tersebut.

Jimly mengatakan, Putusan DKPP memang bersifat final dan mengikat. Kendati demikian, Jimly mengakui, bersifat final dan mengikat itu hanya untuk KPU, Bawaslu dan Presiden RI, bahkan telah dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun, menurut Jimly, MK memberikan celah bahwa Putusan DKPP itu tidak mengikat bagi pencari keadilan. Sehingga, Evi Novida bisa menggugat Keppres pemecatan dirinya ke PTUN.

“Sesudah selesai (Evi) diberhentikan, itu sudah bukan lagi urusan DKPP, sekarang urusannya itu antara presiden dengan Pengadilan TUN dan Mahkamah Agung,” kata mantan Ketua MK itu.

Kemudian, Putusan PTUN pun akhirnya memenangkan Evi Novida dan Presiden pun harus menghormati serta menjalankannya dengan mengangkat kembali Evi Novida sebagai Komisioner KPU RI. Kecuali Presiden memutuskan untuk membanding putusan tersebut.

“Nah tapi ini masalah, ada pertentangan antara Putusan Pengadilan Hukum TUN dengan Pengadilan Etika Penyelenggara Pemilu. Bagaimana seandainya Putusan Pengadilan Etika dibatalkan oleh Pengadilan Hukum?, ini kan menjadi masalah, apakah hukum lebih tinggi dari etika sehingga hukum bisa membatalkan putusan etika?, ini kan tidak benar,” ujar Jimly.

Recent Posts

Adies Kadir Sebut Pimpinan KPK Terpilih Berdasarkan Pengalaman Penegakan Hukum

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyambut terpilihnya calon pimpinan KPK dan…

10 menit yang lalu

Kesamaan Pesan Puan dan Prabowo di Forum G20 Jadi Orkestrasi Komitmen RI Perangi Kelaparan

MONITOR, Jakarta - Isu kemiskinan dan kelaparan menjadi isu yang sama-sama diserukan oleh Ketua DPR…

27 menit yang lalu

Komisi VII DPR Soroti Digitalisasi Hingga Harga Transportasi ke Tempat Wisata

MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta Pemerintah untuk…

46 menit yang lalu

Keterbukaan Informasi Publik Elemen Penting dalam Penegakan Hukum

MONITOR, Jakarta - Keterbukaan informasi publik menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis. Keterbukaan informasi…

2 jam yang lalu

Jasa Marga Raih Dua Penghargaan pada Ajang Indonesia Most Trusted Companies Award 2024

MONITOR, Jakarta – PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih dua…

3 jam yang lalu

Aktivis Cium Aroma Politis Pada Pemanggilan Suami Airin dan Ketua DPRD Banten oleh Kejati

MONITOR, Jakarta - Dipanggilnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Fahmi hakim ketua DPRD Provinsi…

4 jam yang lalu