Kamis, 25 April, 2024

Corona Impact: Milenial, Awas Jadi Robot !

Oleh: Fahmi Mubarok

Mewabahnya pandemi COVID-19 dewasa ini, sukses memaksa banyak orang untuk berdiam diri di rumah dalam waktu yang tak singkat. Para pelajar, mahasiswa hingga pekerja dituntut untuk belajar di rumah (Learn From Home) dan bekerja di rumah (Working From Home), semua akibat imbas dari pandemi COVID-19 ini.

Jika melihat rentan waktu dan situasinya, diprediksi wabah virus COVID-19 ini akan terjadi sepanjang tahun. Maklum, jumlah kasus penderita virus ini baik kasus positif, Pasien Dalam Pengawasan (PDP), dan Orang Dalam Pengawasan (ODP) di Indonesia semakin hari terus menerus mengalami kenaikan yang relatif tinggi karena penularannya yang begitu cepat.

Oleh karenanya, pemerintah menekankan kebijakan physical distancing untuk penanganan virus COVID-19 di Indonesia. Bahkan untuk meminimalisir laju penyebaran virus, pemerintah sudah memberlakukan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di kota-kota besar. Physical distancing sendiri merupakan istilah pengganti social distancing yang bisa diterjemahkan dengan “Jaga jarak aman dan disiplin untuk melaksanakannya”, demikian seperti dikutip dari situs web Sekretariat Kabinet.

- Advertisement -

Mengutip pertanyaan Doni Monardo selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bahwa jaga jarak ini bukan hanya berlaku di tempat umum, tetapi juga berlaku diseluruh rumah tangga di setiap keluarga. Karena diantara keluarga belum tentu semuanya negatif, belum tentu seluruh anggota keluarga itu aman dari virus COVID-19 ini.

Melihat kondisi yang diprediksi akan berlangsung cukup lama, kekhawatirkan saya pun muncul khususnya untuk para generasi milenial. Dimana situasi ini akan semakin memperburuk kemampuan sosial atau “social skill” milenial karena harus melakukan segala aktivitasnya di rumah saja, khususnya aktivitas sosial mereka kini semakin jauh dari physical/real.

Dengan adanya wabah COVID-19 ini, frekuensi milenial bermain smartphone akan semakin tinggi. Adanya pandemi ini, kalangan milenial akan semakin keranjingan texting. Smartphone menjadikan mereka keranjingan texting. Dari hari ke hari, waktu milenial semakin habis digunakan untuk texting; mengupdate status di Instagram/Facebook, nge-tweet di Twitter, dan yang paling intens adalah chatting di WA atau Line.

Akibatnya, karena komunikasi kini bisa dilakukan cukup dengan memainkan jari-jemari dengan lincah di atas layar handphone ditambah situasi yang mengharuskan untuk melakukan social distancing, maka perlahan percakapan (face to face conversation) pun akan semakin berkurang. Ditambah lagi, hal ini didukung dengan survei yang menyatakan kini milenial semakin menyukai komunikasi via texting (email, Instagram/Facebook, Twitter, atau WA).

Dalam buku karangan Yuswohady, yang berjudul “Millennials Kill Everything” pada salah satu bab-nya mengatakan “ Akankah anak milenial masa depan lebih menyerupai robot ketimbang manusia”. Hal ini diperkuat dengan adanya survei dari Common Sense pada tahun 2012 dan 2018 untuk mengetahui perbedaan perilaku milenial muda (usia 14-17 tahun) di Amerika Serikat selama kurun waktu enam tahun tersebut. Hasilnya, jika pada tahun 2012 sebanyak 49% milenial mengatakan bahwa cara berkomunikasi favorit mereka dengan teman adalah melalui tatap muka (face to face converstation), di tahun 2018 angka itu turun drastis hingga tinggal 32%.

Sementara survei yang dilakukan Ofcom di Inggris menemukan fenomena yang hampir sama. Sekitar 90% milenial muda (usia 17-24 tahun) bertukar informasi dengan teman dan keluarga setidaknya sekali sehari via texting, 74% via media sosial, 67%  via percakapan di HP, dan 63% via percakapan face-to-face secara langsung.

Fenomena ini tentu akan terus meningkat ditengah pandemi COVID-19 ini. Karena kecenderungan untuk memainkan smartphone yang semakin tinggi. Jika kita melihat sekilas milenial memiliki karakter love convenience, love time saving sehingga bersosialisasi via texting dianggap praktis, menghemat waktu dan bisa dilakukan sembari mengerjakan pekerjaan yang lain (multitasking) sungguh efisien dan produktif ya komunikasi via texting.

Lalu apa masalahnya jika kondisi ini terus terjadi, milenial semakin banyak melakukan texting dan semakin meninggalkan komunikasi/sosialisasi secara face-to-face?

Yes, segala sesuatu mungkin memiliki sisi positif dan negatif. Jika komunikasi via texting memiliki keunggulan yang mampu membuat segalanya menjadi lebih praktis dan efisien serta menjadikan milenial tak perlu repot-repot mengatur ekspresi wajah, mimik, intonasi suara, bahasa tubu (body languange), atau bersopan santun seperti komunikasi secara langsung. Maka keunggulan tersebut akan menjadi kelemahan terbesar komunikasi via texting. Bayangkan saja ketika milenial keranjingan texting dan tak terlatih berkomunikasi via face-to-face, tentu mereka akan kehilangan kemampuan sosialnya (social skill).

Milenial menjadi tak luwes dalam memainkan peran, ekspresi wajah, raut muka,tak cakap berkontak mata, karena terbiasa menunduk memandang layar smartphone-nya, tak fasih berbasa-basi, tak bakat mengolah bahasa tubuh, tak piawai mengatur intonasi suara, kapan lirih kapan keras, dan semakin tak tahu tata kram berkomunikasi yang baik, sebab semua itu tidak dikenal dalam komunikasi via texting. Maka jelas sudah dengan adanya pandemi COVID-19 ini, jika milenial terus-menerus keranjingan texting dalam jangka panjang milenial akan lebih menyerupai robot ketimbang manusia. Mengerikan sekali bukan? bayangkan saat berkomunikasi milenial memiliki raut muka seperti tembok, datar tak ada ekspresi, tak ada kontak mata, tak mengenal empati, tak pandai berbasi-basi bahkan bisa tertawa lepas.

Menjadi mirip seperti robot atau menjadi manusia seutuhnya adalah sebuah pilihan. Di tengah pandemi COVID-19 pemberlakuan physical distancing/social distancing, bukan berarti meninggalkan interaksi fisik sepenuhnya, jaga jarak satu meter bukan berarti memisahkan antara satu dengan lainnya. Jika mengharuskan di rumah, maka masih ada keluarga yang bisa menjadi tandem saat berinteraksi. Jadikan momen di rumah aja sebaik mungkin, jika dulu jarang berkumpul dengan keluarga, maka inilah saatnya, jika dulu jarang bersosialisasi dengan keluarga, maka inilah saatnya, jika dulu jarang tertawa bercanda ria dengan keluarga, maka inilah saatnya. So, teruslah bersosialisasi secara face-to-face. Jangan sampai setelah pandemi ini berakhir akhirnya menjadi robot.

*Penulis adalah Ketua Umum PK IMM ITB Ahmad Dahlan Jakarta 2017-2018

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER