Kamis, 18 April, 2024

Indonesia, Corona dan Sikap Kita

Dinno Munfaizin Imamah

Manakala kau sedang berduka,
kau akan melihat seluruh dunia juga berduka,
Jika kau sedang gembira ria bersama sahabat-sahabatmu,
maka dunia akan terlihat bagaikan taman bunga. Karena dirimu adalah bagian dari dunia,
maka kau percaya bahwa secara keseluruhan ia benar
(MAULANA RUMI, Sang sufi)

MUKADIMAH

Ya, semuanya tentang epidemi global coronavirus yang melanda di penjuru dunia. Tapi sebelum bercerita itu semua, ada yang kita lupa: Nikmat Tuhan bagi kita sebagai sebuah Bangsa. Di antara anugerah dan nikmat Tuhan yang terbesar adalah: Dia telah menjadikan kita semua hidup di negeri dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Sangat indahnya pulau-pulau di bangsa ini, hingga bangsa lain menyebut kita sebagai untaian zamrud di khatulistiwa.

- Advertisement -

Indonesia, negeri kita adalah negeri yang memiliki 3 takdir besar. Takdir pertama adalah takdir geografi, berapa luas tanah, luas daratan Indonesia? 195 juta hektar. Kalau peta Indonesia dihamparkan di atas peta dunia, besarnya hamparan negeri ini terbentang dari kota London di Inggris sampai Teheran, di Iran. 195 juta hektar. Lebih dari seluruh negara Eropa. AYO CATAT, dari 195 hektar itu sekitar 178 juta hektar dikuasai perusahaan-perusahaan asing, perusahaan kelapa sawit, perusahaan minyak dan gas, pertambangan mineral, batu bara dan kehutanan. Mereka menguasai 93 persen dari tanah-tanah di Republik ini. Sisanya saat ini, sedikit demi sedikit diambil mereka untuk pabrik, mall-mall, super market, hotel dan sebagainya. Ketika kita menyanyikan lagu Kebangsaan ini, menangislah: Indonesia, Tanah Airku! Ah, tanah air itu bukan lagi milik kita!

Posisi takdir geografi ini sangat strategis membuat negara-negara lain ikut “berebut pengaruh”. Takdir geography oleh kalangan pakar disebut “geography is destiny”.

Lalu takdir kedua bisa dikatakan “demography is destiny”. Raut wajah demografi Indonesia yang menunjukan pertumbuhan demografi kaum mudanya yang keren, progresif dan inovatif. Jika para pengelola Republik ini abai, Indonesia akan mengalami bencana sosial dengan segala kekacauannya. Ini adalah kesempatan sejarah, yang seringkali kita abaikan. Sedangkan takdir ketiga adalah identity is destiny. Lebih dari 300 etnik, yang terdiri dari 700 bahasa yang membentuk konsensus nasional dengan apa yang dinamakan Indonesia.

Jika memang 3 (tiga) takdir adalah kenikmatan dari Tuhan dan kesempatan kita pastinya jadi bangsa yang maju dan makmur, bukan bangsa yang muter-muter pada lingkaran setan, sebuah lingkaran “history misfortune”. Sebuah bangsa yang penuh duka, langit Indonesia yang kelabu gara-gara bencana dan malapetaka seperti yang kita alami saat ini wabah virus corona yang ngeri. Sebuah peristiwa yang mengerikan dan menakutkan dalam sejarah dunia masa kini. Rakyat Indonesia akankah siap untuk menghadapinya, di-Lockdown?

ADA APA YANG TERJADI?

Dalam sebuah kesempatan ngopi ganteng dengan Om Hafiz, kolega yang paham dunia tarekat atau sufisme, paham juga Hubungan Internasional. Respon dia terkait segala yang terjadi saat ini, menarik dikaji. “Mungkin Tuhan ingin manusia istirahat Mas, sudah terlalu larut mungkin kita mengejar dunia” katanya. Ayahnya prajnaparamitha, dengan seksama mendengarkan paparannya, walaupun ada hal yang kakeane yaitu setiap kejadian kayak gini, kapitalisme global yang menggeruk untung besar di tengah ketakutan massa.

Lihatlah begitu banyak lautan manusia yang memburu dan ngantri jajanan dan makanan seabrek di super market, mall-mall, Indomart, dan Alfamart bukannya di warung-warung tetangga sebelahnya. Sebuah pemandangan akan ketakutan manusia kepada makanan dan pangan, bahkan mungkin takut kepada kematian. Setiap tarikan nafas-mu adalah menuju kuburan-mu, demikian dawuh sang Wali.

Ada apa yang terjadi di negeri tercinta ini? Dan di penjuru dunia, China, Italia, Iran, Spanyol, Brazil dan 170 negara lainnya yang dilanda wabah virus corona. Mengapa kenikmatan telah berubah wujud jadi malapetaka? Mengapa kekayaan alam yang merupakan anugerah Tuhan jadi bencana banjir, longsor dan lainnya? Akankah ini adalah faktor keserakahan manusia? Atau ada faktor lain cuk misalnya bocornya senjata biologis, konspirasi atau dampak pertengkaran perang dagang global antara China vs Amerika. Antum setuju yang mana? Atau punya paparan lain seperti ramainya perdebatan Novel besutan Dean Koontz berjudul The Eyes of Darkness di jagat medsos, terserahlah!. Tapi yang jelas, langkah melawan penyebaran epidemi virus corona di negeri kita wajib digelorakan berjama’ah. Berbuatlah, bergeraklah untuk kemanusiaan!

Sekali lagi ada apa dengan negeri ini?
Kita bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan analisa ilmiah atau dengan sekedar mengotak-atik otak. Tetapi, bagaimana dengan penjelasan kitab suci Al-Qur’an? Karena salah-satu sebab-sebab ghaib, di samping sebab-sebab lahir. Padahal sains adalah makhluk bermata satu, yang melacak berbagai peristiwa pada sebab-sebab material. Jika sebab-sebab material itu tidak ditemukan, sains berkata: kejadian ini tidak rasional.

Di antara sebab-sebab ghaib yang mempengaruhi hidup kita adalah perilaku moral kita. Tuhan menyebut sebab kejatuhan dan hancurnya satu generasi pada perilaku mereka yang melalaikan sembahyang dan mengikuti hawa nafsunya (QS. 19:59). Dalam surat al-A’raf ayat 96, Tuhan menisbahkan terbukanya keberkahan dari langit dan bumi pada perilaku sebuah Bangsa yang beriman dan bertakwa.

Dalam surat Al-Anfal ayat 53-54, Tuhan mencabut kenikmatan pada satu bangsa karena bangsa itu sudah menjadi keluarga besar Fir’aun: (Siksaan) yang demikian itu terjadi karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu bangsa sehingga bangsa itu mengubah apa yang ada di dalam diri mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. Keadaan bangsa itu sama dengan keadaan keluarga Fir’aun serta orang-orang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya. Maka kami binasakan mereka dengan dosa-dosa mereka dan kami tenggelamkan keluarga Fir’aun. Semuanya adalah orang-orang yang zalim (QS. 8:53-54).

Jangan-jangan langit kelabu Indonesia yang menimpa kita awal tahun ini terjadi karena seluruh bangsa ini sudah menjadi keluarga Fir’aun, Raja diraja oligarki yang serakah dan kejam, tapi halus mainnya. Jangan-jangan para pengendali dan pengelola kekuasaan di antara kita sudah menjadi fir’aun-fir’aun kecil, yang memggunakan daya politik dan ekonominya untuk memeras yang lemah, mempermainkan rakyat, menindas yang rendah dan merampas hak-hak orang yang tidak berdaya. Abai dan ngga’ peduli nasib kaum sudra, menyingkirkan jama’ah rawa-rawa. Perilaku kita sudah seperti layaknya para Dewa. Maklum berkuasa Men!

Jangan-jangan orang-orang berharta kita, pengusaha dan konglomerat sudah menjadi Qarun, sang rakus yang mengumpulkan dunia dengan tidak peduli halal dan haram, sikat. Demi duit, kita tak ragu-ragu menghajar dan menghantam, menyakiti, bahkan ‘membunuh’ sesama saudara kita. Kita sudah menjadi binatang-binatang buas, karena memang aslinya binatang dengan kadar yang tinggi, cuman bukan anggota kebun binatang Ragunan, om. Julukan zamrud Khatulistiwa sudah kita ubah menjadi rimba raya yang mengerikan.

Jangan-jangan para intelektual top kita sudah menjadi Haman dan jaringannya, bermetamorposis jadi penggerak yang mempersembahkan kecerdasannya untuk mengabdi kepada aliran hitam kezaliman. Kecerdikan kita gunakan untuk meliciki rakyat. Kepintaran kita manfaatkan untuk ‘menyesatkan’ orang-orang lemah. Semuanya total demi kekuasaan belaka tanpa kepedulian akan kemanusiaan.

Jangan-jangan tokoh agama kita sudah berubah jadi Bal’am bin Ba’ura. Kita jual ayat-ayat suci untuk memenuhi rekening bank kita. Kita kemas ambisi duniawi dengan ritus-ritus kesholehan langit. Seyogyanya kita langkahkan kaki-kaki kita ke gubuk-gubuk rakyat, mengetuk pintu mereka, memberikan bantuan kepada warga yang tertimpah masalah . Tetapi yang terjadi, mereka abai rakyat, diperas oleh sapi perah kapitalisme, jadi sekrup-sekrup mesinnya. Dan kini, kita mengayunkan langkah ke istana para penguasa dan geng oligarki, menundukkan kepala kita di hadapan mereka, seraya menggunakan ayat-ayat Tuhan untuk membenarkan tirani dan kezaliman mereka. Padahal kita adalah hamba Tuhan, bukan hamba oligarki lokal dan nasional.

Jangan-jangan kita semua sudah tidak peduli dengan perintah-perintah Tuhan. Kita semua sudah jadi budak-budak dunia. Di tempat ibadah, kita membesarkan nama Tuhan yang Akbar. Di luar tempat ibadah yang mulia, kita menyepelekan Dia. Di tempat ibadah, seluruh anggota badan kita pergunakan untuk beribadah kepada Tuhan. Di luar tempat ibadah, kita menggunakannya untuk bermaksiat sosial kepada-Nya.

Tangan-tangan dan jari-jemari yang kita angkat dalam untaian do’a-do’a kita adalah juga tangan-tangan yang bergelimang dosa sosial. Lidah-lidah yang kita getarkan untuk menyebut nama Tuhan yang suci dan agung adalah juga lidah-lidah yang berlumuran kata-kata kotor, fitnah, cacian dan makian. Kepala yang kita rebahkan dalam sujud adalah juga kepada yang kita dongakkan dengan angkuh dan sombong di hadapan hamba-hamba Tuhan. Sebuah rincian perilaku moral kita yang ngeri, yang berdampak besar kepada ekosistem sosial dan kebangsaan Indonesia. Ampunnn…

WHAT I’VE DONE

Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2017) telah menunjukkan bahwa dalam ratusan tahun ini, manusia telah berhasil mengembangkan teknologi kesehatan mengatasi wabah. Misalnya wabah pes hitam pada 1330-an telah membunuh lebih dari 75 juta jiwa. Wabah itu mengurangi populasi secara drastis hingga seperempat penduduk Afrika Utara dan Eropa.

Dengan kecanggihan teknologi kesehatan, para pakar berhasil menemukan berbagai obat antivirus sehingga mampu mencegah berkembangnya korban dalam skala global. Meski virus baru sering muncul dalam waktu beberapa tahun, jumlah korban dapat ditekan. Inovasi teknologi medis berhasil memberantas wabah, tentu tidak cukup, ada cara lain dalam melawan coronavirus. Begitu banyak kalangan yang punya pandangan menyalahkan epidemi coronavirus secara global, dan mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghadapi lebih banyak wabah tersebut adalah dengan mengglobalisasi. Padahal sebaliknya, penawar epidemi coronavirus bukanlah pemisahan melainkan kerja sama dalam kepemimpinan kemanusiaan, demikian kata Yuval, bro.

Epidemi atau wabah akan selalu ada dan manusia selalu menemukan jalan keluarnya. Karena manusia mencoba untuk hidup selamanya, begitu dawuh Gus Amin dari Cirebon punya.

Marilah kita ubah musibah dan malapetaka wabah virus corona yang melanda negeri kita, yang bersama kita alami sekarang menjadi nikmat kembali bangsa ini, dengan mengubah perilaku moral kita. Tinggalkan arogansi Fir’aun, kerakusan dan keserakahan Qarun, kelicikan Haman dan kemunafikan Bal’am.

Marilah kita berbuat bersama agar umat manusia segera terbebas dari wabah virus corona. Presiden Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin Pemimpin bangsa harus bergerak total dengan langkah-langkah yang terukur bersama menteri-menteri, stafsus milenial yang katanya super keren-keren (terjunkan mereka di lapangan Pak De), para Kepala Daerah, tokoh-tokoh agama dan masyarakat ditautkan dalam satu jalan seiring memberesi masalah Kebangsaan, keluar dari ujian besar dan epidemi coronavirus ini. Ayo bergandengan tangan dan hati, bahu-membahu, bergotong-royong mengeluarkan semua anak bangsa, dari kegelapan menuju cahaya sebagaimana jalan hidup Soekarno-Hatta, pendiri Republik Indonesia.

Tuhan kami,
janganlah Engkau menyiksa kami jika kami lupa atau berbuat dosa.
Tuhan kami, jangan timpakan kepada kami beban
seperti Engkau timpakan kepada umat sebelum kami.
Tuhan kami, jangan timpakan kepada kami siksa yang kami tidak sanggup memikulnya. Maafkan kami, sayangi kami,
Hanya Engkau sajalah Pelindung kami.

Marilah kita baca bersama juga do’a syair nazam ijazah Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari saat menghadapi wabah penyakit:

Li Khomsatun, uthfi-biha # Harol waba-il Hathimah
Al-Musthofa wa Murtadho # Wabnahuma wa Fathimah

Artinya: “Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang mengakibatkan kesengsaraaan, dengan wasilah derajat luhur 5 pribadi mulia yang aku punya: Baginda Nabi Muhammad al-Musthafa Saw, Sayyidina Ali Al-Murtadho dan kedua putra (Hasan dan Husain), serta Sayyidatina Fathimah Az-Zahra binti Rasulillah Saw”. Shollu alannabiy.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER