Kamis, 28 Maret, 2024

Silang Pendapat Penanganan Isu Virus Corona, Pengamat: Saatnya Reshuflle Pejabat

MONITOR, Jakarta – Pemerintah dinilai gagap dan tidak cermat dalam menyikapi dan mengelola isu virus corona yang saat ini tengah menghantui dunia termasuk Indonesia. Komunikasi publik yang buruk para pejabat pemerintahan terkait sehingga menimbulkan silang pendapat dan kepanikan masyarakat dinilai menjadi penyebabnya.

Menyikapi hal tersebut, pakar komunikasi politik Emrus Sihombing mengatakan saat ini disadari atau tidak, ada terjadi pergeseran wacana publik yang seharusnya murni isu penanganan virus Corona dari segi medis semata, namun ada sebagian bermutasi menjadi perbincangan pro-kontra tidak produktif di ruang publik.

“Bahkan silang pendapat penanganan isu virus Corona di Indonesia tampak semakin menghangat dan tidak produktif. Ini tidak baik. Padahal, presiden sangat serius membuat kebijakan, langkah-langkah dan program yang sangat strategis dan operasional agar penyebaran virus Corona di Indonesia dipastikan tertangani dengan baik sesuai dengan standar WHO,” kata Emrus melalui keterangan tertulisnya. Senin (9/3/2020).

Menurut Direktur Eksekutif EmrusCorner tersebut, jika para pihak pro-kontra semakin menghangat pasti akan menuai konsekuensi persepsi positif atau negatif dari masyarakat kepada para pihak yang melontarkan pesan di ruang publik.

Bagi mereka yang berbasis fakta, data, dan bukti yang sudah teruji validitasnya serta didukung oleh argumentasi induktif dan deduktif yang benar, dari aspek komunikator komunikasi orang tersebut dikategorikan sebagai sumber yang kredibel.

Sebaliknya, tegas Emrus mereka yang menyampaikan pesan tidak berbasis fakta, data, dan bukti yang kuat serta argumentasi salah nalar, apalagi mengandung hoaks, maka kredibilitas yang bersangkutan akan dipertanyakan publik.

“Oleh karena itu, para pihak yang melontarkan pesan pro dan kontra di ruang publik, harus hati-hati efek yang terjadi di tengah masyarakat. Jadi, diperlukan kedewasaan komunikasi ketika berwacana di ruang publik,” terang Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) itu.

Terlepas siapa yang mendapat persepsi positif atau negatif, dialektika komunikasi di ruang publik yang dipertontonkan oleh para elit tersebut ungkap Emrus sama sekali tidak menyejukkan.

“Polemik yang tidak produktif yang sedang terjadi saat ini sebenarnya bisa diminimalisasi atau ditiadakan jika pengelolaan komunikasi di Istana Negara, kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait langsung dan tidak langsung penanganan isu virus Corona dilakukan dengan prinsip-prinsip manajemen komunikasi yang bagus, seperti proaktif, antisipatif, koordinatif, inovatif, kreatif dan sebagainya,” katanya.

“Namun apa yang terjadi? Tampaknya pengelolaan komunikasi pemerintah seolah seperti “pemadam kebakaran”. Jika isu sudah simpang siur, baru sibuk meng-counter dan atau menjelaskan. Ini contoh manajeman dan tindakan komunikasi yang kurang profesional,” tambahnya.

Akibatnya, tegas Emrus pengelolaan komunikasi oleh para pejabat komunikasi di Istana, kementerian dan lembaga pemerintahan tidak menjadi leading sector setiap saat pada semua isu dan dipastikan sulit mewujudkan “imunisasi” komunikasi di tengah masyarakat melawan virus hoaks sehingga sebagian masyarakat begitu mudah terprovokasi.

Sebenarnya, wacana isu virus Corona sudah mengemuka sejak Desember 2019 di seluruh dunia, sekalipun saat itu belum ditemukan kasus di Indonesia.

Saat isu itu mulai merebak, langkah antisipatif sejatinya dilakukan oleh tim komunikasi Istana dan biro-biro komunikasi kementerian dan lembaga negara yang terkait, dengan membentuk antara lain “Crisis Center”. Sebab ketika itu, sangat bisa diduga kuat bahwa virus Corona masuk ke Indonesia tinggal menunggu waktu, karena Indonesia negara terbuka.

“Melalui Crisis Center ini dapat dilakukan pengelolaan, koordinasi komunikasi penanganan isu Corona dari berbagai aspek. Sayangnya, hal tersebut belum dilakukan dengan baik, maksimal dan profesional oleh para pejabat komunikasi Istana maupun kementerian dan lembaga pemerintah yang terkait,” tandas Emrus.

Karena itu, Emrus menyarankan kepada pemerintah pusat agar secepatnya dilakukan evaluasi tentang kapabilitas, profesionalitas serta loyalitas pejabat komunikasi yang ada di Istana, kementerian dan lembaga negara.

“Salah satu yang sangat urgen dievaluasi tentang kedalaman pengetahuan ilmu serta profesionalitas di bidang komunikasi. Karena itu, sangat-sangat tidak tepat bila mereka tidak berlatar belakang S1 Komunikasi, tetapi duduk sebagai pejabat yang menangani komunikasi,” ungkapnya.

“Analogi sederhana, sangat tidak tepat pejabat atau kepala biro hukum atau keuangan dari S1 komunikasi. Tempatkanlah orang sesuai kapabilitas keilmuannya,” tandasnya.

Khusus penanganan bidang komunikasi, Emrus menyatakan harus seorang komunikolog karena terkait dengan kepentingan publik yang bergerak sangat cepat, dinamis dan subyektif. Penanganan persoalan komunikasi menurutnya sangat tidak bisa ditangani hanya dengan pendekatan mekanistis, sekedar sebab-akibat, seperti pendekatan ilmu eksakta.

“Karena itu, teman-teman yang berlatar belakang ilmu mekanistis, melakukan koreksi diri, apakah tepat duduk sebagai pejabat komunikasi pemerintah,” papar Emrus.

“Menurut hemat saya, dengan segala hormat, juru bicara kepresidenan dan kepala biro komunikasi kementerian dan lembaga pemerintah mutlak harus minimal S1 Komunikasi. Lebih baik lagi, bila mereka juga S2 dan S3 komunikasi serta memiliki sertifikasi profesi komunikasi,” pintanya.

Dari catatan dan hasil evaluasi tersebut, Emrus mengatakan bahwa sangat tepat pemerintah melakukan “reshuffle” para pejabat komunikasi pemerintah. “Agar tidak terulang lagi seperti penanganan isu Corona yang menimbulkan kesimpangsiuran dan ketidakpastian di ruang publik dalam kasus-kasus lain ke depan,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER