Kamis, 25 April, 2024

Resesi Demokrasi dan Modernisasi Partai Politik

Moch. Aly Taufiq *

Demokrasi dan partai politik merupakan dua konsep yang saling bertaut satu sama lain. Demokrasi sebagai sebuah bentuk pemerintahan dan sistem politik menjadi landasan (platform) dan determinan utama yang mempengaruhi eksistensi partai politik. Sebaliknya, eksistensi partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsi dasarnya semisal rekrutmen, kaderisasi, pendidikan, sosialisasi, hingga komunikasi politik akan menjadi faktor-faktor penting yang menentukan bobot demokrasi di suatu negara.

Betapa eratnya hubungan antara konsep demokrasi dan partai politik menyebabkan ‘turbulensi’ pada satu bidang akan memberikan signifikansi penting terhadap bidang lainnya.

Dewasa ini, ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja partai politik semakin menguat. Kondisi ini tentu saja kontradiktif apabila menengok kembali sisi historis kepartaian di Indonesia pada masa lalu. Lepasnya Indonesia dari cengkeraman otoritarianisme orde baru 21 tahun yang silam memang berdampak pada membludaknya jumlah partai politik. Pembludakan tersebut memang sudah memberikan angin segar terhadap pembangunan demokrasi, hanya saja belum masih jauh dari harapan.

Salah satu realitas yang dapat menjelaskan pernyataan tersebut adalah kewenangan partai politik dalam menentukan calon pemimpin eksekutif dan legislatif belum berkorelasi positif dengan kapasitas dan integritas para calon tersebut dalam melaksanakan tugasnya pasca terpilih dalam Pemilu.

- Advertisement -

Kondisi tersebut tercipta karena sistem rekrutmen dan kaderisasi masih belum melalui assessment yang professional. Pada faktanya, partai politik lebih mempertimbangkan faktor modal kapital dan sosial yang kuat, dibanding pengalaman politik dan kepemimpinan dalam menentukan calon pemimpin eksktutif atau legislatif. Sebagai resultansinya, lahirlah pemimpin-pemimpin yang mengampu jabatan, namun dengan kompetensi, integritas, dan komitmen organisasional yang minim.

Lemahnya kapasitas calon terpilih tersebut tidak hanya berdampak kurang baik bagi partai politik saja, tapi juga kelembagaan parlemen sebagai lembaga suprastruktur politik tempat mereka bekerja. Survei Litbang Kompas pada 2019 menunjukkan bahwa hanya 42,4 persen publik yang percaya pada partai politik. Tingkat kepercayaan tersebut termasuk tiga terendah setelah DPR dan DPRD.

Fakta lainnya yang menjadi kausa mengapa citra partai politik semakin buruk di mata masyarakat adalah kinerja para calon eksekutif dan legislatif yang minim dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya pasca terpilih dalam Pemilu. Sebagai contoh, berdasarkan data yang dirilis oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), kinerja anggota DPR RI periode 2014-2019 dianggap mengecewakan. Mereka hanya mampu mengesahkan 84 Rancangan Undang-Undang (RUU) dengan komposisi 49 RUU Kumulatif Terbuka dan 35 RUU dalam Prolegnas. Angka tersebut jauh dari target yang ditetapkan, bahkan lebih buruk dibandingkan jumlah RUU yang disahkan oleh DPR RI periode sebelumnya.

Pelantikan dan pengambilan sumpah anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 (foto:DPR)

Citra anggota parlemen akan semakin terpuruk apabila membahas keterlibatan mereka dalam kasus korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang 2015-2019, terdapat 254 anggota dan mantan anggota DPR dan DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi.

Minimnya Kualitas Demokrasi

Buruknya citra partai politik tersebut tentu saja bukan sebuah kondisi yang tunggal. Seperti yang disinggung sebelumnya, demokrasi menjadi landasan dan determinan utama yang mempengaruhi eksistensi partai politik. Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap partai politik disebabkan oleh kualitas demokrasi yang diterapkan.

Menarik untuk mempelajari dan mendiskusikan Indeks Demokrasi 2019 (Democracy Index 2019) yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU). Berdasarkan publikasi tersebut, Indonesia masuk kategori negara dengan demokrasi cacat. Indonesia berada pada posisi ke-64 dari 167 negara, jauh berada di bawah Timor Leste (41) dan Malaysia (43) sebagai sesama negara Asia Tenggara.

Ada banyak kriteria yang dipakai oleh EIU dalam mengukur kualitas demokrasi di suatu negara seperti proses Pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil. Indonesia memperoleh skor tertinggi dalam hal proses Pemilu dan pluralisme (7,92), sedangkan budaya politik dan kebebasan sipil menjadi dua indikator demokrasi terendah, masing-masing dengan skor 5,63 dan 5,59.

Ada hal menarik lainnya yang patut dicermati dari rilis tersebut. Angka partisipasi politik Indonesia tergolong rendah (6,11), meskipun faktanya partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu 2019 melonjak tajam. Hampir 81 persen pemilih datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya. Angka tersebut merupakan persentase tertinggi dalam sejarah Pemilu era reformasi.

Diskrepansi hasil antara rilis EIU dan realitas empirik di tanah air terkait partisipasi politik tersebut akan mendedahkan sebuah permasalahan mendasar terkait kualitas dan bobot demokrasi yang diterapkan di Indonesia.

Seperti artikel yang ditulis oleh Moch. Nurhasim, peneliti P3P LIPI, di Harian Kompas (7/2), berjudul ‘Resesi Demokrasi’, tingginya angka partisipasi politik pada Pemilu 2019 disebabkan oleh adanya fenomena ganda, yakni pembelahan sosial politik di satu sisi, serta penguatan politik identitas di sisi lain. Kedua faktor tersebut sejatinya sangat tidak kondusif bagi upaya penguatan demokrasi, namun mampu ‘menyeret’ masyarakat untuk berduyun-duyun menggunakan hak pilihnya di bilik-bilik suara pada Pemilu 2019 lalu.

Demokrasi yang diejawantahkan di negeri ini tidak berlebihan apabila disebut masih berada pada tataran prosedural, belum menyentuh substansi yang sejatinya. Amandemen UUD NRI 1945 pada 2001 yang mengubah format pemilihan presiden dan wakil presiden, kepala daerah, serta anggota parlemen baik di level pusat maupun daerah, dari dipilih secara representatif oleh parlemen menjadi dipilih langsung oleh rakyat, pada awalnya diharapkan mampu menambah bobot demokrasi.

Rakyat diberikan kebebasan untuk memilih kandidat yang dianggap kompeten dalam mewujudkan harapan mereka akan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun realitas yang ada tidak selalu sejalan dengan harapan. Tingginya biaya kandidasi dalam Pemilu (costly) mengakibatkan partai politik merekrut calon-calon yang bukan benar-benar pilihan rakyat.

Calon yang diusung oleh partai politik adalah calon yang ‘tebal’ kapitalnya atau sekedar populer di mata publik, namun tidak ditopang oleh pengalaman dan kompetensi yang baik. Oleh sebab itu, esensi penguatan demokrasi tidak tercapai, harapan masyarakat juga terbengkalai.

Dalam konteks ini, partai politik sebagai pilar demokrasi dipaksa untuk berkompromi dengan model demokrasi yang ada dalam sistem Pemilu, bahkan partai politik tertentu tak sungkan untuk memanfaatkan celah dari model demokrasi yang ada.

Terjadi politik transaksional dalam tubuh partai politik ketika menentukan kandidat yang diusung. Dalam konteks relasi antar partai politik dalam upaya merebut jabatan kepala daerah di suatu wilayah provinsi/kabupaten/kota, beberapa partai politik tak segan untuk membentuk ‘koalisi gemuk’ dengan mengusung calon tunggal. Kondisi inilah yang membuat Pemilu langsung serasa tak langsung, karena rakyat disodorkan calon yang tak sesuai ekspektasi mereka.

Penguatan Demokrasi dan Partai Politik

Merujuk pada situasi dan kondisi yang ada, maka ada dua solusi yang dapat diketengahkan. Pertama adalah merevitalisasi format demokrasi, dan kedua adalah dengan memodernisasi partai politik.

Upaya revitalisasi demokrasi yang paling mendesak saat ini adalah merumuskan strategi untuk memperbaiki kelembagaan Pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat dengan mereformasi sistem Pemilu agar lebih partisipatif, kondusif, dan tentu saja efektif dan efisien. Kebebasan sipil adalah hal mendesak lainnya untuk dibenahi.

Kebebasan sipil yang ada saat ini adalah kebebasan yang kebablasan, hampir terjebak pada mobokrasi. Namun situasi tersebut tidak seharusnya direspons pemerintah dengan kebijakan represif. Di sinilah tantangan dalam merevitalisasi demokrasi.

Pada tahap lebih lanjut, revitalisasi demokrasi akan menuntun pada upaya untuk memodernisasi partai politik. Sistem Pemilu yang lebih ramah ongkos diharapkan dapat menjadi trigger bagi partai politik untuk menerapkan rekrutmen yang lebih berbasis pada pengalaman, kompetensi, dan komitmen anggota.

Kebebasan sipil dalam wujud artikulasi dan agregasi kepentingan yang terarah akan menjadi media bagi partai politik dalam menampung aspirasi rakyat dalam memilih para calon yang akan diusung dalam Pilkada dan Pemilu Legislatif (Pileg). Ini dapat menghindarkan partai politik dari politik berbiaya tinggi dalam Pemilu karena calon benar-benar berasal dari kader sendiri yang berbasis pada aspirasi rakyat.

Partai politik tidak hanya akan lebih percaya diri dengan calon yang diusung, tapi juga menjadi jaminan mutu agar calon yang diusung tidak terlibat praktik korupsi jika terpilih nantinya. Semoga.

*) Penulis merupakan Mahasiswa Doktoral Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER