Oleh: Emrus Sihombing*
Sekalipun debat kedua dibanding debat pertama Pilpres 2019 ada kemajauan, namun masih ada yang harus dioptimalkan agar debat selanjutnya lebih baik dan orientasi pada kepentingan pemilik hak suara, bukan kepentingan Paslon, partai pengusung dan para pendukung. Setidaknya ada lima hal yang sangat baik diimplementasikan pada tiga debat yang masih tersisa.
Pertama, peserta. Peserta yang hadir, seharusnya representasi pemilik hak suara, yaitu rakyat Indonesia. Setidaknya ada empat kelompok pemilik hak suara yang seharusnya hadir pada acara debat, yaitu kaum melinea, pemilih pemula, kelas sosial yang belum beruntung utamanya dari desa-desa terpencil, dan kelompok masyarakat yang berpotensi menjadi golput.
Representasi dari keempat kategori ini justru yang harus hadir dalam acara debat. Mereka harus mendapat akses informasi dan pengetahuan yang lengkap dari dari sumber utama, terutama dari kedua paslon Pilpres ketika berlangsung debat.
Oleh karena itu, menurut saya, pendukung tidak perlu hadir dalam acara debat berikutnya. Sebab, para pendukung hampir sudah dapat dipastikan memiliki pilihan salah satu dari dua paslon Pilpres. Jadi, saya tegaskan, mereka tidak begitu penting hadir. Selain itu, para pendukung berpotensi dapat mengganggu jalannya debat karena terpicu rasa simpati atau larut dalam suasana kemeriahan atau menunjukkan rasa kurang senang terhadap salah satu elemen dari proses perdebatan.
Hakekat debat Pilpres bukan untuk Paslon, partai pengusung, apalagi pendukung memenangkan kontestasi pemilu, tetapi sesungguhnya untuk pemilik hak suara agar memperoleh pengetahuan yang paripurna membantu mengambil keputusan yang tepat menentukan pilihan dari kedua paslon Pilpres.
Sebenarnya, KPU berharap rangkaian debat dapat memberikan informasi yang cukup bagi para pemilih untuk menentukan pilihannya pada 17 April 2019, demikian Ketua KPU, Arief Budiman, pada suatu kesempatan. Sayangnya, dua debat yang sudah berlalu belum mengedepankan kepentingan pemilik hak suara. Justru tampak seolah pesta kemeriahan dari para pendukung.
Penyelenggaraan dua kali debat, menurut hemat saya, lebih mempertontonkan untuk kepentingan kedua paslon kandidat, partai pengusung dan pendukung. Ini sangat kurang tepat. Harusnya berorientasi kepada kepentingan pemilik hak suara.
Kedua, panelis. Panelis debat haruslah dinamis dan substantif. Dinamis, panelis sejatinya diberikan kesempatan mengajukan tanggapan dan atau pertanyaan lanjutan yang lebih mengerucut, bila jawaban peserta debat kurang substansial atau belum jelas. Sebab, debat ini sekaligus melihat kapabilitas kandidat dalam merespon setiap persoalan yang terkait materi debat. Sesungguhnya panelis itu representasi “wakil rakyat” seluruh Indonesia untuk bertanya dan memberikan tanggapan kepada calon pemimpinnya, karena mereka tidak mungkin hadir di ruang debat.
Substantif, pertanyaan dan atau tanggapan dari panelis harus menukik, tidak boleh normatif, apalagi monoton. Contoh pertanyaan yang substantif yang menukik, “Saudara kandidat, mohon dijelaskan road map pemberantasan korupsi di Indoensia, kelak bila saudara memimpin negeri ini lima tahun ke depan”
Ketiga, ketegasan moderator. Diperlukan ketegasan moderator untuk menyetop pembicaraan jika peserta debat melewati waktu yang tersedia, dengan batas toleransi maksimal sepuluh detik. Setelah itu, teknologi komunikasi pengeras suara otomatis berhenti.
Keempat, minimal waktu yang diberikan kepada peserta debat tiga menit memberikan pandangan atau jawaban pada setiap setting, agar peserta debat cukup waktu menarasikan pikiran, gagasan dan idenya secara tuntas. Sangat tidak memadai hanya satu atau dua menit. Jangan lupa, penjelasan dengan ketersediaan waktu yang cukup, sekaligus membantu pemilik hak suara memahami jalan pikiran pada peserta debat. Karena itu, sekali lagi saya berpendapat, debat ini untuk pemilik hak suara.
Kelima, ketika peserta debat sudah selesai memberikan pandangan atau tanggapan sementara waktu yang tersedia masih ada tersisa, peserta debat berkewajiban menekan tombol sebagai tanda bahwa dia telah berakhir memberikan pandangan.
*Penulis merupakan Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner