Jumat, 29 Maret, 2024

Peran Koperasi dalam Pembangunan Ekonomi di Era Revolusi Industri 4.0

Implementasi Industri 4.0 jangan hanya menjangkau perusahaan besar (konglomerat), tetapi terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 95% total unit usaha di Indonesia dan sebagian besar masih miskin.

Oleh :

Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS

 

Kita bersyukur kepada Allah swt, bahwa sejak merdeka 17 Agustus 1945 negara-bangsa Indonesia terus mengalami perbaikan hampir di semua aspek kehidupan, mulai dari infrastruktur, ekonomi sampai sosial-budaya. PDB (Produk Domestik Bruto atau besaran ekonomi) Indonesia tahun lalu mencapai 1,4 trilyun dolar AS, terbesar ke-16 di dunia (WEF, 2018).

- Advertisement -

Namun, sudah 73 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah (low-middle income country) dengan rata-rata pendapatan nasional kotor (Gross National Income) perkapita 3.604 dolar AS. Padahal, sebuah negara dikategorikan sebagai negara makmur (berpendapatan tinggi), bila GNI perkapitanya diatas 12.166 dolar AS (World Bank, 2017).

Kapasitas IPTEK kita bangsa Indonesia pun hingga kini baru berada di kelas-3, dimana lebih dari 75% kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Padahal, suatu bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju, bila kapasitas IPTEK nya mencapai kelas-1 atau lebih dari 75% kebutuhan IPTEK nya merupakan hasil karya bangsa sendiri (UNDP, 2010).

Sementara itu, jumlah rakyat  miskin pun masih tinggi, sekitar 26,58 juta orang (10,12% total penduduk) berdasarkan pada garis kemiskinan BPS (2017) sebesar Rp 370.910/orang/bulan.  Sedangkan, atas dasar garis kemiskinan internasional (2 dolar AS/orang/hari), jumlahnya mencapai 110 juta orang atau 40% total penduduk.

Yang lebih mencemaskan, sekitar 30% dari total anak Indonesia mengalami stunting growth (tubuh pendek) dan 33% nya menderita gizi buruk.  Jika tidak segera diperbaiki status gizi dan kesehatannya, maka fisik mereka akan lemah dan kecerdasannya rendah (a lost generation).  Jumlah pengangguran terbuka dan setengah menganggur masih sangat tinggi, sekitar 40 juta orang atau 31,25% dari total angkatan kerja 128 juta (BPS, 2018).

Ketimpangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya juga sangat tinggi, yang tercermin dari koefisien Gini sebesar 0,391. Bahkan, menurut Credit Suisse (2017) ketimpangan ekonomi Indonesia merupakan yang terburuk keempat di dunia, dimana 1% penduduk terkayanya menguasai 49% total kekayaan negara. Selain itu, 4 orang terkaya Indonesia memiliki total kekayaan 25 milyar dolar AS (Rp 335 trilyun) setara dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin atau 35% total penduduk Indonesa (Oxfam, 2017).

Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan negara (KPA, 2015). Dan, dalam dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya dinikmati oleh 20% penduduknya, sedangkan 80% sisanya tidak kebagian kue pertumbuhan ekonomi tersebut (Bank Dunia, 2017).

Pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi itu ditenggarai merupakan penyebab utama dari semakin marak dan masifnya berbagai macam tindakan kriminal (seperti perampokan, begal, pemerkoasaan, dan pembunuhan), penyakit sosial (seperti depresi, konsumsi narkoba, prostitusi, dan bunuh diri), kecemburuan sosial (social jeloussy), anarkisme, radikalisme, dan terorisme.

Semua ini berujung pada instabilitas politik, buruknya iklim investasi dan kemudahan berbisnis, yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan rakyat.  Demikian seterusnya, ibarat lingkaran setan.

Apabila tiga musuh utama bangsa berupa pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial itu tidak segera diatasi, dikhawatirkan Indonesia akan gagal mengambil manfaat dari bonus demografi pada 2020 – 2040, dan terjebak sebagai negera berpendapatan menengah (a middle-income trap) alias tidak bisa menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai cita-cita Kemerdekaan NKRI.

Peta Jalan Pembangunan Ekonomi

Untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah dan sekaligus mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat; mulai sekarang juga seluruh komponen bangsa (pemerintah, swasta, dan rakyat) harus bekerja cerdas, keras, ikhlas, dan sinergis untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (lebih dari 7% per tahun), berkualitas dan inklusif (banyak menyerap tenaga kerja dan mensejahterakan seluruh rakyat secara berkeadilan), dan berkelanjutan (sustainable).

Pengalaman sejumlah negara yang sukses mentransformasi dirinya dari negara miskin (berkembang) menjadi maju dan makmur, adalah karena mereka mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi diatas 7% per tahun selama minimal 15 tahun berturut-turut.  Contohnya adalah Jepang, Singapura, Korea Selatan, dan Tiongkok (Sach, 2015; Kroeber, 2016).

Pertumbuhan ekonomi suatu negara merupakan fungsi dari investasi, ekspor, konsumsi, dan impor.  Persyaratan sebuah negara bisa menjadi maju, makmur, dan berdaulat; bila besaran serta laju investasi dan ekspor lebih besar dari pada konsumsi dan impor nya (Yunus and Weber, 2017).

Untuk itu, pembangunan ekonomi, yang pada intinya merupakan proses transformasi struktural ekonomi suatu negara, harus mampu mentransformasi sistem perkonomiannya dari berbasis sektor primer (pertanian, kehutanan, perikanan, dan pertambangan) tradisional menjadi sistem perekonomian berbasis sektor primer, industri manufakturing (sektor sekunder), dan jasa (sektor tersier) yang modern.

Pada level perusahaan (unit bisnis), sektor primer modern memiliki empat karakteristik.  Pertama adalah bahwa besaran unit bisnis (usaha) nya memenuhi skala ekonomi (economy of scale), yakni ukuran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih (net profit) minimal 300 dolar AS/pekerja/bulan atau Rp 4,2 juta/pekerja/bulan, dengan asumsi kurs dolar saat ini Rp 14.000.

Contohnya, skala ekonomi usaha padi sawah di P. Jawa seluas 2 ha, usaha budidaya rumput laut jenis Gracillaria sp (penghasil agar-agar) di tambak (perairan payau di lahan pesisir) seluas 2 ha, usaha budidaya rumput laut jenis Euchema sp (penghasil karagenan) di perairan laut dangkal seluas 1 ha dengan 250 tali berukuran panjang masing-masing 100 meter, dan untuk usaha ayam petelor sebanyak 4.000 ayam.

Kedua, menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasok terpadu (Integrated Supply Chain Management System) yang meliputi sub-sistem produksi, industri pasca panen (handling, processing, and packaging), dan pemasaran (marketing) secara terintegrasi. Dengan demikian, para produsen (seperti petani, pekebun, nelayan, dan peternak) akan dengan mudah mendapatkan sarana produksi (seperti benih, pupuk, pakan, alat tangkap, dan perbekalan melaut) yang berkualitas tinggi dengan harga relatif murah dan kuantitas yang mencukupi di seluruh wilayah NKRI.

Di sisi hilir, industri pasca panen (handling, processing and packaging) harus dikembangkan untuk setiap kawasan (wilayah) sentra produksi pertanian, perkebunan, pternakan, dan perikanan. Keberadaan industri hilir ini selain dapat melipatgandakan nilai tambah (added value), penciptaan lapangan kerja, dan efek pengganda (multilier effects) ekonomi bagi wilayah yang bersangkutan, juga akan menjamin pasar bagi komoditas hasil panen para petani, pekebun, peternak, dan nelayan.

Dengan memperkuat sistem pergudangan (storage), transprotasi dan distribusi, dan pemasaran produk pertanian dan perikanan, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, maka stabilitas pasokan dan harga produk pertanian dan perikanan akan terjaga secara berkelanjutan.

Ketiga, menerapkan inovasi teknologi yang mutakhir (state of the art technology) pada setiap mata rantai Sistem Rantai Pasok (produksi – pasca panen – pemasaran).  Misalnya penggunaan teknologi aplikasi berbasis IT (Information Technology) dan nano-bioteknologi dalam budidaya pertanian dan perikanan, yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, dan daya saing usaha secara ramah lingkungan dan berkelanjutan. Inilah sejatinya aplikasi Industri 4.0 dalam bidang pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Keempat, mengimplementasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development principles), yang mencakup: (1)  RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah); (2) pengendalian pencemaran, erosi, dan sedimentasi; (3) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity) pada level genetik, spesies, dan ekosistem; (4) mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, banjir, dan bencana alam lainnya; dan (5) laju (intensitas) pembangunan tidak melebihi daya dukung wilayah.

Orasi Ilmiah Dies Natalis Prof Rokhmin Dahuri di IKOPIN

Apabila kita menerapkan keempat prinsip pembangunan ekonomi diatas, diyakini bahwa sektor primer (pertanian, perkebunan, hortikultur, tanaman herbal, kehutanan, peternakan, perikanan budidaya, perikanan tangkap, dan pertambangan dan energi atau ESDM) akan menjadikan Indonesia berdaulat di bidang pangan, farmasi, energi, dan mineral.

Selain itu, semua petani, pekebun, pekerja hutan, peternak, nelayan, dan pekerja tambang akan hidup makmur dan sejahtera secara berkelanjutan. Kontribusi sektor primer terhadap nilai ekspor (devisa), perkembangan ekonomi daerah (propinsi dan kabupaten/kota) di seluruh Nusantara, dan PDB nasional puan akan meningkat signifikan.

Selain sejumlah positip diatas, modernisasi sektor primer juga menghasilkan trade off, yakni kemampuan penyerapan tenaga kerjanya akan semakin berkurang seiring dengan meningatnya produktivitas dan efsiensi di sektor ini.

Oleh karenanya, transformasi struktural ekonomi suatu negara yang sukses adalah yang mampu mengembangakan sektor sekunder (industri manufakturing) modern berbasis inovasi teknologi dan non-teknologi. Sektor sekunder (industri manufaktur) yang beragam dan tangguh serta mumpuni (a world class manufacturing industry) mampu menyediakan lapangan kerja yang sangat besar, sehingga dapat menampung limpahan (kelebihan, surplus) tenaga kerja dari sektor primer (pertanian, perikanan, dan pertambangan).

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan inovasi teknologi meliputi penemuan material atau komoditas baru, teknologi proses pengolahan (manufacturing) baru, teknologi konstruksi dan rekayasa baru, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan keteknikan. Sementara itu, yang dimaksud dengan inovasi non-teknologi mencakup antara lain manajemen bisnis baru, manajemen keuangan, new marketing networks, dan new organizational structures or practices (O’Conor and Kjollerstrom, 2008).

Di era Revolusi Industri 4.0; yang bercirikan digitalisasi, otomatisasi, dan big data (Schwab, 2016); Pemerintahan Kabinet Kerja yang dipimpin Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla c.q. Kementerian Perindustrian telah meluncurkan Peta Jalan Pembangunan Industri Nasional, dengan brandingMaking Indonesia 4.0” pada 4 April 2018 di jakarta.  Peta Jalan ” Making Indonesia 4.0” memberikan arah yang jelas bagi pembangunan industri nasional di masa depan.

Di dalamnya ditegaskan, bahwa mulai tahun ini hingga 2030 akan fokus pada pengembangan lima sektor industri manufaktur, yakni: (1) industri makanan dan minuman, (2) industri tekstil dan pakaian, (3) industri kimia, (4) industri otomotif, dan (5) industri elektronik.  Adapun lima teknologi utama yang menopang implementasi kelima sektor industri manufaktur tersebut dalam konteks Revolusi Industri 4.0 (keempat) adalah: (1) internet of things (IoT), (2) artificial intelligence (AI), (3) human-machine interface, (4) robotik dan sensor, dan (5) 3D printing.

Implementasi ”Making Indonesia 4.0” yang berhasil bakal meningkatkan pertumbuhan PDB riil sebesar 1 – 2 persen per tahun.  Sehingga, pertumbuhan ekonomi (PDB) per tahun akan naik dari baseline condition (sekarang) 5 persen menjadi 6 – 7 persen per tahun pada periode 2019 – 2030.  Dari capaian tersebut,  industri manufaktur akan berkontribusi sebesar 21 – 26 persen terhadap PDB pada 2030.  Lebih dari itu, pada 2030 akan terbuka lapangan kerja baru sebanyak 10 juta orang, dan besaran ekonomi Indonesia akan mencapai peringkat-10 terbesar di dunia (Kementerian Perindustrian, 2018).

Sebagai negara kepulauan dan bahari terbesar di dunia dengan posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% total barang yang diperdagangkan di dunia dengan nilai sekitar 15 trilyun dolar AS per tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia), akan lebih baik dan benar, bila industri berbasis maritim juga dimasukkan sebagai fokus pengembangan dalam  Peta Jalan ”Making Indonesia 4.0”.  Industri berbasis maritim antara lain meliputi: industri farmasi kelautan, industri perkapalan, energi dan sumber daya mineral (ESDM) dari laut, pariwisata bahari (marine tourism), industri peralatan dan mesin perikanan, coastal structures and engineering, dan ocean structures and engineering.  Dan, satu lagi adalah industri logam, mesin, dan peralatan mesin yang merupakan basis dari industri otomotif dan industri elektronik.  Selain itu, selain lima teknologi penopang diatas, juga perlu ditambahkan dua lagi teknologi penopang, yakni bioteknologi dan nanoteknologi.

Dengan penambahan dua sektor industri manufaktur dan dua teknologi penopang tersebut, maka diyakini bahwa pertumbuhan ekonomi dalam kurun waktu 2019 – 2030 bisa mencapai 6 – 10 persen, dan lapangan kerja baru akan tercipta sebanyak 15 juta orang serta  PDB Indonesia akan menjadi terbesar kelima di dunia pada 2030.

Sektor tersier yang mencakup ekonomi kreatif dan sektor jasa (seperti kesehatan, pendidikan, research and development/RISTEK, transportasi, ekonomi kreatif dan hospitality, keuangan, dan konsultan) juga harus terus menerus diperkuat (direvitalisasi) dan dikembangkan.  Supaya lebih produktif, efisien, dan berdaya saing secara berkelanjutan.

Melalui transformasi struktur ekonomi Indonesia berbasis inovasi teknologi dan inovasi non-teknologi era Revolusi Industri 4.0, dengan komposisi sektor sekunder (industri manufaktur) yang paling besar, kemudian diikuti oleh sektor primer dan sektor tersier secara berurtan.  Maka, insya Allah Indonesia bisa menjadi negara industri maju yang makmur dan berdaulat dengan GNI perkapita lebih dari 12.500 dolar AS paling lambat pada 2045.

Sudah barang tentu, cita-cita kemerdekaan RI akan terwujud pada 2045 bila didukung oleh SDM (Sumber Daya Manusia) yang memiliki kompetensi teknologi dan non-teknologi yang mumpuni, jiwa entrepreneurship, etos kerja unggul, dan akhlak mulia.  Selain itu, tata kelola pemerintahan juga harus dilaksanakan sebaik mungkin (Good Governance): demokratis, akuntable, transparans, amanah, melayani, dan memberdayakan serta membahagiakan seluruh warga negara.

Sistem dan mekanisme politik nasional juga harus mampu membangun masyarakat Indoensia yang meritokratis. Yakni, sebuah sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang menghargai dan memberikan insentif bagi semua warga negara dan lembaga yang capable, baik, cerdas, berkerja keras dan ikhlas untuk memajukan dan memakmurkan bangsanya.  Dan, sebaliknya memberikan sanksi sosial dan hukuman (punishment) yang berat, tegas, adil, dan berwibawa, sehingga menimbulkan efek jera (disinsentif) bagi warga negara yang tidak baik, malas, preman, pelaku kriminal, dan merongrong kesatuan dan persatuan bangsa.

SDM Indonesia yang berkualitas dan unggul di era Industri 4.0 dan globalisasi ini hanya bisa terbangun dengan terus menerus memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, pendidikan, dan R & D (Research & Development).  Dengan cara meningkatkan kuantitas serta kualitas infrastruktur dan sarana nya; kesejahteraan tenaga medis (kesehatan), guru, dosen, dan peneliti; anggaran; dan ekosistem bekerja yang kondusif dan membangkitkan kreativitas dan inovasi serta berlomba ke arah kebaikan.

Peningkatan Peran Koperasi

Demi menghindari kesalahan pembangunan ekonomi masa lalu (berbasis pada mahzab kapitalisme) yang telah mengakibatkan jurang (ketimpangan sosial) yang sangat lebar antara kelompok penduduk kaya dan miskin di Indonesia maupun di tingkat dunia. Maka,  desain dan implementasi Peta Jalan Pembangunan Ekonomi Nasional (Making Indonesia 4.0) diatas harus melibatkan seluruh rakyat Indonesia di seluruh wilayah NKRI, dan kue (berkah) pertumbuhan ekonominya mesti dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Implementasi Industri 4.0 jangan hanya menjangkau perusahaan besar (konglomerat), tetapi terutama Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang jumlahnya lebih dari 95% total unit usaha di Indonesia dan sebagian besar masih miskin.

Ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat buruk dan mengkhawatirkan di Indonesia disebabkan oleh dua faktor penyebab utama.  Pertama adalah fakta bahwa kebanyakan perusahaan besar (konglomerat) di bidang pertambangan, perkebunan, properti, industri manufaktur, dan lainnya sampai saat ini menggaji karyawan (buruh) nya masih rendah, tidak melebihi upah minimum regional (UMR).

Sebagai catatan, UMR tertinggi di 34 propinsi di Indonesia adalah DKI Jakarta sebesar Rp 3,4 juta/bulan. Padahal, sebagaimana diuraikan diatas, pendapatan (income) minimal yang mensejahterakan adalah 300 dolar AS atau Rp 4,2 juta per bulan.

Dengan upah buruh yang sangat murah semacam ini menempatkan 4 orang terkaya di Indonesia memiliki total kekayaan sama dengan total kekayaan dari 100 juta orang termiskin di negara ini.  Yang lebih membahayakan, lebih dari 70% total nilai ekspor perusahan-perusahaan besar yang beroperasi di Indonesia, justru disimpan di perbankan dan lembaga keuangan lain di luar negeri (Bank Indonesia, 2018). Praktik para konglomerat yang tidak nasionalis semacam inilah yang merupakan salah satu penyebab utama bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia susah diatas 5 persen per tahun dalam 3,5 tahun terakhir.

Kedua, hampir semua UMKM (rakyat kecil) susah mendapatkan kredit perbankan (modal), teknologi, infrastruktur, akses pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.  Sementara itu, perusahaan- perusahaan besar (konglomerat) dengan leluasa dan acap kali semena-mena dengan mudahnya mendapatkan semua jenis aset ekonomi produktif yang diinginkan dari pemerintah.

Sebagian besar UMKM baik yang tergabung dalam Lembaga Koperasi maupun usaha sendiri jarang sekali mendapatkan program pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (DIKLATLUH) untuk meningkatkan kapasitas nya.  Mereka tidak tersentuh inovasi teknologi dan informasi pasar yang berkembang sangat dinamis.

Bayangkan, UMKM yang jumlahnya lebih dari 95% dari total unit usaha yang ada di tanah air tercinta ini hanya mendapatkan kredit perbankan kurang dari 15% total kredit perbankan yang dikucurkan pada tahun 2017.  Sedangkan, kue kredit perbankan yang sangat besar, 85% dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar (konglomerat) yang jumlahnya kurang dari 5% total unit usaha (Kementerian Koperasi dan UKM, 2018).

Oleh sebab itu, Koperasi sebagai salah satu soko guru ekonomi Indonesia, selain perusahaan swasta dan BUMN, merupakan lembaga yang paling tepat untuk mengatasi ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat lebar dan membahayakan kesatuan bangsa ini.  Pasalnya, falsafah dasar dari pendirian Koperasi adalah dari anggota dan untuk anggota.  Dengan perkataan lain, keuntungan (profit) yang diperoleh dari usaha Koperasi akan dibagikan kepada seluruh anggotanya secara transparan dan berkeadilan (Bachrudin, 2010; Arifin, 2012).

Koperasi adalah salah satu elemen penting dalam pengelolaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), yang melandaskan kegiatannya sesuai amanat dalam UUD 1945 Pasal  33, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha  bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Tujuan Koperasi tercantum dalam UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, yaitu untuk memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional untuk mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berdasarkan pada Pacasila dan UUD 1945.

Sayangnya, sejak awal berdirinya pada 12 Juli 1947, kinerja sebagian besar Koperasi di Indonesia masih jauh dari memuaskan.  Buktinya pada 2017 kontribusi Koperasi sebagai lembaga terhadap PDB masih kurang dari 5 persen (Kementerian Koperasi dan UKM, 2018).  Pada 2016, hanya ada 1 Koperasi Indonesia yang mampu masuk 300 Koperasi terbesar dunia, yaitu Koperasi Warga Semen Gresik (peringkat-183) dengan simpanan anggota Rp 135,86 miliar dan dana pinjaman anggota Rp 148,54 miliar (International Co-operative Alliance, 2016).

Pada 2017, dari total 209.305 unit Koperasi di Indonesia, sekitar 27 persen (56.641 unit) tidak aktif lagi (Kementerian Koperasi dan UKM, 2018).  Padahal, di negara-negara industri maju nan makmur, seperti Perancis, Amerika Serikat, Jerman, Jepang, Belanda, Inggris, Swiss, Finlandia, Italia, dan Korea peran serta kontribusi bagi kemajuan negara dan kesejahteraan rakyatnya sangatlah signifikan (ICA, 2016).

Oleh karena itu, pasti ada yang salah dengan cara-cara kita selama ini mengelola Koperasi di tanah air tercinta ini.  Banyak faktor yang menyebabkan kinerja Perkoperasian di Indonesia masih rendah, mulai dari penyebab internal seperti kompetensi dan kapasitas para pengurus Koperasi yang rendah, kekurangan modal, dan rendahnya akses pasar, sampai dengan penyebab eksternal, terutama keberpihakan pemerintah, perusahaan swasta besar, dan BUMN serta rendahnya kesadaran masyarakat tentang arti penting dan strategis Koperasi.

Terlebih di era Industri 4.0 yang baru mulai tiga tahun terakhir ini, tantangan yang dihadapi Perkoperasian di Indonesia terasa semakin kompleks dan rumit (Sudjatmoko, 2018).  Hal ini didorong oleh perubahan gaya hidup generasi milenial (zaman now) yang begitu cepat dan tidak menentu (disruptif), akibat perkembangan teknologi informasi, robotic, artifical intelligence, transportasi, dan komunikasi yang sangat pesat. Pola dan gaya hidup generasi milenial bercirikan segala sesuatu yang lebih cepat (real time), mudah, murah, nyaman, dan aman.

Beranjak dari fenomena generasi milenial diatas, maka lembaga dan insan Koperasi mesti mulai sekarang juga mentransformasi dirinya untuk menata organisasi dan strategi bisnisnya sesuai dengan perkembangan zaman dan IPTEKS di era Industri 4.0.

Strategi transformasi yang dimaksud mencakup empat langkah.  Pertama, modernisasi organisasi dan menejemen dengan melakukan organizational reengineering yang berbasis pada sistem operasi yang cepat, mudah, transparan, dan mempunyai akuntabiltas tinggi sehingga membangun  kepercayaan anggota.

Kedua, pemanfaatan tekhnologi informasi dalam pengelolaan bisnis berbasis sistem aplikasi yang memudahkan anggota mendapatkan pelayanan usaha koperasi. Ketiga, fokus mengembangkan bisnis didasarkan pada skala dan kelayakan ekonomi dan menangkap setiap peluang bisnis yang ada, Keempat, membangun close look economy dalam koperasi yang captive market sehingga koperasi mempunyai bergaining position yang kuat. Koperasi juga harus menjalankan prinsip-prinsip serta nilai koperasi dalam tata kelola organisasi dan bisnisnya secara konsisten dan sungguh-sungguh.

 

*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan –IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia; Vice Chairman of International Scientific Advisory Board of Center for Sustainable Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany; Honorary Ambassador of Jeju Islands, Republic of Korea; dan Menteri Kelautan dan Perikanan (2001 – 2004).

Makalah disampaikan dalam Orasi Ilmiah pada Dies Natalis Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) ke-36.  Graha Suhardani, Kampus IKOPIN, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Senin 7 Mei 2018.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER