Minggu, 24 November, 2024

Pesan Toleransi dalam Natal

Mochammad Thoha

Politikus Muda Partai NasDem

 

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku hidup dibangkitkan kembali” (QS. Maryam 33-34). Tafsir ayat di atas menegaskan bahwa momen kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali Isa al-Masih telah mendapatkan legitimasi langsung dari Allah SWT.

Karena itu, bila ada legitimasi teologis yang dijadikan dalil atau fatwa keagamaan atas haramnya mengucapkan selamat hari natal jelas kontradiksi dengan al-Qur’an. Maka tidak perlu mempersoalkan legitimiasi teologis atas ucapan natal, tetapi yang terpenting penghormatan atas perbedaan serta cara pandang dan sikap keagamaan inklusif-moderat mestinya dikedepankan untuk menjaga keharmonisan dan kemajemukan (pluralitas) sebagai sebuah keniscayaan dalam Islam.

Pada konteks ini, spirit natal paling tidak dapat dijadikan sebagai ajang untuk saling memperkokoh dan menguatkan ikatan kebangsaan serta khazanah perdamaian sebagai modal sosial membagun kerukunan antar umat beragama. Hal ini setidaknya dapat meredam konflik keagamaan antar dua agama tersebut (Islam-Kristen) yang sejak lama menyimpan memori kelam masa lalu (perang salib).

- Advertisement -

Akibatnya, ketegangan antara Islam dan Kristen tidak terhindarkan, fakta kian membenarkan tesis Samuel P. Hantington, The Clash of Civilazations, bahwa antara Islam dan Kristen tidak  akan pernah mencapai rekonsiliasi dan perdamaian abadi.

Sebaliknya, akan terjadi benturan (clash of civilazations). Namun dalam realitas sejarah justru kedua agama samawi tersebut telah bersepakat untuk tetap saling menjaga dan mengedepankan rekonsiliasi serta dialog dalam menyelesaikan pelbagai persoalan.

Karena itulah, momentum natal setidaknya dapat memberikan pesan-pesan moral yang berdampak positif terhadap umat, agama bangsa dan Negara, pesan ini sebagai manivestasi dari natal untuk mengukuhkan dan menguatkan relasi Islam dan Kristen untuk tujuan kebaikan bersama, yaitu menginginkan perdamaian abadi.

Problem Identitas Keagamaan

Indonesia bukan Negara agama dan bukan Negara sekuler, tetapi identitas keagamaan terlalu dominan dalam ruang publik dan kerapkali menonjolkan simbol keagamaan yang tentu akan mengundang polemik.

Realitas ini setidaknya dapat kita jumpai dalam beberapa produk kebijkan politik semisal perda syari’at, nilai-nilai agama (Islam) yang ditransformasikan ke dalam produk kebijakan politik yang kerapkali berpotensi diskriminasi terhadap kelompok minorty.

Padahal semagat formalisasi syari’at ke dalam konstitusi tersebut tidak akan berdampak pada perbaikan moralitas dan keagamaan individu, sebab kesalehan individu lebih tampak pada muslim secara individu, tidak pada sistem dan prosedur politik meminjam istilah Guntur Romli.

Dengan demikian, ide formalisasi syari’at (syariatisasi) yang saat ini hampir diimplementasikan di pelbagai daerah akan menyulitkan ruang gerak keagamaan kelompok minority akibat produk kebijakan yang diskriminasi. Pun juga, formalisasi syari’at (perda syariat) rentan melahirkan konflik keagamaan serta menihilkan kemajemukan dan berujung diskriminasi.

Di sisi lain juga, semangat formalisasi syari’at cenderung tidak proporsional karena tidak melindungi segenap tumpah darah (anak bangsa). Oleh sebab itu, perlu reorientasi kembali atas upaya formalisasi ayariat di atas demi untuk melestarikan pluralitas, kebinnekaan dan kemajemukan sebagai khzanah Islam. Kenyataan ini tampak terang benderang dalam Islam sebagai agama yang penuh keadaban dan selalu mengedepankan spirit humanisme dan perdamaian abadi.

Cita-cita Islam adalah penghargaan dan penghormatan atas perbedaan sebagai keniscayaan, bahkan Islam hadir sebagai yang berbeda, meminjam istilah Ach. Bakir Ihsan “kehadiran agama menawarkan equality,” karena itu tidak boleh ada diskriminasi.

Pada konteks inilah, Islam dan Kristen harus menginisiasi kembali dialog antar agama sebagai wujud nyata untuk saling menghadirkan dan menampilkan wajah keagamaan yang inklusif-moderat tidak selalu menonjolkan identitas dan simbol keagamaan masing-masing terutama dalam ruang publik.

Dalam konteks ini, momentum natal harus menggungah kesadaran kolektif semua agama untuk saling menghormati, paling tidak dengan mengucapkan selamat natal sebagai ekspresi dan bentuk kepedulian kita sesama anak bangsa untuk selalu menjaga keharmonisan, kerukunan menuju perdamaian yang abadi.

Di sisi lain, mesti ada tokoh yang berani mengambil resiko dikritik bahkan dicaci maki seperti Gus Dur yang berani menghadiri perayaan natal. Tujuannya tidak lain untuk mengukuhkan ikatan kebangsaan dan menjaga persaudaraan antar sesama anak bangsa. Bapak toleransi ini berani dan berhasil memberikan teladan toleransi kepada kita agar tetap saling menghormati dan menjaga kerukunan antar pemeluk agama serta menghindar dari pertikaian apalagi konflik berbau agama.

Din Syamsudin yang juga mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak melarang bagi muslim mengucapkan selamat natal selama sebatas persahabatan demi menjaga keharmonisan dankerukunan antar umat beragama.

Teladan toleransi juga dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika menjamin kebebasan seluruh penduduk menjalankan ibadah sesuai prinsip dan keyakinan masing-masing pemeluk agama. Setidaknya ini bisa dijadikan pembelajaran bagi para pemimpin Negeri ini, untuk memutus rantai tindakan intoleransi dan diskriminasi dari pelbagai kelompok yang selalu mengklaim sebagai majority yang merasa berkuasa atas minority.

Michael Walzer (1997) sebagaimana dikutif Zuhairi Misrawi (2010), memandang toleransi sebagai keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik. Sebab salah satu tujuan toleransi adalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) di antara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai perbedaan latar belakang, kebudayaan dan identitas. 

Toleransi, menurut Walzer, harus mampu membentuk kemungkinan sikap, antara lain sikap menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain dan mendukung secara antusias perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan.

Panorama toleransi yang patut menjadi teladan bagi bangsa Indonesia adalah teladan yang diprakarsai ulama-ulama mesir seperti Rif’ah at-Tahtawi, Hassan Hanafi. Kedua ulama ini berani mengambil resiko, bahkan dianggap murtad, kafir hanya karena menghadiri natal umat Kristiani. Padahal kita tidak pernah mengetahui kehadirannya tidak lain hanya untuk cita-cita kemanusiaan, yaitu perdamaian abadi. Pertanyaannya, apakah ada tokoh maupun ulama yang berani memberikan contoh dan teladan seperti yang dilakukan tokoh-tokoh di atas?

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER