MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin menyoroti pernyataan bersama atau joint statement dari pertemuan bilateral Presiden Prabowo Subianto dengan Presiden Chin, Xi Jinping pekan lalu terkait kerja sama maritim. Ia mewanti-wanti Pemerintah agar jangan sampai kerja sama tersebut memperkeruh situasi Laut China Selatan (LCS) yang masih menjadi konflik beberapa negara Asean.
“Jangan sampai, kerjasama maritim kita dengan RRT (Republik Rakyat Tiongkok/China) di bidang ekonomi malah memperkeruh situasi di Laut China Selatan atau hubungan baik kita dengan negara-negara ASEAN tetangga kita,” kata TB Hasanuddin, Selasa (12/11/2024).
Adapun sejumlah pihak mempertanyakan isi dari poin sembilan joint statement antara Prabowo dengan Xi Jinping. Pada bagian itu disebutkan, kedua pemerintahan ‘mencapai kesepahaman tentang pengembangan bersama wilayah maritim yang saat ini tengah berada dalam situasi tumpang tindih klaim’.
Poin itu dipandang sebagai perubahan sikap Indonesia terhadap klaim kedaulatan wilayah China di Laut China Selatan (LCS) yang didasari kebijakan nine dash line (sembilan garis putus-putus).
Sebagai informasi, ‘9-Dash Line’ merupakan garis yang dibuat sepihak oleh China. ‘9-Dash Line’ menjadi wilayah historis LCS seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen wilayahnya diklaim China sebagai hak maritim historisnya. Akibat klaim sepihak itu, sejumlah negara terlibat konflik dengan China seperti Vietnam, Malaysia, Filipina dan Brunei Darussalam.
TB Hasanuddin mengingatkan pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam melakukan kerjasama dengan China.
“Apapun bentuk kerjasama maritim RI-RRT, Kemlu seharusnya lebih sensitif dengan melihat sengketa di LCS adalah persoalan kolektif ASEAN,” tuturnya.
“Bagaimanapun juga, tetangga adalah pihak yang paling dekat untuk dimintai bantuan kalau kita ada masalah,” sambung pria yang akrab disapa Kang TB ini.
Kang TB mengatakan, Pemerintah semestinya mempertimbangkan posisi Indonesia di kawasan terkait LCS. Para pakar juga khawatir kerja sama RI-China itu akan memicu ketegangan di antara negara ASEAN karena isi joint statement antara Prabowo dengan Xi Jinping seolah membuat Indonesia telah mengakui klaim sepihak China terkait 9-Dash Line.
“Indonesia selalu konsisten menolak klaim nine-dash line karena kita anggap tidak memiliki basis hukum internasional dan bertentangan dengan UNCLOS 1982 yang sudah kita ratifikasi,” tegas Kang TB.
Hingga berakhirnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Indonesia memang memilki kebijakan untuk tidak mengakui klaim sepihak China terhadap 9-Dash Line. Hal ini karena klaim sembilan garis putus itu tidak dikenal dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982 di mana Indonesia dan China adalah negara peserta.
Namun dengan adanya poin 9 dari joint statement itu, hal tersebut bisa ditafsirkan bahwa Indonesia mengakui zona maritim yang saling bertumpang tindih atau mengakui 9-Dash Line.
Kang TB juga mengungkap kerja sama yang dilakukan Indonesia-China kali ini berpotensi melanggar hukum. Pasalnya Indonesia telah meratifikasi UNCLOS sebagai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (UNCLOS).
“Jika kita melaksanakan kerjasama ekonomi perikanan di wilayah itu dengan pihak yang kita anggap klaimnya bertentangan dengan hukum internasional, bukankah itu menunjukkan ketidakpatuhan kita?” ucap Legislator dari dapil Jawa Barat IX itu.
Lebih lanjut, Kang TB menyoroti soal klarifikasi Kemlu yang menyebut kerja sama maritim antara Indonesia dan China hanya mencakup aspek ekonomi di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan Laut China Selatan dengan berdasarkan kepada prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan.
Kemlu juga menyatakan kerja sama itu bukan berarti Indonesia mengakui klaim China atas 9-Dash Line.
Meski begitu, Kang TB mengingatkan kondisi yang selama ini kerap terjadi buntut klaim China. Klaim China atas 9-Dash Line diketahui berdampak pada hilangnya perairan Indonesia seluas 83.000 Km persegi atau 30 persen dari luas Laut RI di Natuna.
“Selama ini kapal-kapal China masuk ke wilayah Natuna dan melakukan pencurian ikan. Kalau kerjasama ekonomi ini dilakukan apakah menguntungkan kita?” Kang TB mempertanyakan.
Anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan pertahanan dan hubungan internasional itu meminta Pemerintah memberi kejelasan yang lebih komprehensif terkait kerja sama dengan China itu. Sebab, menurut Kang TB, persoalan di perbatasan bukan hanya terkait dengan masalah ekonomi saja tapi juga berkenaan dengan kedaulatan negara.
“Apakah kapal-kapal nelayan China kemudian bebas berkeliaran di wilayah Natuna untuk menangkap ikan kita? Ini perlu diwaspadai,” sebut Mayjen Purnawirawan TNI itu.
Dalam penjelasannya, Kemlu menyebut kerja sama dengan China sejalan dengan semangat Declaration of the Conduct of the Parties in the South China Seayang telah disepakati oleh negara-negara ASEAN dan China pada tahun 2022, serta upaya untuk menciptakan perdamaian di kawasan LCS.
Di sisi lain, ada juga peringatan dari pakar yang menyebut seharusnya Pemerintah melakukan konsultasi dengan DPR bila memang benar area yang akan dikembangkan bersama berada di wilayah Natuna Utara. Terlebih lagi jika joint development tersebut benar-benar direalisasikan, maka banyak peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dilanggar.
“Saya harap Kemlu perlu lebih berhati-hati dan responsif dalam menyikapi segala bentuk pernyataan resmi dari kunjungan kenegaraan presiden. Jangan hanya menjadi pemadam kebakaran jika ada problematika seperti itu,” pungkas Kang TB.