Senin, 25 November, 2024

JPPI: Presiden Bisa Kena Makzul DPR Akibat Pelanggaran Dana Pendidikan

MONITOR, Jakarta – Kehadiran Mendikbudristek Nadiem Makarim dan jajarannya di gedung DPR, Jakarta, Rabu (11/9), adalah Raker terakhir bersama Komisi X DPR RI. Sayangnya, belum ada titik cerah perbaikan kualitas pendidikan, khususnya terkait sengkarut dana pendidikan, yang juga kini tengah digodok oleh Panja Pembiayaan Pendidikan.

“Mestinya kini tidak ada lagi cerita jutaan anak Indonesia tidak bisa sekolah. Begitu pula, seharusnya tidak perlu ada keributan demonstrasi mahasiswa menyoal UKT mahal. Ini semua terjadi karena anggaran pendidikan ternyata selama ini diselewengkan untuk mendanai perkara yang tidak jelas, bukan perioritas, bahkan dilarang keras oleh UUD 1945 dan UU Sisdiknas,” kata Kornas JPPI Ubaid Matraji usai menyimak Raker kemarin.

Selama ini, alokasi anggaran pendidikan 20% dan peruntukannya, dijalankan dengan cara suka-suka pemerintah maunya apa. Cara pemerintah dalam mengalokasikan dana Pendidikan, diduga kuat, dijalankan tanpa melihat payung besar peraturan perundang-undangan pendidikan yang termaktub dalam UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas, No.20 tahun 2003. Menurut Ubaid, hal ini setidaknya tercermin jelas dari dua masalah utama yang mengemuka saar Raker kemarin dan juga beberapa diskusi yang digelar Panja Pembiayaan Pendidikan, Komisi X DPR RI.

Pertama, pelanggaran atas UU Sisdiknas. Dalam UU No.20 tahun 2003 ini, mengatur soal pembiayaan pendidikan kedinasan, yang mestinya di luar jatah 20%. Pada praktiknya, pembiayaan pendidikan kedinasan selalu dimasukkan dalam hitungan 20% dana pendidikan. Ini jelas dilarang dalam pasal 49 ayat 1 UU Sisdiknas. Pada pasal ini, dibeberkan dengan cukup jelas, komponen mana saja yang boleh dan tidak boleh dibiayai oleh dana pendidikan.

- Advertisement -

“Nah, masalahnya adalah mengapa anggaran pendidikan kedinasan, yang jelas-jelas dilarang, kok malah selalu dimasukkan dalam hitungan 20%? Hingga kini, setidaknya, ada 24 kementerian dan lembaga yang menikmati dana pendidikan ini. Maka, jelas ini adalah dugaan kuat pelanggaran pengelokasian dana pendidikan yang sengaja digunakan untuk pendanaan komponen yang dilarang oleh undang-undang,” kata Ubaid.

Kedua, pelanggaran atas UUD 1945, pasal 31 ayat 4. Anggaran pendidikan hingga kini sebenarnya belum pernah mencapai angka yang digariskan konstitusi, yaitu minimal 20%. Kok bisa kurang 20%? Jadi hingga tahun 2024, diduga kuat, anggaran pendidikan kita dipaksakan mencapai klaim 20%. Apa yang ditulis 20% itu hanya ilusi saja. Jika dibedah, maka ternyata banyak komponen yang mestinya tidak boleh masuk, malah dimasukkan dalam hitungan 20%.

Contoh sederhana, jatah anggaran pendidikan kedinasan jelas menggunakan dana pendidikan. Mestinya komponen itu kan tidak masuk. Jadi, jika dikeluarkan dari 20%, berarti jumlah persentasenya pasti berkurang. “Karut marut pengalokasian anggaran pendidikan ini menunjukkan, bahwa selama ini pengalokasian APBN itu ya dibagi-bagi begitu saja, tanpa ada proses pemisahan 20% terlebih dahulu untuk dana pendidikan. Mestinya kan, harus dipisah dulu ini untuk pendidikan 20%. Baru dipikirkan dan dierencanakan kebutuhan prioritas pendidikan itu apa saja, lalu dihitung berdasarkan apa saja yang diperintahkan UUD 1945 dan UU Sisdiknas. Jika dirasa kurang, maka bisa juga menambah lebih dari 20%,” kata Ubaid.

“Maka, jika pemerintah tidak bisa melaksanakan perintah Pasal 31 UUD 1945 dan juga UU Sisdiknas, DPR bisa saja menggunakan alasan tersebut sebagai landasan sebagai upaya pemakzulan Presiden,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER