Jumat, 4 Oktober, 2024

Gus Hilmy: Santri Harus Mampu Membawa Amanat Kebangsaan

MONITOR, Jakarta – Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Hilmy Muhammad, menjelaskan, pada masa lalu, peran santri dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia adalah dengan perang fisik. Dimulai dari Perang Padri, Perang Jawa, hingga perjuangan gerakan rakyat (civil society). Perjuangan itu pun berlanjut ke jalur diplomasi hingga kemerdekaan dan berhasil membuat kesepakatan tentang dasar-dasar negara.

Kesepakatan itulah, kata dia, yang dirasakan bangsa Indonesia hingga saat ini dalam bingkai Empat Pilar, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD NRI 1945. Oleh sebab itu, santri memiliki tuntutan peran ganda. Tidak hanya tuntutan keagamaan, tetapi juga tuntutan kebangsaan.

“Tuntutan peran santri adalah mampu membawa amanat kebangsaan (amanah wathaniyyah) dan amanat keagamaan (amanah diniyyah). Tuntutan itu merupakan konsekuensi logis, karena santri meyakini bahwa NKRI harga mati, hubbul wathan minal-iman, dan menerima Pancasila sebagai dasar negara adalah mitsaqan ghalidzan,” kata Senator asal Yogyakarta tersebut dalam Sosialiasi Empat Pilar dengan tema Memaknai Kembali Peran Santri dalam Menyongsong Hari Lahir Pancasila di Aula G Pondok Pesantren Al Munawwir Krapyak Yogyakarta pada Jumat (27/5/2022) siang.

Lebih lanjut, pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut menjelaskan bahwa “NKRI harga mati” mengharuskan para santri untuk berkiprah membangun negara secara bersama-sama dengan segenap komponen bangsa.

- Advertisement -

Sementara jargon “hubbul wathan minal-iman”, mengharuskan santri untuk senantiasa mengingat di mana mereka dilahirkan dan bagaimana seharusnya mereka kemudian berkewajiban membangun negeri dan daerahnya secara tulus.

Menurut pria yang akrab disapa Gus Hilmy tersebut, santri yang menerima dan mengamalkan Pancasila merupakan perwujudan dari menjalankan syariat agama Islam. Menurutnya, Pancasila adalah kalimatun sawa’ bagi Bangsa Indonesia yang memberi koridor yang jelas bahwa demokrasi Indonesia bukan demokrasi ala Barat, tetapi demokrasi yang berketuhanan, berkemanusiaan, berkebangsaan, berkerakyatan, dan berkeadilan sosial.

Sebaliknya, menurut Gus Hilmy menjelaskan, Pemerintah juga memfasilitasi berbagai kebutuhan hukum positif yang mengakomodasi syariat Islam.

“Hasilnya, meskipun Indonesia bukan negara Islam (darul Islam), kontribusi syariat Islam dalam sistem hukum positif Indonesia sangat luar biasa. Hal ini dapat dilihat antara lain dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama, Wakaf, Pengelolaan Zakat, Perbankan Syariah, Penyelenggaraan Umroh dan Ibadah Haji, Jaminan Produk Halal, dan lain-lain. Belum lagi seperti UU Pornografi, Perlindungan Anak, Energi dan lain-lain, yang kesemuanya sedikit banyak ada peran akomodasi syariat Islam. Upaya yang demikian ini sepatutnya terus diupayakan oleh kaum santri dalam peran sertanya turut membangun
manusia Indonesia seutuhnya di semua bidang garapan sesuai dengan kompetensinya masing-masing,” ujar Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI tersebut.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER