MONITOR, Denpasar – Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Muhammadiyah (PP IPM) menyelenggarakan Seminar Tobacco Control Spesial Rakernas Bali 2021 yang mengusung tema “Jangan Ada Iklan, Promosi, dan Sponsor Rokok di antara Kita” pada Sabtu (11/12/2021). Materi disampaikan oleh dr. Ayu Swandewi Putri Astuti, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan Devie Rahmawati, Menteri Komunikasi dan Informasi.
Ayu membuka diskusi dengan mengungkapkan adanya iklan rokok di lingkungan masyarakat—termasuk penjualan di toko-toko kelontong—membuat masyarakat menormalisasi kegiatan merokok. Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk mendenormalisasi keberadaan iklan rokok karena hal itu meningkatkan perilaku merokok pada anak dan remaja. Bahkan, iklan rokok juga menghambat seseorang untuk berhenti merokok.
“Menurut riset kesehatan dasar 2018, tren merokok orang dewasa tidak begitu signifikan, akan tetapi tren merokok di kalangan remaja cukup tinggi. Bahkan, riset menunjukkan bahwa ⅕ perokok di Indonesia mulai merokok sejak usia di bawah 17 tahun,” papar Ayu.
Ayu menambahkan jika merokok dapat memberikan dampak baik dari segi kesehatan dan non kesehatan. “Rokok lebih banyak negatifnya,” tegasnya.
Lebih jauh, Ayu memaparkan data bahwa angka kematian di Indonesia yang diakibatkan rokok mencapai kurang dari 260.000 jiwa per tahunnya. Bahkan, di tahun 2015 kerugian makro ekonomi yang dialami pemerintah mencapai 596,61 triliun rupiah. Kemudian, terjadinya defisit BPJS karena penyakit katarospi—penyakit yang berkaitan dengan merokok—.
Ayu juga menjelaskan penelitian yang ia lakukan terkait iklan rokok dan perilaku penjualan rokok di Bali. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa iklan-iklan rokok di masyarakat berupaya membuat promosi yang menarik untuk para pemuda. “Mereka kerap kali mengadakan kegiatan yang dekat dengan kaum muda seperti penyelenggaraan konser musik, perlombaan, dan juga mengkampanyekan gaya hidup merokok dengan kreatif menggunakan tagar di media sosial,” ungkap Ayu.
Upaya pemerintah dalam membatasi iklan rokok pun dilakukan melalui regulasi pemasangan iklan dan memberikan pesan antirokok pada bungkus rokok. “Meskipun pesan pada bungkus rokok tidak memberikan efek besar untuk menghentikan masyarakat merokok, setidaknya beberapa orang ada yang merasa jera untuk merokok setelah membaca pesan tersebut,” jelas Ayu.
Tantangan Penghapusan Promosi Rokok di Indonesia
Melengkapi penjelasan Ayu, Devie menjelaskan jika industri rokok menggunakan teknik manipulatif dalam promosinya. “Sebuah merek rokok menggunakan kata ‘ringan’ atau memanfaatkan desain yang kekinian dan menarik untuk menunjukkan jika produk tersebut tidak berbahaya,” ujar Devie.
Strategi lain pun muncul dengan munculnya e-cigarette yang melancarkan promosi sebagai rokok yang wangi dan menunjukkan gaya hidup kekinian. “Promosi ini manipulatif dengan membuat narasi jika e-cigarette tidak berbahaya jika dibandingkan dengan rokok konvensional, padahal sebaliknya,” kata Devie.
Devie melanjutkan, bahwa anak muda menjadi sasaran promotor rokok karena semakin muda usia pengguna rokok, maka akan semakin lama pula mereka mengkonsumsi rokok. Hal ini berkaitan dengan pembentukan sosial tentang bagaimana remaja adalah entitas dalam fase pembentukan baik biologis ataupun psikologis.
“Mereka pun menjadi sasaran empuk ajang promosi suatu produk, termasuk rokok. Anak muda sebagai kultur simbolik menjadi pintu masuk yang kuat bagi promotor positif/negatif,” ujarnya.
Kemudian, ketika muncul studi yang menarasikan adanya hubungan rokok dengan penyakit karsinoma, perusahaan rokok dengan tegas menyanggah pembuktian klinis tentang bahaya rokok itu menggunakan taktik komunikasi. “Sehingga komunikasi pun menjadi titik sentral untuk memperkuat argumentasi mereka dan terus mempromosikan rokok,” jelas Devie.
Sebagai pemungkas, Devie mengimbau jika upaya penghentian kampanye rokok tidak akan berhasil tanpa menggandeng masyarakat sebagai konsumen utama rokok. Terlebih jika narasi antirokok yang digaungkan pemerintah justru ditolak publik yang merupakan pengguna rokok dan mereka berada di sisi produsen.
“Tentu masalah ini akan menjadi tantangan yang sangat serius bagi negara dalam membudayakan gaya hidup sehat,” pungkas Devie