Jumat, 22 November, 2024

Peran BIN Cegah Penyebaran Covid-19 Patut Diapresiasi

“Terutama dalam mencegah klaster di perkantoran dan pada kelompok-kelompok elemen masyarakat“

MONITOR, Jakarta – Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Tjahjo Kumolo, mengungkapkan bahwa peran Badan Intelijen Negara (BIN) dalam penanganan Covid-19 patut diapresiasi oleh semua pihak.

Tjahjo menyampaikan bahwa inisiatif BIN yang dilakukan secara proaktif itu merupakan langkah nyata dari kementerin/lembaga pemerintah untuk bersama-sama atau gotonf royong dalam menangani pandemi Covid-19.

“Peran serta Badan Intelijen Negara dalam penanganan dan pencegahan penyebaran Covid-19 patut diapresiasi. Terutama dalam mencegah klaster di perkantoran dan pada kelompok-kelompok elemen masyarakat,” ungkapnya di Jakarta, Senin (28/9/2020).

Dalam melakukan pengetesan, Tjahjo mengakui, standar tes yang digunakan BIN sangat ketat. Bahkan, menurut Tjahjo, standarnya lebih tinggi dari lembaga atau institusi lain.

- Advertisement -

Di samping itu, Tjahjo menegaskan bahwa perang melawan Covid-19 adalah perang bersama. Menurut Tjahjo, semua lembaga negara harus saling bahu membahu. Seperti arahan Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa segala sumber daya harus dikerahkan untuk melawan Covid-19, termasuk BIN tentunya yang langsung aktif dalam mempercepat penanggulangan penanganan Covid-19.

Tjahjo mengatakan, kontribusi BIN pun sangat signifikan dalam perang melawan penyebaran Covid-19 di Tanah Air, mulai dari meriset obat, membuat proyeksi puncak pandemi, hingga menggelar tes Polymerase Chain Reaction (PCR).

“BIN sebagai lini terdepan dalam Keamanan Nasional sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara, maka BIN berkewajiban membantu pemerintah dan siap mendukung seluruh kebijakan Presiden dalam mengatasi pandemi Covid-19 di Indonesia,” katanya.

Terkait masalah akurasi hasil tes, Tjahjo pun mengaku sangat memahami. Namun untuk tes yang dilakukan BIN, menurut Tjahjo, dalam melakukan proses uji spesimen, laboratorium BIN menggunakan dua jenis mesin real time PCR, yaitu jenis Qiagen dari Jerman dan jenis Thermo Scientific PCR dari Amerika Serikat.

Selain itu, lanjut Tjahjo, laboratorium BIN itu telah memiliki sertifikat Laboratorium Biosafety Level 2 (BSL-2) yang telah didesain mengikuti standar protokol laboratorium serta telah dilakukan proses sertifikasi oleh lembaga sertifikasi internasional, yaitu World Bio Haztec dari Singapura.

“Tidak hanya itu, BIN juga melakukan kerja sama dengan Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman untuk standar hasil tes, sehingga layak digunakan untuk analisis Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) yang sesuai standar,” ujarnya.

Tjahjo menjelaskan, BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR Test yang lebih tinggi dibandingkan institusi atau lembaga lain yang tercermin dari nilai Ct qPCR atau ambang batas bawah 35. Namun untuk mencegah Orang Tanpa Gejala (OTG) lolos pendeteksian, maka BIN menaikkannya menjadi 40. Termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi tiga jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1ab.

“Terkait fenomena hasil test swab positif menjadi negatif, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN, juga termasuk jaringan intelijen di WHO telah menjelaskan itu bukan hal yang baru,” ungkapnya.

Pertama, Tjahjo menyebutkan, merujuk penjelasan dari Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN dan juga jaringan intelijen di WHO, hal itu dapat disebabkan RNA atau protein yang tersisa atau jasad renik virus sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada threshold sehingga tidak terdeteksi lagi.

Apalagi jika subjek tanpa gejala klinis itu dites pada hari yang berbeda. Menurut Tjahjo, OTG atau asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut.

“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien dan kualitas test kit,” ujarnya.

Tjahjo menuturkan, BIN sendiri menjamin kondisi peralatan, metode dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan Swedia.

“Untuk masalah pelaporan, dalam menggelar kegiatan test massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat termasuk di dalamnya Dinas Kesehatan serta Gugus Tugas Daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19,” katanya.

Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada April 2020 lalu, Tjahjo menambahkan, BIN selalu melaporkan hasil uji usap yang selama ini dilakukan kepada Kemenkes dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

“Demikian catatan saya sebagai Menteri PAN-RB mengikuti semua kementerian, lembaga, institusi, gugus tugas pusat daerah dalam peran sosialnya menggerakkan dan mengorganisir lembaga pemda dan elemen masyarakat,” ungkapnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER