Prof. Dwikorita Karnawati. (Ist)
MONITOR, Yogyakarta – Pakar kebencanaan yang juga Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dwikorita Karnawati, menilai penanganan bencana di Sumatra saat ini menghadapi kesenjangan serius (gap) antara skala dan kompleksitas bencana yang terjadi dengan kapasitas dalam menerapkan sistem penanggulangan bencana saat ini.
Menurut Prof. Dwikorita, bencana yang melanda Sumatra kali ini merupakan peristiwa luar biasa yang tidak dapat dipandang sebagai kejadian tunggal. Bencana tersebut muncul akibat interaksi berbagai faktor yang kompleks, terutama kondisi geologi yang aktif dan dinamis, dampak perubahan iklim global, serta tingkat kerusakan lingkungan yang signifikan.
Secara geologis, wilayah Sumatra dicirikan oleh keberadaan pegunungan tinggi yang curam dan rapuh yang berbatasan langsung dengan dataran rendah berupa kipas aluvial yang terbuka luas. Kondisi ini membentuk bentang alam dengan tingkat kerentanan tinggi sekaligus medan yang sulit dijangkau dan diakses, sehingga menyulitkan upaya penanganan darurat di lapangan.
Interaksi antara kerentanan geologi tersebut dengan anomali cuaca akibat perubahan iklim, yang diperparah oleh kerusakan lingkungan, memicu terjadinya multi-bencana geo-hidrometeorologi yang berlangsung secara beruntun. Rangkaian bencana ini umumnya diawali oleh longsor dan erosi, yang kemudian berkembang menjadi banjir bandang dan banjir dengan skala kedahsyatan relatif besar.
“Dampaknya sangat luas, melintasi tiga provinsi dan puluhan Daerah Aliran Sungai (DAS), dengan korban jiwa mencapai ribuan orang, serta ratusan infrastruktur dan ribuan rumah rusak atau hilang,” jelasnya.
Pemerintah Pusat dan Daerah, TNI, Polri, dengan dukungan berbagai pihak, dan bahkan para Relawan, telah berjuang gigih di lapangan untuk menangani bencana ini. Namun demikian, Dwikorita menilai bahwa penanganan terhadap multi-bencana yang luar biasa, kompleks, dan dinamis ini masih perlu lebih ditingkatkan dan dimasifkan dengan pendekatan yang luar biasa, tidak hanya menggunakan mekanisme penanggulangan bencana yang selama ini rutin dijalankan untuk bencana tunggal.
Lebih lanjut, Ia menegaskan bahwa kondisi ini mencerminkan adanya ketidakseimbangan antara magnitude bencana—yang berskala besar, luas, kompleks, dan repetitif—dengan “magnitude” kapasitas penanganan dan mekanisme penanganan bencana yang masih bersifat konvensional.
Langkah penguatan terhadap “magnitude” kapasitas penanganan bencana ini perlu dilakukan, terutama dengan menambahkan “armada” yang diterjunkan di lapangan dalam jumlah yang lebih masif, diperkuat dengan teknologi yang lebih handal dalam jumlah yang lebih besar, serta didukung oleh Sumber Daya Manusia yang mumpuni dan tangguh.
Untuk itu, Dwikorita menekankan perlunya langkah-langkah cepat, tepat, taktis, dan berskala luar biasa guna menutup kesenjangan tersebut. Kapasitas penanggulangan bencana, terutama pada tahap tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi, harus ditingkatkan beberapa kali lipat dibandingkan kapasitas yang selama ini diterapkan.
Strategi utama yang perlu diterapkan, menurutnya adalah konsep “Build Back Better” dan berkelanjutan, dengan target wujudkan “zero victims”, “zero loss and damage”, dengan membangun peradaban baru yang menjamin kehidupan, penghidupan, dan lingkungan hidup yang aman dan berkelanjutan.
Dalam konteks tersebut, Dwikorita menekankan bahwa tahap rehabilitasi dan rekonstruksi harus tetap dilakukan secara paralel dengan upaya pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, bahkan tanggap darurat. Hal ini penting mengingat selama proses rehabilitasi dan rekonstruksi, bencana susulan masih sangat mungkin terjadi, khususnya selama musim hujan.
Salah satu upaya mitigasi yang mendesak dan perlu segera dilakukan, kata dia, adalah mengurangi risiko terjadinya banjir bandang susulan. Langkah ini dapat ditempuh melalui inspeksi menyeluruh di wilayah hulu DAS, khususnya untuk mengecek sisa endapan longsor, material rombakan, dan kayu-kayu yang masih tertahan di lereng maupun alur sungai pada elevasi tinggi. Endapan tersebut berpotensi menyumbat aliran sungai saat atau setelah hujan lebat. Jika sumbatan alami ini jebol, maka dapat memicu banjir bandang ke wilayah hilir dan dataran rendah, yang berisiko menambah korban jiwa serta merusak infrastruktur yang sedang maupun telah dibangun.
Selain inspeksi dan pengecekan, upaya mitigasi segera juga perlu dilakukan dengan mengalirkan atau menyudet sumbatan sedimen di hulu alur sungai ke arah hilir secara terkontrol, agar tidak berkembang menjadi banjir bandang. Dalam jangka menengah, perlu dibangun check dam secara berjenjang dari hulu hingga kaki gunung untuk mengendalikan kecepatan dan volume sedimen yang mengalir ke hilir, sehingga daya rusak aliran sedimen banjir bandang dapat diminimalkan.
Di sisi lain, pembersihan sedimen, lumpur, gelondongan kayu, serta bangkai hewan pada lahan dan sarana prasarana kehidupan—seperti jalan, saluran irigasi, dan rumah—perlu segera dilakukan. Langkah ini penting agar fasilitas yang masih memungkinkan dapat segera difungsikan kembali, setidaknya sebagai hunian dan prasarana sementara, sambil menunggu penyediaan hunian tetap (Huntap) dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh serta pemetaan ulang zona bahaya ke depan dan tingkat kerusakan lingkungan saat ini. Mekanisme dan penyebab bencana harus dikaji melalui fact-finding langsung di lapangan, kemudian disimulasikan kembali dengan pemodelan fisika-matematis yang divalidasi dan diverifikasi menggunakan data empiris.
Hasil pemodelan dan pemetaan tersebut harus menjadi dasar utama penetapan tata ruang pascabencana, termasuk penentuan lokasi hunian tetap (Huntap) serta pembangunan infrastruktur pendukung, dengan mempertimbangkan daya dukung lahan dan ketersediaan sumber daya dasar seperti air baku dan kesuburan tanah. Lokasi yang dipilih harus aman atau dapat dimitigasi dari berbagai ancaman multi-bencana di masa mendatang, seperti longsor, banjir bandang, banjir, gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung api.
Sejalan dengan itu, pemulihan kerusakan lingkungan—terutama di wilayah hulu DAS—harus dilakukan sedini mungkin dan secara paralel dengan upaya pelestarian lingkungan berkelanjutan, mengingat kerusakan lingkungan yang dibiarkan akan memperparah anomali iklim, meningkatkan ekstremitas cuaca, serta memperpendek periode ulang bencana. Kawasan yang rusak berat atau tertimbun sedimen lebih tepat dipulihkan sebagai area konservasi lingkungan, bukan dikembangkan kembali sebagai kawasan hunian maupun budi daya.
“Perlu disadari bahwa pemulihan lingkungan bukan proses instan. Dibutuhkan waktu panjang hingga puluhan tahun. Karena itu, kebijakan penanganan bencana harus berpikir jauh ke depan dan tidak semata berorientasi pada pemulihan cepat,” imbuhnya.
Dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi, keterlibatan aktif pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan di daerah—termasuk relawan, organisasi nonpemerintah (NGO), sektor swasta, akademisi, serta masyarakat lokal yang tidak terdampak langsung—perlu dioptimalkan. Pelibatan ini dilakukan melalui dialog yang intensif, penguatan pemahaman terhadap kearifan dan pengetahuan lokal, serta keterlibatan langsung dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi. Pendekatan partisipatif tersebut penting untuk menjamin efektivitas dan relevansi pemulihan, sehingga hunian serta sarana prasarana yang dibangun benar-benar sesuai dengan kebutuhan, kondisi sosial, dan tradisi budaya setempat.
Mengingat luasnya wilayah terdampak serta kompleksitas tantangan rehabilitasi dan rekonstruksi yang harus ditangani secara cepat dan tepat, diperlukan pembentukan suatu badan khusus yang fokus pada pemulihan kehidupan dan penghidupan pascabencana di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh. Model kelembagaan ini dapat mencontoh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh pascatsunami 2004, dengan kepemimpinan yang kuat serta didukung sumber daya manusia yang cekatan, taktis, dan berpengalaman, yang telah teruji dalam penanganan berbagai bencana besar di Indonesia.
MONITOR, Jakarta - Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Rivan A. Purwantono menyampaikan pemberlakuan…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama Republik Indonesia resmi meluncurkan tahapan Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi…
MONITOR, Jakarta - Kementerian Sekretariat Negara menyelenggarakan Upacara Peringatan ke-97 Hari Ibu Tahun 2025 yang…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Dr. (H.C.) Puan Maharani mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk…
MONITOR, Jakarta - Menyambut lonjakan mobilitas selama Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru 2025/2026),…
MONITOR, Jakarta - DAIKIN kembali memperkuat komitmennya dalam mendukung kemajuan industri nasional dengan berpartisipasi pada…