MONITOR, Jakarta – Kementerian Perindustrian menilai industri otomotif saat ini sangat membutuhkan insentif guna memperkuat ekosistem industrinya dari hulu-hilir. Insentif tersebut guna mempertahankan utilisasi produksi, melindungi investasi dan pekerja industrinya dari PHK, serta meningkatkan daya saing produk otomotif dalam negeri.
Saat ini memang penjualan kendaraan EV meningkat signifikan. Penjualan EV melonjak tajam pada periode Oktober-Januari tahun 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. Namun kenaikan penjualan ini sebagian besar berasal dari kendaraan EV impor. Dari total penjualan kendaraan EV tahun 2025 sebesar 69,146 unit, 73 persennya merupakan kendaraan EV impor produksi dan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja industrinya berada di negara lain. Sementara segmen kendaraan lain yang diproduksi di dalam negeri dan memiliki share terbesar dalam pasar industri otomotif nasional terus mengalami penurunan penjualan signifikan, bahkan jauh dibawah jumlah produksi tahunan kendaraan pada segmen tersebut.
“Jadi, keliru jika kita menyatakan industri otomotif sedang dalam kondisi kuat dengan hanya mengandalkan indikator pertumbuhan kendaraan pada segmen tertentu. Penurunan tajam penjualan kendaraan bermotor roda empat jauh di bawah angka produksinya di kala penjualan kendaraan EV impor naik tajam adalah fakta yang tidak bisa dihindari. Dan, harus menjadi indikator pertumbuhan industri otomotif nasional saat ini. Kami memandang bahwa dibutuhkan insentif untuk membalikkan keadaan tersebut,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief melalui keterangan tertulis, Minggu (30/11/2025).
Selain itu, banyaknya pameran bukan berarti menunjukkan bahwa industri otomotif sedang kuat. Kuat tidaknya industri otomotif nasional hanya bisa disimpulkan berdasarkan data penjualan dan produksi otomotif.
“Banyaknya pameran otomotif diberbagai tempat Indonesia juga bukan ukuran industri otomotif sedang kuat. Sebaliknya, banyak pameran otomotif adalah upaya dan perjuangan industri untuk tetap mempertahankan demand ditengah anjlok penjualan domestiknya dan sekaligus melindungi pekerjanya dari PHK. Sekali lagi, kita harus menggunakan data statistik yang ada untuk menggambarkan kondisi obyektif industri otomotif saat ini dan tidak menggunakan jumlah event pameran otomotif.,”, ujar Febri.
Kemenperin menegaskan bahwa indikator paling mendasar untuk mengukur kesehatan industri otomotif adalah penjualan kendaraan ke pasar, bukan hanya pertumbuhan segmen tertentu atau besaran investasinya. Hal tersebut tidak mampu menggambarkan kondisi industri otomotif secara keseluruhan.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, penjualan mobil selama Januari-Oktober 2025 secara wholesales (distribusi dari pabrik ke dealer) hanya sebanyak 634.844 unit. Angka itu turun 10,6 persen dibanding tahun lalu yang mencapai 711.064 unit. Sedangkan secara retail sales (penjualan dari dealer ke konsumen) tercatat sebanyak 660.659 unit pada Januari-Oktober 2025. Angka itu turun 9,6 persen dari tahun lalu yang mencapai 731.113 unit.
Oleh karena itu, Kemenperin menegaskan bahwa insentif otomotif menjadi instrumen krusial dalam upaya memulihkan pasar kendaraan bermotor sekaligus menjaga keberlangsungan industri otomotif nasional.
Febri menyatakan, kebijakan insentif tidak hanya penting bagi pelaku industri, tetapi juga memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sebagai konsumen. Menurutnya, insentif akan menciptakan ruang bagi penurunan harga kendaraan, memperbaiki sentimen pasar, serta mempertahankan daya beli masyarakat, khususnya kelompok kelas menengah dan pembeli mobil pertama yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.
“Walaupun Kemenperin belum merumuskan jenis, bentuk dan target insentif/stimulus, tapi usulannya akan mengarah ke segmen kelas menengah-bawah dan didasarkan pada nilai TKDN.,” ungkapnya.
Data yang dihimpun Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2025, penjualan wholesales kendaraan bermotor mencapai 635.844 unit atau turun 10,6% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, produksi kendaraan juga mengalami penurunan menjadi 957.293 unit dari 996.741 unit pada 2024.
Penurunan paling dalam terjadi pada segmen kendaraan yang justru menjadi tulang punggung industri otomotif nasional, yaitu segmen entry (OTR < Rp200 juta) yang anjlok hingga 40%, segmen low (Rp200–400 juta) yang merosot 36%, serta segmen kendaraan komersial yang turun 23%. Ketiga segmen ini selama ini menyasar konsumen domestik, terutama kelompok masyarakat kelas menengah, serta menjadi basis produksi terbesar di dalam negeri.
Menurut Febri, pelemahan pasar yang terjadi secara simultan dapat berdampak pada penurunan utilisasi pabrik, penurunan investasi, serta berpotensi mengancam keberlanjutan lapangan kerja di industri otomotif dan sektor komponen. “Tidak adanya intervensi kebijakan akan membuat tekanan ini semakin dalam, dan efeknya dapat memengaruhi struktur industri secara keseluruhan,” katanya.
Dukungan berbagai pihak
Dukungan terhadap rencana pemberian insentif juga datang dari berbagai komunitas otomotif. Founder Xpander Mitsubishi Owners Club (X-MOC) Sonny Eka Putra mengatakan, insentif seharusnya melihat kebutuhan tiap segmen secara spesifik, bukan diberlakukan secara menyeluruh. Dukungan fiskal dari pemerintah harusnya menyasar kendaraan untuk kelas menengah ke bawah.
“Kalau saya ngelihatnya case by case. Ini sebetulnya juga berlaku untuk mobil listrik. Maksudnya insentif itu diperlukan untuk mobil kalangan menengah ke bawah biar tepat sasaran. Kalau yang di segmen atas itu nggak wajib malah,” tuturnya.
Sonny mencontohkan, mobil hybrid yang pada umumnya memiliki harga lebih tinggi, rasanya wajar jika tidak diberi insentif. “Mobil hybrid saja sebetulnya harganya biasanya lebih mahal. Baru yang kemarin keluar Veloz harganya di bawah Rp 300 juta. Tapi yang pasti mobil menengah ke atas itu memang jangan sampai ada insentif, karena dianggap mereka (konsumen) mampu membeli,” imbuhnya.
Hal senada juga disampaikan Ketua Dewan Pengawas Calya Sigra Club (Calsic) Ryan Cayo. Ia menilai insentif otomotif tidak semata-mata “diskon” bagi produsen, melainkan stimulus untuk menjaga pergerakan ekosistem otomotif dari hulu ke hilir.
“Komunitas melihat bahwa wacana insentif, apapun bentuknya, idealnya tidak hanya dilihat sebagai ‘diskon’ bagi industri, tetapi sebagai stimulus untuk menjaga daya beli masyarakat dan memastikan ekosistem otomotif tetap bergerak. Ketika pemerintah menyampaikan sinyal berbeda, hal itu membuat pelaku usaha hingga konsumen lebih berhati-hati dan ini bisa makin memperlambat pemulihan pasar,” kata Cayo.
Kebijakan insentif yang timpang dan tidak pasti justru berimbas ke psikologi pasar. Konsumen memilih menunda keputusan membeli mobil, termasuk di pasar mobil bekas, karena menunggu apakah akan ada insentif baru atau perubahan regulasi.
“Bahkan termasuk saya di bidang mobil bekas, itu banyak orang yang jadi nunda pembelian. Kalau di mobil tekas kita ada penurunan mungkin sekitar 10-20 persen,” ungkap Owner Indigo Auto Yudy Budiman.