MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin turut menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang anggota Kepolisian RI (Polri) aktif menduduki jabatan sipil. Ia menekankan bahwa larangan tersebut sudah sangat jelas tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (Polri), khususnya Pasal 28.
Hasanuddin pun menegaskan bahwa polemik mengenai penempatan anggota Polri aktif dalam jabatan sipil sebenarnya tidak perlu berlarut-larut apabila pemerintah konsisten menjalankan aturan yang sudah ada.
“Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil. Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002,” kata TB Hasanuddin, Jumat (14/11/2025).
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menerima seluruh permohonan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Putusan ini dibacakan para hakim konstitusi dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, Kamis (13/11).
Dalam putusannya, MK membatalkan aturan pengecualian yang sebelumnya memungkinkan polisi menduduki jabatan di luar Polri atau yang biasa disebut sebagai jabatan sipil.
Adapun Pasal 28 ayat 3 pada UU 2/2002 tentang Polri mengatur bahwa polisi dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun. Pada undang-undang itu, di bagian penjelasan pasal 28 ayat 3, tertuang maksud dari ‘jabatan di luar kepolisian’, yakni jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ itulah yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Akibat dari putusan MK, frasa tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Hasanuddin pun menyebut putusan MK terbaru ini justru mempertegas ulang ketentuan pasal tersebut. Putusan MK dinilai semakin menegaskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh mengisi jabatan sipil.
“Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian. Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut,” jelas Hasanuddin.
“Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002,” sambung Legislator dari Dapil Jawa Barat IX itu.
TB Hasanuddin menilai, akibat ketidakpatuhan pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri, maka timbul kerancuan di publik. Dimana hal itu juga berpotensi merusak prinsip dasar profesionalisme kepolisian serta batas yang jelas antara lembaga penegak hukum dan birokrasi sipil.
“Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi,” tegas Mayjen TNI Purnawirawan itu.
TB Hasanuddin menekankan bahwa putusan MK terbaru justru mempertegas aturan yang sudah tertuang dalam undang-undang. Sehingga aturan tersebut seharusnya dijalankan, apalagi putusan MK bersifat final dan mengikat atau final and binding.
“Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas,” pungkas TB Hasanuddin.