HUKUM

Oknum Polisi Cabuli Korban Pemerkosaan, DPR Sebut Penegak Hukum Gagal

MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menyoroti kasus anggota Polri berinisial Aipda PS yang diduga melakukan pelecehan seksual terhadap seorang perempuan korban pemerkosaan saat melapor ke kantor polisi di Polsek Wewewa Selatan, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sudding menilai aparat penegak hukum telah gagal memberikan rasa aman kepada rakyat.

“Kasus ini merupakan bentuk kegagalan paling telanjang dari sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat. Seharusnya kantor polisi menjadi tempat paling aman bagi rakyat, tapi ini malah sebaliknya,” kata Sudding, Selasa (10/6/2025).

Untuk diketahui, kasus pelecehan seksual ini bermula ketika korban MML mendatangi Polsek Wewewa Selatan untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang dialaminya di Desa Mandungo, Kecamatan Wewewa Selatan pada 2 Maret 2025.

Saat memberikan keterangan, MML diperiksa oleh Aipda PS. Namun, dalam proses pemeriksaan tersebut, MML diduga justru menjadi korban kekerasan seksual oleh anggota polisi yang menangani laporannya tersebut. MML mendapat perlakuan cabul dari Aipda PS.

Setelah peristiwa itu, Aipda PS disebut meminta MML untuk tidak menceritakan kejadian tersebut kepada siapapun. Namun, MML akhirnya memberanikan diri untuk bersuara di media sosial hingga unggahannya menuai perhatian publik. Apalagi kasus pemerkosaan yang menimpa MML juga di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan alasan hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka. Padahal MML mengaku diancam dengan parang oleh pelaku sebelum diperkosa.

Sebagai anggota komisi DPR yang membidangi urusan hukum dan pengawasan terhadap aparat penegak hukum, Sudding menyatakan bahwa kasus ini bukan hanya sekadar pelanggaran etik, namun sudah kejahatan yang mempermalukan institusi Polri di mata publik. “Seorang warga negara datang ke kantor polisi karena telah menjadi korban kejahatan seksual. Tapi alih-alih mendapat perlindungan, dia justru menjadi korban untuk kedua kalinya oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung,” tuturnya.

Sudding pun menilai kasus tersebut juga merupakan indikasi kegagalan sistemik dalam pembinaan personel. Termasuk dalam pengawasan internal, dan kultur kekuasaan di tubuh aparat penegak hukum. “Jika kantor polisi berubah menjadi tempat pelecehan, maka seluruh konsep negara hukum sedang dalam bahaya,” ungkap Sudding.

Saat ini Aipda PS yang menjabat sebagai Kanit Provos Polsek Wewewa Selatan telah dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus) sejak Sabtu (7/6) untuk menjalani proses hukum lebih lanjut. Sudding mendesak agar proses hukum terhadap Aipda PS dilakukan secara transparan dan berkeadilan. “Tak bisa hanya diselesaikan dalam sidang etik atau diberi teguran atau sanksi ringan saja. Karena ini adalah kejahatan pidana, bukan hanya pelanggaran disiplin. Pelakunya harus diadili di pengadilan umum, dengan proses yang bisa diawasi oleh masyarakat,” tegas Legislator dari Dapil Sulawesi Tengah itu.

Sudding pun mengatakan, Komisi III DPR akan meminta penjelasan soal penanganan kasus ini dari Polri. Hal ini sekaligus untuk mengevaluasi mekanisme pengawasan terhadap perilaku anggota di lapangan, terutama yang menangani kasus-kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender. “Kita tidak bisa terus-menerus berlindung di balik narasi ‘oknum’. Jika kasus seperti ini terus muncul, berarti ada yang salah dalam sistem rekrutmen, pelatihan, dan pengawasan aparat. Sudah saatnya Polri membersihkan institusinya secara serius dari mental predator berseragam,” sebut Sudding.

Lebih lanjut, Sudding menilai kasus di NTT itu juga mengonfirmasi bahwa perlindungan korban kekerasan seksual masih jauh dari ideal. “Kasus ini harus menjadi pengingat keras bahwa upaya reformasi hukum dan kelembagaan di Indonesia belum menyentuh akar masalah. Termasuk ketimpangan kekuasaan antara aparat dan warga sipil, serta budaya imunitas di tubuh penegak hukum,” jelasnya.

Untuk itu, Sudding mendesak agar dilakukan audit menyeluruh terhadap mekanisme pelaporan kekerasan seksual di seluruh jajaran kepolisian. Termasuk keharusan hadirnya petugas perempuan, pemisahan ruang pemeriksaan, dan pendampingan psikologis bagi korban. Ia menekankan bahwa hal ini tidak bisa ditunda lagi. “Ketika korban lebih percaya media sosial daripada sistem hukum, maka jelas negara sedang kehilangan kredibilitasnya,” ucap Sudding.

“Kasus ini harus menjadi titik balik. Negara harus hadir, bukan hanya dengan pidato, tapi dengan keadilan nyata dan sanksi tegas terhadap pelaku,” pungkasnya.

Recent Posts

Temui Sekjen DPN, HKTI Lumajang sampaikan Aspirasi Petani Tebu dan Insentif Mekanisasi Pertanian

MONITOR, Jakarta - Dewan Pengurus Cabang Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (DPC HKTI) Kabupaten Lumajang Jawa…

41 menit yang lalu

Puan Bicara Isu Keseteraan Gender Dalam Konferensi Internasional di Kampus CSU AS

MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menjadi keynote speaker dalam Konferensi Internasional yang…

2 jam yang lalu

Kemenag Luncurkan NotiSki, Sistem Notifikasi Berbasis WhatsApp

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama meluncurkan inovasi layanan literasi digital Islam melalui platform ELIPSKI (Elektronik…

2 jam yang lalu

LPDB dan Kementerian Koperasi Teken Komitmen Integritas Wujudkan Koperasi Desa Berkelanjutan

MONITOR, Jakarta - Sebagai bagian dari upaya membangun fondasi ekonomi rakyat yang kuat dan berkelanjutan,…

3 jam yang lalu

Pendaftar JARVIS Naik, Bukti Generasi Muda Minat di Industri Tinggi

MONITOR, Jakarta - Kementerian Perindustrian telah membuktikan kemampuannya dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia (SDM)…

4 jam yang lalu

Kemenag Perkenalkan GPTs TOR MAKER, Revolusi AI dalam Administrasi Madrasah

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama RI melalui Direktorat KSKK Madrasah kembali mencatatkan langkah strategis dalam…

5 jam yang lalu