Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira. (doc: parlementarian)
MONITOR, Jakarta – Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti vonis bebas terhadap oknum polisi dalam kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua. Ia menilai putusan pengadilan dalam kasus ini menimbulkan keprihatinan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia.
“Kasus ini mencerminkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Andreas Hugo Pareira, Kamis (20/3/2025).
Seperti diketahui, berbagai kalangan mengecam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura yang beberapa waktu lalu membebaskan oknum anggota kepolisian berinisial AFH (20) dari kasus pencabulan terhadap seorang anak berusia 5 tahun di Keerom, Papua.
AFH didakwa melakukan pencabulan sejak 2022 dan sebelumnya dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan UU Perlindungan Anak. Peristiwa tersebut terjadi saat AFH berkunjung ke rumah korban dan memanfaatkan situasi ketika kakak korban meninggalkan mereka untuk membeli mi instan di kios terdekat.
Buntut keputusan hakim ini, pihak keluarga korban dan kuasa hukum menyatakan keberatan dan berencana mengajukan kasasi. Andreas mendukung keputusan keluarga korban.
“Keputusan pihak keluarga ini menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan atau ketidakwajaran dalam proses peradilan. Keputusan hukum tersebut juga telah mencederai keadilan dan tidak pro terhadap hak asasi manusia yang di dalamnya terdapat hak-hak anak,” ungkapnya.
Menurut Andreas, pengadilan perlu mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat. Dengan putusan bebas kepada pelaku kekerasan seksual, pengadilan pun disebut tidak mendukung perlindungan terhadap anak yang masuk dalam kelompok rentan.
“Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan pun ikut tidak berpihak kepada korban lewat proses peradilan yang penuh ketidakadilan,” sebut Andreas.
Pimpinan Komisi di DPR yang membidangi urusan hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) itu pun menilai, pengawasan terhadap proses peradilan harus diperkuat. Menurut Andreas, hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa putusan yang diambil berdasarkan fakta dan keadilan, bukan karena intervensi atau faktor lain yang tidak semestinya.
“Putusan hakim pada kasus ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Tentunya harus menjadi perhatian kita bersama untuk sama-sama bisa mengawal kasus ini hingga tuntas,” ujar Legislator dari Dapil NTT I itu.
Andreas juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang memprioritaskan pada perlindungan hak-hak korban, terutama yang melibatkan anak-anak.
Hal ini mengingat UU Perlindungan Anak sudah mengatur ancaman hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual pada anak untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk perlindungan bagi anak-anak. Apalagi ancaman hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual juga sudah diatur dalam UU TPKS.
“Kami juga berharap Komnas HAM ikut terlibat mengawal kasus ini demi memastikan hak-hak korban benar-benar terakomodir,” imbau Andreas.
Andreas menyebut, Indonesia memiliki banyak produk hukum yang menjamin hak-hak anak termasuk dalam UU No 39 Tahun 1999 Tentang HAM.
“Dalam UU ini diatur bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia yang diakui serta dilindungi oleh hukum,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Andreas menyebut perlindungan HAM bagi anak korban kekerasan seksual juga diatur dalam UU TPKS. Mulai dari hak atas pendampingan, hak restitusi, hak pemulihan, hak bebas dari pertanyaan yang menjerat, hak memberikan keterangan tanpa tekanan, hak atas layanan hukum, hak atas penguatan psikologis, hak atas pelayanan kesehatan, serta hak atas layanan dan fasilitas sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
“Semua ini harus bisa dipenuhi oleh negara, termasuk dalam proses hukum yang ada. Selain soal penegakan keadilan, pemenuhan hak-hak ini yang semestinya menjadi pertimbangan dalam mengusut kasus kekerasan seksual,” ucap Andreas.
Andreas pun meminta Jaksa Penuntut Umum untuk bekerja lebih baik dalam proses kasasi agar keadilan bagi korban dapat ditegakkan. Ia menilai, hal ini juga sebagai bentuk jaminan dari negara dalam memenuhi hak-hak korban.
“Kasus ini harus menjadi refleksi bagi semua pihak untuk terus memperjuangkan keadilan dan perlindungan bagi anak-anak serta memastikan bahwa sistem peradilan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan berfokus pada pemenuhan HAM,” tutup Andreas.
MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama (Kemenag) menyalurkan program BeZakat (Beasiswa Zakat Indonesia) untuk membiayai pendidikan…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi soal aksi penolakan pengesahan Rancangan Undang-Undang…
MONITOR, Lebak - Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Lebak melalui Lembaga Amil Zakat, Infak,…
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani menghadiri…
MONITOR,Palembang - Menjelang hari raya Idul Fitri, Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel memastikan pasokan energi,…
MONITOR, Jakarta - Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) menilai penggeledahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi…