OPINI

Dampak UU TNI, Militerisme dalam Dunia Maya dan Hak Perempuan

Oleh: Athiyah*

Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru  disahkan memberikan peran lebih besar kepada TNI dalam menanggulangi ancaman pertahanan siber memunculkan dampak yang cukup signifikan terhadap dunia digital di Indonesia. Salah satu poin utama dalam UU ini adalah pemberian wewenang kepada TNI untuk ikut serta dalam melawan ancaman yang muncul di ruang siber, termasuk serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Namun, langkah ini menimbulkan kekhawatiran terkait dampaknya terhadap kebebasan digital, hak asasi manusia, serta perlindungan terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Salah satu dampak yang cukup mengkhawatirkan adalah penggunaan asas militerisme dalam penanggulangan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Dalam hal ini, pendekatan yang digunakan bisa menjadi lebih represif dan cenderung mengabaikan pendekatan berbasis hak asasi manusia yang lebih holistik. Sebagai contoh, jika TNI terlibat dalam penanggulangan KBGO, penanganan masalah ini berpotensi didominasi oleh kebijakan yang lebih keras dan mekanisme hukum yang kurang sensitif terhadap korban. Pendekatan yang lebih memprioritaskan keamanan dan ketertiban dapat mengurangi ruang untuk menanggapi masalah ini secara inklusif, terutama jika korban adalah perempuan dan anak-anak. Hal ini berpotensi membuat mereka semakin terpinggirkan dalam mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan kebutuhan psikologis dan sosial mereka.

Dalam konteks kebebasan pers, UU TNI berpotensi mengancam independensi media di dunia digital. Kebebasan untuk mengakses dan menyebarkan informasi bisa terhambat jika TNI diberi wewenang lebih besar dalam mengawasi serta menyaring konten yang beredar di dunia maya. Sebagai contoh, di beberapa negara dengan pengawasan militer yang ketat terhadap dunia siber, seperti China, media dan individu yang mengkritik pemerintah sering kali dibatasi ruang geraknya atau bahkan dianiaya secara hukum. Di Indonesia, meski UU TNI belum sampai pada tahap yang ekstrem, langkah ini berpotensi mengarah pada pembatasan ruang publik digital, seperti yang terjadi pada beberapa kasus penyensoran media digital yang dianggap menyebarkan informasi yang bertentangan dengan kepentingan pemerintah.

Potensi penggunaan pasukan siber atau “cyber army” oleh TNI juga membuka peluang bagi manipulasi dunia maya yang merugikan masyarakat. Sejumlah negara sudah pernah menggunakan pasukan siber untuk mengendalikan opini publik atau menyerang lawan politiknya, seperti yang terjadi di Rusia dengan intervensi mereka dalam pemilu AS 2016. Indonesia juga pernah mengalami hal serupa dengan kasus hoaks yang disebarkan melalui akun-akun media sosial yang terorganisir, yang berujung pada tensi sosial. Jika TNI diberikan mandat dalam hal ini, ada kekhawatiran bahwa cyber army ini akan digunakan untuk tujuan yang lebih politis, bahkan untuk mengintimidasi atau mengekang kebebasan berekspresi di dunia maya.

Selain itu, ancaman terhadap kebebasan di media sosial semakin nyata, mengingat penggunaan teknologi untuk memantau aktivitas warganet bisa berujung pada kriminalisasi atas opini yang diungkapkan di platform digital. Misalnya, pasal-pasal di UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sering kali digunakan untuk menangkap mereka yang mengkritik pemerintah melalui media sosial. Dalam konteks UU TNI, potensi penggunaan wewenang militer untuk mengawasi dan menindak pelanggaran di dunia maya bisa memperburuk situasi ini, membatasi ruang untuk diskusi terbuka dan sehat.

Pengawasan yang berlebihan terhadap aktivitas digital masyarakat juga menjadi perhatian besar terkait dengan ancaman privasi. Dalam banyak kasus, pengawasan berlebihan terhadap komunikasi digital dapat menyebabkan penyalahgunaan data pribadi. Sebagai contoh, kebocoran data pribadi yang terjadi pada berbagai platform digital internasional, seperti kasus Cambridge Analytica, menunjukkan betapa rentannya data pribadi dalam pengawasan yang tidak terkendali. Di Indonesia, meskipun UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) baru diterapkan, tantangan terkait pengawasan yang melibatkan pihak militer dan pemerintah masih belum jelas pengaturannya. Jika pengawasan siber ini diterapkan tanpa mekanisme kontrol yang ketat, hal ini bisa merusak privasi individu, termasuk data pribadi yang sangat sensitif.

Salah satu risiko terbesar dari penguatan peran TNI dalam dunia digital adalah potensi pemadaman internet atau sensor digital yang lebih besar. Ketika negara menghadapi ancaman besar di dunia maya, pemerintah terkadang memilih untuk memadamkan akses internet sebagai langkah darurat, seperti yang terjadi di beberapa negara dengan pemerintahan otoriter. Di Indonesia, meskipun pemadaman internet masih relatif jarang terjadi, pemerintah sudah beberapa kali memblokir akses ke beberapa platform digital dalam rangka menangani situasi yang dianggap mengancam keamanan negara, seperti saat terjadi kerusuhan di Papua atau beberapa aksi demonstrasi. Jika UU TNI diterapkan secara lebih luas, hal ini bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya pemadaman internet atau sensor terhadap informasi yang beredar.

Sebagai contoh, pada 2019, pemerintah Indonesia memutuskan untuk memblokir akses internet di Papua pasca kerusuhan, yang berdampak pada banyak warga yang tidak bisa mengakses informasi vital. Kasus ini menyoroti betapa besar dampak dari pemadaman internet terhadap hak-hak digital warga negara. Dalam konteks yang lebih luas, jika TNI memiliki wewenang lebih besar dalam urusan pertahanan siber, keputusan serupa bisa lebih sering terjadi, menghambat akses informasi yang diperlukan oleh masyarakat dan mempersulit kegiatan ekonomi digital.

Secara keseluruhan, meskipun UU TNI bertujuan untuk memperkuat ketahanan negara dalam menghadapi ancaman siber, dampaknya terhadap kebebasan digital dan hak-hak dasar warga negara sangat besar. Pengawasan yang lebih ketat, potensi pembatasan kebebasan berbicara, serta ancaman terhadap privasi dan hak perempuan dan anak-anak, membuat UU ini harus dilihat dengan hati-hati. Penting untuk menjaga keseimbangan antara keamanan nasional dan hak-hak digital yang harus dihormati dalam sebuah masyarakat demokratis.

*Penulis Adalah Ketua Bidang Media, Komunikasi dan Informatika KOPRI PB PMII

Recent Posts

Bertemu Jokowi dan Surya Paloh di Acara Bukber, Puan Ditanya Soal RUU TNI

MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani menghadiri…

32 menit yang lalu

Setjen KESDM Pastikan Keamanan Pasokan BBM dan LPG di Sumbagsel Jelang Idul Fitri

MONITOR,Palembang - Menjelang hari raya Idul Fitri, Pertamina Patra Niaga Regional Sumbagsel memastikan pasokan energi,…

3 jam yang lalu

Desak KPK Tuntaskan Kasus TPPU SYL, LSAK: Uang Petani Dinikmati Pribadie, Tak Punya Hati!

MONITOR, Jakarta - Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK) menilai penggeledahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi…

6 jam yang lalu

Kemenag Umumkan Pemenang Pasaraya Ramadan Competition

MONITOR, Jakarta - Setelah ditutupnya sayembara foto dan video pada program Pasaraya Ramadan competition pada…

7 jam yang lalu

Gandeng Google, Kementerian PU Luncurkan mudik.pu.go.id, Layanan Informasi Mudik Lebaran 2025

MONITOR, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum terus menghadirkan inovasi untuk meningkatkan kenyamanan perjalanan masyarakat selama…

7 jam yang lalu

Komisi V DPR Usul Tambahan Frekuensi Moda Transportasi Massal untuk Mudik Lebaran 2025

MONITOR Jakarta - Wakil Ketua Komisi V DPR Andi Iwan Darmawan Aras menekankan pentingnya kesiapan…

7 jam yang lalu