MONITOR, Jakarta – Anggota Komisi III DPR RI, Abdullah mendorong penegak hukum bekerja sama dengan lintas instansi untuk membentuk satuan tugas (Satgas) pemberantasan aktivitas tambang ilegal. Hal ini buntut dari kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat, yang diduga karena terkait penutupan tambang ilegal hingga menyebabkan seorang personel polisi tewas.
“Saya meminta kepada Pak Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan konflik internal dalam penanganan penambangan ilegal ini, seperti di Solok Selatan. Bisa dengan pembentukan Satgas Gabungan Penanganan Penambangan Ilegal yang lintas kementerian dan lembaga,” kata Abdullah, Kamis (28/11/2024).
Abdullah pun menyoroti masalah tambang ilegal atau Penambangan Ilegal Tanpa Izin (PETI) yang menyebabkan kerugian negara mencapai sekitar Rp 3,5 triliun untuk tahun 2022 saja.
“Makanya satgas ini penting agar tak lagi ada nyawa melayang akibat masalah tambang ilegal,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Kasat Reskrim Polres Solok Selatan Kompol Anumerta Ryanto Ulil Anshar (34) ditembak hingga tewas oleh Kabag Ops AKP Dadang Iskandar di Mako Polres Solok Selatan beberapa waktu lalu. Motif penembakan yang dilakukan oleh AKP Dadang Iskandar terhadap Kompol Anumerta Ryanto Ulil bermula dari korban yang mengamankan pelaku tambang galian C di Solok Selatan.
Kabarnya penangkapan tersebut membuat AKP Dadang Iskandar tidak senang. Pelaku melepaskan tembakan ke korban hingga tewas di parkiran Polres Solok Selatan. Selain diproses hukum, Dadang Iskandar kini dipecat secara tidak terhormat dari institusi Polri.
Abdullah mengatakan, satgas anti tambang ilegal sebenarnya sudah diwacanakan lama sejak era pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo. Untuk itu ia berharap pemerintahan Presiden Prabowo bisa merealisasikannya karena masalah tambang ilegal telah menimbulkan banyak masalah dalam berbagai aspek.
“Hal ini langsung saya tujukan kepada Presiden, Pak Prabowo, mengingat Satgas gabungan yang diwacanakan dari era pemerintahan sebelumnya masih belum terbentuk dan beroperasi efektif hingga sekarang,” ucap Abullah.
Abdullah menyebut satgas anti tambang ilegal bisa berisi perwakilan dari instansi yang berkaitan dengan urusan atau aktivitas tambang seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Polri, KPK, dan Kejaksaan Agung (Kejagung).
“Tentunya kolaborasi harus dengan satu tujuan sehingga tidak ada lagi ego sektoral dan harus benar-benar sesuai dengan visi Presiden,” tutur Legislator dari dapil Jawa Tengah VI tersebut.
Lebih lanjut, Abdullah menilai isu tambang ilegal harus mendapat perhatian serius dari Pemerintah. Sebab dampak aktivitas tambang ilegal kerap kali menyebabkan konflik horisontal masyarakat, bahkan hingga pada isu ‘beking-bekingan’ aparat seperti yang diduga terjadi pada kasus polisi tembak polisi di Solok Selatan.
“Konflik horisontal masyarakat secara perlahan tapi pasti telah menggerus ketahanan nasional,” ungkap Abdullah.
Selain menciptakan konflik horisontal di tengah masyarakat, Abdullah pun menyebut tambang ilegal juga berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan sebab penambangan yang tidak berizin melakukan penambangan tidak sesuai SOP.
“Sudah banyak peristiwa longsor, banjir, konflik antar masyarakat akibat aktivitas tambang ilegal, yang semuanya menimbulkan korban nyawa dan kerugian materi tak sedikit,” sebutnya.
“Kerentanan lingkungan dan sosial ini saya yakin tidak akan dibiarkan lama oleh Bapak Presiden, karena tidak sesuai dengan cita-cita beliau yang ingin membawa Indonesia kuat,” imbuh Abdullah.
Terkait kasus penembakan polisi yang terjadi di tengah penyelidikan kasus tambang ilegal di Solok Selatan, anggota Komisi di DPR yang membidangi urusan penegakan hukum tersebut mengimbau Polri untuk melakukan pemeriksaan kesehatan mental berkala untuk semua personelnya. Terutama, kata Abdullah, bagi anggota polisi yang memiliki kewenangan memegang senjata api.
“Tujuannya agar anggota Polri dapat menguasai emosi dan mengendalikan pistol. Perlu dilakukan monitoring berkala supaya bibit arogansi bisa dideteksi dari awal,” imbaunyq.
“Kejadian penembakan polisi itu tidak hanya mencerminkan masalah internal di institusi kepolisian, tetapi juga menyoroti perlunya perhatian lebih terhadap kesehatan mental dan manajemen stres di kalangan anggota polisi,” tambah Abdulllah.
Penelitian dari Universitas Mulawarman menunjukkan bahwa anggota kepolisian sering mengalami tingkat stres lebih tinggi akibat beban kerja yang berat, jam kerja yang tidak menentu, dan situasi berisiko tinggi yang mereka hadapi setiap hari. Stres ini dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental dan perilaku agresif, termasuk penggunaan senjata api secara tidak tepat.
“Jadi institusi kepolisian perlu menyediakan program dukungan psikologis bagi anggotanya,” ujarnya.
Abdullah juga menilai pendidikan tentang manajemen stres dan kesehatan mental harus menjadi bagian dari pelatihan rutin bagi anggota kepolisian. Sebab pendekatan tersebut akan membangun budaya kerja positif yang mendukung di lingkungan Polri, dan dapat membantu mengurangi stres anggota serta meningkatkan kinerja kerja mereka.
“Oleh karena itu, kepolisian harus memiliki mekanisme pengawasan yang efektif agar tindakan anggota dapat dipertanggungjawabkan,” pungkas Abdullah.