MONITOR, Jakarta – Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin mengatakan bahwa Presiden terpilih Prabowo Subianto tidak memilih sosok Jaksa Agung yang terafiliasi dengan partai politik, dan namanya diajukan oleh elite partai pendukung pasangan Prabowo-Gibran. Karena hal tersebut untuk menjaga independensi dan tidak menyalahgunakan kewenangan dalam pemberantasan korupsi.
Hal tersebut juga merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6/PUU-XXII/2024. Putusan yang mengubah ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Agung itu mensyaratkan Jaksa Agung tidak terafiliasi dengan parpol dan bukan merupakan pengurus partai politik
(parpol).
Menurutnya, apabila jabatan Jaksa Agung itu berdasarkan nama yang diajukan elite atau ketua umum partai, maka kedepannya akan berpotensi terjadi tindakan penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan kelompok tertentu.
“Saya sependapat sosok Jaksa Agung yang baru tidak terafiliasi parpol dan namanya tidak diajukan oleh elite parpol, karena memang aturan dibuat untuk mengantisipasi segala bentuk abuse of power, penyalahgunaan wewenang dan hal-hal negatif, jadi saya sepakat saja,” kata Ujang saat dihubungi wartawan di Jakarta, Sabtu (19/10).
Namun demikian, kata Ujang, penunjukan Jaksa Agung tidak bisa dihindari dari unsur politiknya karena namanya selalu diajukan oleh ketua umum parpol.
“Tetapi kan tidak bisa dihindari, pencarian sosok jaksa agung banyak unsur politiknya. Maka agar unsur politiknya bisa minim, maka ikutin aturan berdasarkan putusan MK,” ucap Ujang.
Selain itu, jabatan Jaksa Agung di pemerintahan Presiden terpilih Prabowo, harus memenuhi beberapa kriteria, salah satunya yang memiliki integritas dan mempunyai komitment terkait pemberantasan korupsi, dan loyalitas kepada presiden.
Ujang juga berpendapat, sosok jaksa agung kedepan bisa menjadi harapan masyarakat dalam penegakan hukum, terutama Pemberantasan korupsi, serta bisa menjaga hubungan baik antar sesama penegak hukum.
“Kalau bicara soal sosok Jaksa Agung itu harus punya kriteria, pertama, berintegritas itu penting, lalu juga yang kedua punya komitment terkait pemberantasan korupsi. Ketiga, loyalitas kepada presiden itu menjadi utama. Keempat, punya leadership atau kepemimpinan yang bagus di Kejagung,” tuturnya.
“Kelima, punya hubungan vertikal yang baik, artinya ke atas dalam hal ini kalangan presiden dan kebawah juga bagus, lalu juga hubungan horizontal katakanlah hubungan dengan lembaga penegak hukum lain juga baik, itu menjadi penting, paling tidak itu beberapa kriterianya. Sehingga betul-betul sosok jaksa agung kedepan bisa diharapkan lah,” sambungnya.
Saat ditanya soal sosok jaksa agung yang namanya tidak diajukan oleh ketua umum parpol, kata Ujang, itu sesuatu yang jauh lebih bagus karena independen dalam menjalankan tugas penegakan hukum.
“Terkait sosok jaksa agung yang tidak terafiliasi parpol dan namanya tidak diajukan oleh parpol, bagus-bagus saja, independen jauh lebih bagus,” tegasnya.
Sebelumnya, Presiden terpilih Prabowo Subianto diminta tidak memilih
Jaksa Agung RI yang berafiliasi dengan partai politik (Parpol). Karena hal tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan putusan MK No. 6/PUU-XXII/2024 mengenai syarat jabatan Jaksa Agung dan pengaruhnya terhadap independensi Kejaksaan dalam sistem peradilan pidana.
Menurut Direktur Eksekutif Centre of Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi bahwa penunjukan Jaksa Agung tidak terafiliasi dengan Parpol merujuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 6/PUU-XXII/2024.
Putusan yang mengubah ketentuan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Agung itu mensyaratkan Jaksa Agung bukan merupakan pengurus partai politik dan tidak berafiliasi dengan parpol.
“Sebaiknya jabatan Jaksa Agung diisi non-partisan partai, biar bisa profesional dan mencegah politisasi kasus,” kata Uchok melalui keterangan tertulis, yang dikutip pada Rabu (16/10).
Ia menilai putusan MK Nomor 6/PUU-XXII/2024 dapat meminimalkan intervensi partai politik dalam sistem penegakan hukum, terutama dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan tokoh politik.
Selain itu, kata dia, untuk memperkuat prinsip penegakan hukum harus bebas dari pengaruh politik, dan menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan kompetitif.
Sekedar informasi, dalam putusannya, MK menyebut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 45, terkait syarat Jaksa Agung. MK menyebut untuk diangkat menjadi Jaksa Agung bukan merupakan pengurus partai politik.
Dalam pertimbangannya, MK menilai pengurus parpol merupakan orang yang memiliki keterikatan mendalam dengan partai. Sehingga menurutnya akan berpotensi timbulnya konflik kepentingan.