PARLEMEN

Demo di Semarang Ricuh, Aparat Diminta Gunakan Cara Humanis

MONITOR, Jakarta – Aksi demontrasi mahasiswa di Kota Semarang berlangsung ricuh dan terjadi bentrok antar aparat dengan pengunjuk rasa. Komisi III DPR mengimbau agar aparat menggunakan cara-cara humanis saat menghadapi massa demo.

“Kalu kita pakai cara tindakan represif hanya akan memperburuk situasi dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Aparat keamanan agar tetap mengedepankan dialog, kebijaksanaan, dan sisi humanis,” ujar Anggota Komisi III Gilang Dhielafararez, Selasa (27/8/2024).

Aksi demo berawal dari tuntunan mahasiswa untuk menurunkan pemerintahan saat ini dilatarbelakangi oleh dinamika revisi UU Pilkada yang dilakukan di depan Gedung DPRD Provinsi Jawa Tengah pada Senin (26/8) kemarin.

Aksi sempat memanas sejak mahasiswa memaksa masuk ke dalam Balai Kota hingga merusak pagar. Menjelang petang, pelajar tiba-tiba datang dan bergabung ke barisan paling depan massa aksi. Sempat terjadi pelemparan batu dan kayu antara massa dengan aparat hingga akhirnya aksi dibubarkan dengan gas air mata.

Setidaknya ada 33 orang dibawa ke rumah sakit akibat tindakan represif aparat. Diketahui 6 orang aparat juga terluka akibat kejadian ini. Gilang menyayangkan demo yang berakhir ricuh tersebut.

“Menyampaikan aspirasi dilindungi oleh konstitusi. Tapi kami juga mengimbau agar aksi unjuk rasa dilakukan dengan tertib dan damai untuk menjaga stabilitas keamanan,” ungkapnya.

Kendati saat ini Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) sudah disesuaikan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 60 dan 70 terkait Pilkada, sepertinya kemarahan masyarakat masih ada. Meski awalnya unjuk rasa di Semarang dilakukan dengan damai, namun karena ada pihak-pihak tertentu yang melakukan provokasi akhirnya demo menjadi ricuh.

“Kami harap teman-teman mahasiswa dan elemen masyarakat lain yang menggelar demo betul-betul memastikan agar aksi tidak ditunggangi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keadaan untuk kepentingan tertentu,” pesan Gilang.

Tindakan represif aparat diketahui tak hanya mengenai massa aksi di Semarang, tetapi juga warga yang tak ikut unjuk rasa. Bahkan anak-anak yang sedang mengaji ikut menjadi korban. Puluhan orang yang menjadi korban dibawa ke rumah sakit di mana sebagian besar mengalami sesak nafas hingga luka-luka di bagian kepala.

“Massa demonstran yang awalnya berupaya menyampaikan aspirasi dengan damai, akhirnya harus berhadapan dengan tindakan represif berupa tembakan gas air mata dan mobil meriam air. Ironisnya, tindakan ini terjadi di tengah upaya mereka memperjuangkan demokrasi yang sehat dan transparan,” paparnya.

Menurut Gilang, aparat seharusnya bisa memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan berkembang dalam damai di Indonesia. Apalagi tembakan gas air mata untuk membubarkan aksi sangat merugikan masyarakat.

“Walaupun gas air mata dianggap sebagai senjata nonmematikan, namun tetap memiliki efek yang sangat merugikan terhadap kesehatan manusia, khususnya pada anak-anak yang tubuhnya masih rentan. Seharusnya aparat belajar dari kejadian Kanjuruhan,” urai Gilang.

“Ini kan yang ikut demo juga ada yang masih pelajar di mana mereka ada yang masih di bawah umur. Harusnya ada dialog yang kuat antara dua pihak, kepada para demonstran juga saya berpesan untuk tetap jaga ketertiban dan jangan mudah diprovokasi,” sambungnya.

Gilang berharap, aparat lebih mengedepankan dialog terbuka
dan negosiasi yang damai dalam meredakan ketegangan dan mencegah eskalasi konflik. Dalam konteks ini, aparat keamanan seharusnya bertindak sebagai fasilitator yang memastikan bahwa hak
untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat dijamin tanpa mengorbankan keselamatan warga.

“Aparat harus bisa melakukan tindakan yang lebih humanis dan membuka lebar dialog dengan pengunjuk rasa. Aparat dapat menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi dan mereka boleh menyampaikan pendapat namun dengan tertib dan sesuai aturan yang berlaku,” terang Gilang.

Komisi III DPR yang membidangi urusan keamanan, hukum, dan HAM itu meminta aparat untuk menjaga marwahnya sebagai pelindung masyarakat. Gilang juga meminta aparat memberikan hak pendampingan hukum bagi massa demo yang ditangkap buntut kericuhan semalam.

“Aparat harus tetap menjaga marwahnya sebagai pelindung dan pengayom masyaraka, bukan malah melukai masyarakat. Bubarkan aksi dengan cara humanis. Serta pastikan mereka yang ditangkap mendapatkan hak pendampingan hukum,” tukasnya.

“Dan sekali lagi saya mengimbau untuk adik-adik mahasiswa dan elemen sipil lainnya agar menggelar aksi demokrasi dengan tertib dan aman,” lanjut Gilang.

Sebagai informasi DPR RI bersama dengan KPU telah sepakat menyesuaikan Peraturan KPU (PKPU) nomor 8 tahun 2024 tentang Pilkada yang mengakomodir keputusan MK dengan menurunkan threshold pencalonan serta terkait batas usia calon kepala daerah yang sesuai dengan aturan sebelumnya.

Recent Posts

DPR Sepakat RUU Keimigrasian Sah Jadi UU

MONITOR, Jakarta - DPR RI bersepakat untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas…

5 jam yang lalu

Dukung Program TKMP Kemenaker, Universitas Pancasila gelar Bimtek Pendamping

MONITOR, Jakarta - Universitas Pancasila mendapatkan kepercayaan dari Kementerian Tenaga Kerja RI sebagai pelaksana swakelola…

7 jam yang lalu

Tersangka Pemerkosa Anak Dilantik Jadi Anggota DPRD, Komisi III DPR: Cederai Keadilan!

MONITOR, Jakarta - Seorang tersangka pelaku pemerkosa anak berinisial HA dilantik menjadi Anggota DPRD Singkawang,…

8 jam yang lalu

Jokowi Resmikan Jalan Tol Kartasura-Klaten

MONITOR, Boyolali - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono mendampingi Presiden Joko…

9 jam yang lalu

Kemenag Salurkan Bantuan SBSN untuk 1.447 Madrasah

MONITOR, Jakarta - Kementerian Agama sejak 2018 terus berupaya meningkatkan sarana prasana madrasah melalui skema…

10 jam yang lalu

DPR Tak Setuju Kebijakan Ekspor Pasir Laut: Pulau-Pulau Kecil Bisa Hilang Lagi!

MONITOR, Jakarta - DPR RI menyatakan sikap tidak setuju dengan kebijakan Pemerintah yang membuka kembali…

12 jam yang lalu