Sabtu, 27 April, 2024

Pemilu 2024 Tanpa Kesadaran Hukum

Oleh: Hasin Abdullah*

14 Februari 2024 lalu rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih pemimpin secara demokratis, dan terbuka. Dimana pemilihan umum 2024 kemarin melewati dua agenda penting yaitu Pilpres–Pileg mulai dari tingkat kabupaten/kota (DPRD), dan daerah provinsi, hingga pusat (DPR-RI).

Pemilu sendiri adalah hajatan demokrasi dimana rakyat yang memiliki daulat penuh sebagai pemegang tampuk kekuasaan tertinggi. Hal itu secara substantif diatur dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan filosofis grondslag untuk mengedepankan ketentuan yang berlaku.

Namun, dalam praktiknya Pemilu 2024 cenderung mempertontonkan krisis keteladanan elit politik hingga saling menyerang karakter, dan menjatuhkan hal-hal yang sifatnya personal. Bahkan, ada sejumlah elit yang mengusulkan Pemilu ulang, hak angket, dan tindakan pemakzulan Presiden.

- Advertisement -

Mungkinkah ide-ide tersebut dapat mengubah keputusan hasil Pemilu 2024 oleh KPU 20 Maret mendatang? Jawabannya adalah secara hukum tidak. Tak terkecuali, jika paslon 01 dan 02 mampu membuktikan dalilnya dalam gugatan di Mahkamah Konstitusi, atau Bawaslu bahwa kian terjadi pelanggaran Pemilu terstruktur, sistematis, dan masif.

Catatan serius Pemilu 2024 selain pelanggaran TSM adalah politik uang (money politic) sebagai pelanggaran dalam hukum pidana. Dalam setiap kali Pemilu, kuasa politik uang tak dapat dipungkiri terjadi masif di tengah masyarakat sekalipun sulit dibuktikan. Parahnya, penegakan hukum tampaknya tak berdaya jika dihadapkan dengan masalah tersebut.

Dalam konteks itu, sejak awal seluruh rangkaian proses Pemilu tampak kurang profesional, sehingga integritas kekuasaan kehakiman alias Mahkamah Konstitusi, dan penyelenggara, serta perilaku elit menjadi tanda tanya besar. Alhasil, Pemilu kali ini musim krisis keteladanan di kalangan aparat penegak hukum, dan kaum elit.

Tak dapat dipungkiri, bahwa menjelang keputusan hasil Pemilu pada 20 Maret 2024 semakin diperlihatkan atas cara pandang para elit politik yang tak punya kesadaran hukum yang tinggi. Hal itu yang menunjukkan sisi gelap negara hukum yang demokratis karena negara semata-mata krisis moral.

Atas dasar itu, mengutip ucapan penulis ternama tanah air Pramoedya Ananta Toer “kalau ahli hukum tak merasa tersinggung karena pelanggaran hukum sebaiknya ia jadi tukang sapu jalanan”. Menurut pertanyaan penulis, apakah dalam Pemilu 2024 terjadi banyak pelanggaran hukum?

Sadar Ada Pelanggaran

Kalau dicermati, sulit mengatakan tak ada politik uang (money politic) dalam praktik Pemilu 2024 karena itu hukum seolah-olah tak berdaya jika berhadapan dengan situasi (uang) yang pancaroba ini. Meskipun muncul fakta-fakta di lapangan ada sebagian elit politik jujur mengakui hal itu cukup kuat.

Padahal, politik uang sebagai pelanggaran hukum pidana Pemilu dapat melahirkan pesta demokrasi yang suram, dan tak sehat bagi masa depan bangsa.  Secara sosio-kultur. faktor ini memang sangat mendarah daging hingga seolah-olah menjadi tradisi kejahatan dalam dunia demokrasi.

Akhirnya, di tengah perjalanan demokratisasi di Indonesia masyarakat kerap menjadi korban praktik Pemilu yang tak taat asas luber, dan jurdil. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu keberanian dan integritas setiap paslon untuk mengatakan tidak melanggar hukum meski seujung kuku di hadapan majelis MK.

Peristiwa demikian, masyarakat selalu menjadi korban kejahatan Pemilu akibat money politic yang terjadi terstruktur, masif, dan sistematis. Padahal, dalam substansi hukum Pemilu sangat dilarang keras sebab itu nyata merusak tatanan nilai-nilai, dan peradaban konstitusionalisme demokrasi.

Nico L. Kana menegaskan dalam studi penelitian berjudul (Strategi Pengelolaan Persaingan Politik Elit Desa di Wilayah Kecamatan Suruh: Kasus Pemilihan Kepala Desa: 2011), money politic sudah biasa berlangsung di setiap pemilihan, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih.

Dalam Pemilu 2024, kelemahan penegakan hukum dan pembuktian adanya paslon yang terlibat pelanggaran hukum adalah tak ada komitmen tegas baik dari MK, KPU, dan Bawaslu sebagai lembaga yang memastikan berjalannya Pemilu fair. Justru situasi lengah itu semakin dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.

Di tengah hilangnya kesadaran hukum elit politik, dan masyarakat. Penulis ingin mengatakan bahwa kegiatan politik uang adalah kejahatan Pemilu (money politic is election crimes) yang merugikan masyarakat dalam kehidupan bernegara selama 5 tahun, dan abai hukum, serta demokrasi.

Dalam kompetisi demokrasi, problematika hukum Pemilu 2024 tak hanya ada pada MK, KPU, dan Bawaslu. Namun, juga pada kesadaran elit politik, dan masyarakat untuk saling komitmen mendorong kepastian hukum Pemilu yang lebih beradab, dan berintegritas sehingga berdampak positif pada suatu bangsa.

Pemilu Beradab

Menurut pendapat Nur Hidayat Sardini dalam buku (Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesiai: 2011) bahwa, Pemilu adalah salah satu cara untuk menentukan arah perjalanan bangsa sekaligus menentukan siapa yang paling layak untuk menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tersebut.

Setiap ajang Pemilu, rakyat menghendaki proses itu berjalan sesuai prosedur, dan taat asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Hal yang bersifat prinsip ini diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Artinya, Pemilu beradab atau tidaknya dapat diuji melalui asas-asas hukum tersebut.

Keberanian dan ketegasan penyelenggara baik itu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu tampak abai pada seluruh paslon yang patut diduga melanggar hukum. Padahal, aturan Pemilu sendiri cukup tegas dalam argumentasi hukum yang termaktub pada pasal (3), dan (4) dalam UU Pemilu.

Dalam kerangka wujud Pemilu yang lebih beradab adalah negara tak hanya mengajak elit politik sadar akan urgensinya etika, moral, dan taat hukum. Tetapi, negara harus tegas pada elit politik agar dapat mengamalkan nilai demokrasi yang tumbuh lahirnya dari UUD 1945, dan Pancasila.

UU Pemilu yang bersumber pada hukum tertinggi yaitu UUD 1945, dan Pancasila merupakan sumber keteladanan bagi elit politik di Indonesia. Keteladanan ini untuk melahirkan kesadaran, dan kewarasan hukum di tingkat elit agar dapat mengedukasi kehidupan berbangsa, dan bernegara.

Sejalan dengan teori hukum integratif Romli Atmasasmita (2019) bahwa penataan penegakan hukum tak hanya bertumpu pada seluruh regulasi yang ada. Namun, sisi lain penegakan hukum yang integratif juga harus berpedoman pada khittah sepremasi hukum dalam UUD 1945, dan nilai-nilai luhur Pancasila.

Pada hemat penulis, ada beberapa persoalan yang harus diatasi pasca Pemilu 2024 lalu. Pertama, mengembalikan independensi Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang kredibel, dan berintegritas. Kedua, tugas KPU, dan Bawaslu, serta DKPP kini mengedukasi publik agar menyongsong integritas peradaban hukum Pemilu berjalan dengan fair.

Ketiga, penyelenggara baik itu KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk mengajak stakeholder baik masyarakat, dan aparat penegak hukum, atau pun elit politik sadar hukum. Keempat, MK, Bawaslu, dan KPU harus objektif dalam merespons hukum pembuktian baik dari kubu paslon 01, 02, dan 03.

Kelima, pentingnya kewarasan, keadaban, dan kesadaran bagi semua elit politik, serta masyarakat untuk lebih bijaksana dalam menerima hasil putusan sengketa Pilpres. Semua catatan tentang masalah hukum Pemilu di bangsa ini harus menjadi pekerjaan rumah setiap institusi untuk menjaga stabilitas nasional.

Daulat Hukum

Dalam pendekatan empirik, demokrasi yang substantif, dan daulat hukum runtuh ketika berhadapan dengan kuasa politik uang yang terbilang masif. Hal itu sebagai suatu fakta serius yang mengingatkan kita pada ucapan Lucius Calpurnius Piso Caesoninu, “fiat justitia et pereat mundus atau fiat justitia ruat caelum” yang artinya, tegakkan hukum dan keadilan meski langit akan runtuh.

Berbeda dengan para akademisi yang hampir tiap hari mengkaji hingga meneliti dalam upaya menghilangkan kultur kegiatan politik uang yang masif terjadi, karena uang seolah-olah membuat masyarakat habis manis sapah dibuang tanpa menyadari bahwa hal itu menghukum dirinya selama 5 tahun. 

Putusan hasil sengketa Pilpres mendatang setidaknya membakar semangat penyelenggara Pemilu melalui stakeholder mulai dari elit politik, dan masyarakat. Sehingga, kedepannya dapat berpegang teguh pada amanah dalam menyongsong penegakan hukum guna mengantarkan Indonesia Emas 2045.

Unsur elit politik, dan masyarakat harus punya keinginan kuat mampu berpikir cerdas dalam memerangi politik uang, dan pelanggaran hukum Pemilu lainnya. Karena itu, penegakan hukum selama Pemilu 2024 berlangsung adalah menjadi refleksi penting dalam menciptakan kesadaran hukum bagi publik.

Hukum sebagai rambu-rambu lalu lintas yang dapat menempatkan proses Pemilu akan melahirkan dimensi penting dalam suatu negara. Yaitu, keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Landasan filosofis itu sebagai fondasi fundamental bagi setiap negara demokrasi yang menjujung tinggi hukum.

Menurut hemat penulis, politik uang dan sejenis pelanggaran hukum Pemilu lainnya dapat diberantas melalui integritas, dan kesadaran hukum yang amat tinggi. Karena proses Pemilu tanpa penegakan hukum yang dimulai dari komitmen diri sendiri dapat mendestruksi regulasi, dan demokrasi.

Oleh sebab itu, hukum harus mengawal proses sejak pra-Pemilu sampai hasil rekapitulasi penghitungan suara hingga sengketa di Mahkamah Konstitusi. Paling tidak, seluruh elemen bangsa menempatkan prinsip-prinsip kedaulatan negara hukum sebagai kekuasaan tertinggi dalam konteks mempertahankan prinsip hukum UUD 1945, dan demokrasi Pancasila.

*Penulis adalah Praktisi Hukum/Pengurus Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER