Oleh: Yadi Mulyadi
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang terakhir yang harus dilaksanakan oleh semua umat Islam, dengan syarat harus mampu. Sebagaimana dalam firman Allah SWT “Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam”. (QS Ali ‘Imran: 97).
Hampir setiap tahun umat Islam dari belahan Dunia berbondong-bondong untuk dapat melaksanakan Ibadah Haji berkunjung ke Baitullah. Apalagi Indonesia Sahabat Haji, untuk mendapatkan kursi saja harus menunggu antrian bertahun-tahun. Dari satu sisi memang sangat positif karena melaksanakan Haji merupakan indikator dari kesempurnaan keislaman seorang hamba Tuhan yang penuh submisif. Namun, Sahabat Haji perlu hati-hati dan harus meluruskan niatnya kembali semata-mata untuk mencari ridha Allah SWT.
Dan melaksanakan perintah-Nya. Sebagaimana meneladani sejarah Nabi-nabi terdahulu ketika melakukan Haji, seperti Nabi Adam as. yang melakukan perjalanan Haji dari India ke Mekah, pahit getirnya Nabi Ibrahim as. membangun dan menata ulang Ka’bah dari syariat Nabi sebelumnya, Nabi Ismail AS yang melanjutkan perjuangan ayahnya hingga ke Rasulullah SAW dan masih banyak lagi sejarah Nabi-nabi yang melakukan ibadah Haji yang harus kita teladani. Sahabt Haji, Ibadah haji dalam sebagain masyarkat Indonesia sekarang menjadi tren demi meningkatkan status sosial dalam masyarakat.
Selain itu, di kampung-kampung wilayah bagian Indonesia Jawa Barat dan Banten, Ibadah merupakan salah satu indikator mencapai kesuksesan seseorang dalam hidup. Padahal substansi ibadah haji bukan sekedar ibadah teosentris saja, yaitu hubungan manusia secara vertikal melainkan harus merubah paradigmanya menjadi antroposentris, yaitu hubungan manusia dengan manusia, alam, dan Allah SWT.
Hal ini sebagaimana yang dikutip oleh Sunnatullah dari Syekh Ali Ahmad al-Jarjawi mengatakan dalam kitab Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh, bahwa Allah Swt. mensyariatkan ibadah haji agar umat Islam dari seantero negeri bersatu dan berkumpul di satu tempat yang sama, mengesampingkan semua perbedaan yang ada, mulai dari suku, budaya, negeri, mazhab dan lainnya. Mereka semua berkumpul di atas satu nama, yaitu Islam.
Ketika semua umat Islam dari berbagai tempat telah berkumpul di Makkah, maka akan tercipta darinya sebuah hubungan erat dan timbulnya kasih sayang antarsatu dengan yang lainnya. Dari Indonesia akan mengenal orang Arab, begitupun sebaliknya.
Orang Turki akan mengenal orang India, pun sebaliknya. Orang barat akan mengenal orang timur, pun sebaliknya. Dengannya, akan sangat tampak bahwa mereka bagaikan saudara dari ayah dan ibu yang sama. Dengannya pula, akan tercipta sebuah hubungan yang diikat oleh agama Islam dan tidak akan bisa dipisahkan oleh perbedaan ras dan suku, budaya dan bangsa.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya ibadah haji tidak hanya sebatas tentang ibadah biasa, lebih dari itu, adanya ibadah haji justru sebagai bukti akan persatuan dan kejayaan Islam, serta sebagai bukti kekompakan pemeluknya. Juga sebagai ajang tukar pendapat satu suku dengan suku lainnya, satu negara dengan negara lainnya.
Tidak hanya itu, ketika sudah ada di Baitullah, tidak ada perbedaan antarumat Islam, semuanya sama-sama sebagai hamba Allah dengan tujuan yang sama pula. Mereka tidak dibedakan dengan berbagai identitas yang mereka miliki. Sebagaimana firman Allah Swt. ” Sesungguhnya Allah swt. Memuliakan semua manusia dari tingkat ketaqwaannya”.
Nilai-nilai antroposentris atau humanisme jangan hanya dilakukan di Mekah saja, melainkan harus terus dipupuk dan diamalkan kembali selesai ritual Haji kembali pada masyarakat.
Penulis Adalah Direktur Eksekutif Sahabat Haji Indonesia (SHI) dan juga merupakan Dosen Sekolah Tinggi Pesantren Darunnaim Lebak