Selasa, 30 April, 2024

FSGI: Januari Hingga September 2023 Kasus Perundungan Capai 23 Kasus, 50 Persen Terjadi di Jenjang SMP

MONITOR, Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat kasus perundungan di satuan pendidikan sejak Januari sampai dengan Sepetmber 2023 mencapai 23 kasus perundungan di satuan pendidikan. Dari 23 kasus tersebut, 50% terjadi dijenjang SMP; 23% terjadi dijenjang SD; 13,5% di jenjang SMA dan 13,5% di jenjang SMK. Jenjang SMP paling banyak terjadi perundungan, baik yang dilakukan peserta didik ke teman sebaya, maupun yang dilakukan pendidik.

Berdasarkan rilis resmi FSGI, dari 23 kasus perundungan tersebut, telah memakan korban jiwa, satu siswa SDN di Kabupaten Sukabumi meninggal setelah mendapatkan kekerasan fisik dari teman sebaya dan 1 santri MTs di Blitar (Jawa Timur) meninggal dunia usai mengalami kekerasan dari teman sebaya. Semuanya terjadi dilingkungan sekolah. Ada juga santri yang dibakar oleh teman sebaya sehingga mengalami luka bakar serius. Selain itu, juga tercatat ada 2 kasus perundungan dijenjang SD yang diduga menjadi salah satu pemicu korban bunuh diri, meskipun faktor penyebab bunuh diri seseorang tidak pernah tunggal.

Dari 23 kasus tercatat ada pendisiplinan dengan kekerasan yang dilakukan guru terkait pelanggaran tata tertib sekolah berupa memotong rambut 14 siswi karena tidak memaki ciput hingga pitak didepan (kasus SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, Jawa Timur) dan kasus guru memotong rambut siswa hanya disisakan rambut samping anak (SMPN 1 Sianjur Mula Mula di Samosir, Sumatera Utara). Hal tersebut berdampak pada anak korban yang merasa dipermalukan dan mengalami kekerasan psikis.

Atas Berbagai Kekerasan yang terjadi di pendidikan terutama perundungan, maka FSGI menyampaikan sikap sebagai berikut :

- Advertisement -
  1. FSGI menyampaikan keprihatinan atas sejumlah perundungan yang dilakukan anak terhadap anak di satuan pendidikan yang kian membahayakan jiwa korban;
  2. FSGI mendorong Kemendikbudristek dan Pemerimntah Daerah untuk melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan Pendidikan atau sekolah, diantaranya melalui penerapan Permendikbudristek No. 46 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan wajib diimplementasikan untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman tanpa kekerasan melalui disiplin positif.
  3. FSGI : 3 Faktor yang menyebabkan anak di bawah umur melakukan tindak kekerasan atau perundungan

Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan Tindak pidana sehingga harus berhadapan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum, yaitu faktor internal, faktor eksternal dan faktor situsional. Minimnya keteladanan dari orangtua atau orang dewasa di sekitar anak tumbuh kembang juga bisa menjadi faktor penyebab, mengingat perilaku anak 70% meniru orang dewasa di sekitarnya.

Faktor Internal yaitu factor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri dan lingkungan keluarganya atau pengasuhan yang diterima anak dari keluarganya, misalnya karena salah asuhan, salah didikan dari orang tua sehingga anak menjadi manja, selalu dibela sehingga anak tidak paham konsekuensi dari perbuatannya. Atau bisa juga karena anak justru diasuh dengan kekerasan oleh orangtuanya, sehingga anak bisa berpotensi kuat menjadi pelaku kekerasan kelak di kemudian hari, bisa di lingkungan sekolah atau lingkungan pergaulan anak.

Faktor eksternal, yaitu faktor yang berasal dari luar rumah anak, misalnya faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, factor pergaulan, dan atau factor lingkungan masyarakat termasuk pengaruh dari dunia maya dari penggunaan gadget yang tanpa aturan atau edukasi dan tidak diawasi oleh orangtua atau keluarganya. Anak yang kerap mengakses konten kekerasan, bisa saja meniru konten tersebut, misalnya game online yang berisi kekerasan, bisa film juga. Selain itu, Anak bisa juga kecanduan konten pornografi dan kemudian melakukan kekerasan seksual pada teman sepermainan/sebaya seperti terjadi dalam sejumlah kasus anak melakukan kejahatan seksual atau malah jadi korban kejahatan seksual, seperti di Mojokerto dan Bogor.

Kasus SMPN di Cilacap dimana muncul anak-anak geng bernama BASIS menunjukkan bahwa pergaulan sangat mempengaruhi perilaku anak, anak belajar kekerasan dari teman sebaya. Ketika anak-anak senasib yang diasuh dengan keketrasan dalam keluarga berkumpul dalam satu geng, maka antar anggota kelompok akan saling belajar kekerasan.

Faktor situasional, yaitu faktor yang muncul tak terduga. Misalnya anak menjadi siswa junior dan dipaksa siswa senior untuk ikut tawuran, karena takut menolak maka si anak ikut tawuran. Atau misalnya situasi orangtuanya berpisah (tidak selalu terjadi) dan si anak mengalami tekanan psikologis namun tidak mendapatkan pertolongan dari professional atau tidak support sistem dalam keluarga barunya.

  1. Ada UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang mengatur ketentuan anak yang menjadi pelaku pidana. Pengaturannya ada klasifikasi usia anak menjadi pelaku pidana, dimana anak usia 12 tahun ke bawah tidak dapat di pidana, hanya 12 tahun ke atas yang bisa dipidana. Untuk itu, perlau ada edukasi dan sosialisasi ke masyarakat umum agar dapat memahami ketentuan yang diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak (digunakan aparat penegak hukum (APH) ketika anak menjadi korban) maupun UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang akan digunakan APH ketika anak menjadi pelaku pidana.

Walaupun anak menjadi pelaku pidana, sistem hukum kita tetap menempatkan anak sebagai korban, karena salah pengasuhan atau korban lingkungan dia dibesarkan, artinya kesalahan anak tidak berdiri sendiri. Sehingga dalam UU SPPA berlaku penyelesaian secara diversi (diluar pengadilan). Konsep Diversi, yaitu suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.

Selain itu, juga dikenal prinsip atau konsep restorative justice yaitu sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan anak atau kepentingan terbaik bagi anak.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER