Oleh: Abdul Mukti Ro’uf*
Akademisi-aktivis-politisi bernama Anies Rasyid Baswedan semakin menguat diperbincangkan masyarakat politik terutama setelah Partai Nasdem mendeklarasikan dirinya sebagai capres 2024. Dengan demikan, nama Ganjar Pranowo dan Andika Pratama tereliminasi sebagai Capres dari Nasdem setelah keduanya direkomendasikan dalam rakernas Partai Nasdem sebelumnya bersama Anies Baswedan.
Anies memang sudah lebih dahulu menjadi keluarga besar Nasdem sebelum berwujud partai. Kedekatannya dengan Surya Paloh sudah sejak lama dibandingkan Ganjar dan Andika. Citra Nasdem sebagai partai yang inklusif terhadap kader-kader bangsa terbaik setidaknya terlihat untuk tidak “ngotot” untuk mencapreskan kader partainya sendiri, event itu dari Sang Ketua Umumnya sendiri, Surya Paloh.
Partai ini juga sejak awal selalu mencuri start dalam lobi-lobi politik. Kantor Nasdem Tower di bilangan Menteng Jakarta Pusat belakangan telah menjadi “rumah komunkasi politik”. Banyak tokoh partai yang sudah bersandang ke Nasdem Tower. Tak ayal lagi bahwa Surya Paloh telah mengidetifikasi dirinya sebagai salah satu dari king maker capres 2024. Dengan deklarsi itu, sedikit banyak akan membawa perubahan konstalasi politik terutama pencocokan koalisi partai-partai baik untuk memenuhi Presidential Trashlod (PT) 20 persen dan kandidat yang akan dipinang.
Diantara tiga besar nama yang selalu menduduki tiga besar dalam berbagai lembaga survei, nama Anies akan terus dikalkulasi sebagai salah satu faktor penentu baik untuk memenangkan pilpres maupun dalam perolehan suara legislatif bagi partai yang mendukungnya.
Bagi Nasdem, wabil khusus Surya Paloh, penunjukkan Anies bukanlah gembling. Jam terbang Surya Paloh adalah faktor yang tak bisa diabaikan sebagai tokoh yang multi-pergaulan dalam dan luar negeri. Ditunjuknya Anies—dalam desain atau bukan—otomatis akan menarik tokoh senior lainnya sekelas Jusuf Kalla yang memang sejak lama telah menjadi guru dan mentor politiknya Anies Baswedan. Adapun faktor SBY yang belakangan mesra dengan Nasdem belum tentu melakat dalam koalisi mendukung Anies sepanjang kepentingan Demokrat untuk men-cawapres-kan AHY tidak bisa diterima dalam kesepakatan koalisi. Yang hampir pasti, diduga kuat, Demokrat akan menjadi “lawan abadi”nya PDIP dan secara paralel menjadi pesaingnya The President Man, siapapun yang direkomendasikan Jokowi. Maka, jika tawaran Demokrat untuk menawarkan AHY sebagai cawapresnya Anies dapat diterima oleh Surya Paloh dan koalisinya, koalisi ini akan berpisah jalan dengan Istana dan PDIP. Koalisi KIB yang lebih dulu dibangun antara Golkar, PAN, dan PPP, dengan dideklarasikannya Anies sebagai capres sedikit banyak akan merubah konstalasi terutama tokoh-tokoh Golkar yang sebaris dengan Jusuf Kalla.
Jangan lupa, banyak elit Nasdem yang sesungguhnya adalah orang-orang Golkar. Jadi, jika Nasdem bermesraan dengan Golkar, adalah sesuatu yang bersifat historis. Begitu juga dengan kedudukan PPP dan PAN jika dikaitkan dengan sosok Anies Baswedan yang identik dengan represntasi politik umat Islam. Anies adalah sosok politsi yang berlatar belakang HMI dan “Islam modernis” yang piawai menerjemhkan “issu agama” sebagai komoditi politiknya. Terpelihnya sebagai Gubernur DKI—diakau atau tidak—diantaranya karena narasi politik identitas dengan seluruh kontroversinya. Tidak berlebihan bahwa Anies teruji dalam menampilkan dirinya sebagai representasi umat.
Politik keumatan
Sekali lagi, soal politik identitas dengan seluruh perdebatannya, akan menjadi bagian tak terpisahkan dari sosok Anies Baswedan. Dalam politik, suatu issu bisa dikelola untuk hal-hal yang positif-meguntungkan dan negatif-merugikan. Rekam jejak pilkada DKI tahun 2017 hingga pilpres 2019, nama Anies selalu identik dengan “politik identitas Islam” dimana pertarungan wacana tentang “islamis-nasionalis” terutama di media sosial dan aksi-aksi sosial sangat kentara.
Narasi tentang anti Ahok yang kebetulan juga identik dengan salah satu stasiun televisi milik Surya Paloh begitu kuat dan menggema. Kini, bos besar stasiun televisi itu justru ada di belakang pencalonan Anies. Pertanyaannya, apakah narasi dalam pilkada DKI 20017 dan pilpres 20119 lalu akan diputar ulang? Jawabannya akan sangat tergantung pada bagaimana menampilkan Anies sebagai calon pemimpin nasional.
Anies—hampir dapat dipastikan—sebagai satu-satunya capres yang akan merepresntasikan “politik umat”. Partai-partai yang bisa mengendors politik umat diantaranya PAN, PPP, dan PKS. Tetapi, dalam laku politik Indonesia, partai-partai yang berhaluan Islam dan berkonstituen masyoritas massa Islam tidak selamanya dapat disatukan jika kepentingan-kepentingan politik kuasanya tidak dapat ditemukan. Yang sering terjadi bukan “pertemuan ideologis”, tetapi “kesepakatan pragmatis” Dan politik secara umum, apalagi di Indonesia, akan selalu menempati ruang dan waktu dengan wacana dan narasi yang berubah dan berbeda.
Kehadiran Surya Paloh sebagai sosok terpenting dalam pencapresan Anies cepat atau lambat akan merubah persepsi suara umat. Suara umat yang dalam pemerintahan Jokowi mengambil peran oposisi duga kuat akan melupakan kedekatan Surya Paloh dengan Jokowi demi memberikan dukungan penuh terhadap Anies Baswedan.
Modal suara Anies dalam pilpres 2024 tak terlepas dari perolehan Pilkada tahun 2017 dan hasil survei nasional. Dalam konteks perolehan suara di Pilkada DKI tahun 2017, pasangan Anies-Sandi memeperoleh 3.240.987 atau 57,96 persen. Artinya, Anies memiliki model “suara umat” di DKI tiga juta lebih. Jumlah suara yang masih teramat jauh dalam skala nasional. Jika suara Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai lumbung suara nasional terepresentasikan kepada sosok lain seperti Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, dan Khofifah—jika ketiganya sebagai calon—di luar koalisi Nasdem, maka tingkat elektoral Anies masih menyimpan pekerjaan rumah.
Ujung jalan Anies Baswedan masih belum terang. Kejelasan pertama yang harus ditunggu adalah dengan siapa Partai Nasdem berkoalisi untuk secara sah mendapatkan tiket. Apakah Demokrat dan PKS akan segera “akad nikah”? Jika ya, apakah proposal AHY sebagai cawapres Anies dapat dikalkulasi secara elektoral untuk bisa memenangkan kompetisi mengingat SBY secara terbuka sudah menabuh genderang perang dengan PDIP dan The President Man.
Sementara Surya Paloh masih menjadi bagian dari partai pendukung pemerintah. Bagaimana jika tiba-tiba—meskipun agak mustahil—PDIP bersedia menempatkan Puan Maharani sebagai cawapresnya Anies dengan pembagian posisi yang proporsional? Atau sebaliknya, Surya Paloh dan Nasdem bersedia men-cawapreskan Anies untuk mendampingi Puan atau Ganjar? Jalan politik selalu licin dan berliku. Lorong-lorong politik kadang gelap kadang terang. Dalam gelap lorong dan licin jalan diperlukan kehati-hatian dan perhitungan yang matang setidaknya untuk menjamin keselamatan dirinya sendiri (partainya) dan kelompoknya (koalisinya).
Jika Anies dan partai-partai pendukungnya berhasil meniti jalan yang licin dan lorong gelap, ia akan menemukan ujung jalan yang dapat duduk di singgah sana. Tetapi jika yang terjadi sebaliknya, maka pilihannya dapat memutar balik dan atau terus berjalan hingga menemukan jalan buntu. Diantara jalan terang dan jalan buntu ada ikhtiar dan takdir. Maka teruslah berjalan untuk menjemput takdir yang hanya diketahui di ujung jalan. Selamat berjuang Mas Anies. Wallahu a’lam bi al-shawab.
*Penulis Adalah Analis Sosial-Politik, Bekerja di Pascasarjana Corner IAIN Pontianak
MONITOR, Jakarta - Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan (Noel) mengajak karyawan PT Indonesia…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 menyalurkan donasi kemanusiaan senilai Rp3,5 miliar untuk Palestina.…
MONITOR, Makkah - Menteri Agama RI Nasaruddin Umar mengajak ribuan jemaah umrah untuk mendoakan Indonesia.…
MONITOR, Jakarta - Pertamina Eco RunFest 2024 resmi berlangsung pagi ini di Istora Senayan Jakarta…
MONITOR, Minahasa - Anggota Bawaslu Herwyn JH Malonda mengingatkan tanggal 24 November 2024 sudah memasuki…
MONITOR, Jakarta - PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi dengan meraih Penghargaan Emas…