MONITOR, Jakarta – DPR telah resmi mengusulkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) sebagai RUU inisiatif DPR. Langkah DPR ini mendapat respons positif dari publik termasuk dari kalangan akademisi. Namun, DPR didorong agar menuangkan norma dalam RUU KIA agar tidak setengah hati. Sejumlah model norma yang berlaku di sejumlah negara dapat menjadi bahan kajian dalam penyusunan RUU KIA.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengapresiasi langkah DPR mengusulkan RUU KIA. Menurut dia, RUU KIA merupakan implementasi dari amanat UUD 1945.
“Kami mengapresiasi atas langkah progresif DPR dengan keberadaan RUU KIA ini. RUU KIA merupakan perwujudan implementasi UUD 1945 khususnya di Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1),” ujar Halim di Jakarta, Senin (4/7/2022).
Dia menyebutkan dalam Pasal 28B ayat (1) secara tegas konstitusi memberi perhatian secara khusus tentang hak anak dalam memperoleh kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
“Sedangkan di Pasal 28H ayat (1) dikaitkan dengan kesejahteraan secara umum termasuk ibu dan anak di dalamnya,” tambah Doktor hukum keluarga ini.
Terkait dengan norma dalam RUU KIA, Halim mengusulkan sejumlah gagasan agar keberadaan RUU KIA ini tidak setengah hati. Menurut dia, keberadaan RUU KIA menjadi momentum keberpihakan negara untuk memberikan hak-hak ibu dan anak dalam memberi kesejahteraan.
“Kami mendorong jangan setengah hati dalam merumuskan norma untuk kepentingan kesehataraan ibu dan anak,” tegas Ketua Badan Koordinasi Fakultas Hukum PTN Wilayah Barat ini.
Persoalan cuti melahirkan, Halim mengusulkan agar dilakukan cuti secara berjenjang dengan kualifikasi seperti saat melahirkan anak pertama diberikan fasilitas cuti maksimal selama 6 (enam) bulan dengan memperoleh fasilitas tunjangan melahirkan serta asupan gizi baik untuk ibu maupun anak.
“Sedangkan anak kedua dengan fasilitas cuti tiga bulan dengan fasilitas tunjangan melahirkan dan tambahan gizi dan susu untuk ibu dan anak, sedangkan anak ketiga cuti tiga bulan dengan tanpa tunjangan cuti dan tetap mendapatkan uang gizi dan susu bagi ibu dan anak ,” urai Halim mencontohkan.
Gagasan tersebut, menurut Halim mengadopsi norma yang terjadi di sejumlah negara yang membagi dengan tiga kelompok. Kelompok pertama yang memberikan cuti minimal atau lebih enam bulan. Kelompok kedua, negara yang mengatur maksimal cuti tiga bulan. Kelompok ketiga, cuti di bawah dua bulan antara 52 sampai 42 hari.
“Kelompok pertama seperti Croasia, 406 hari, disusul Albania, Australia, UK, Bosnia Herzegovina, Serbia, montenegro masing-masing 365 hari, Norwegia 322 hari, Bulgaria 227 hari dan Republik Crezh 196 hari dan masing-masingnya tetap mendapat gaji selama cuit melahirkan,” sebut Halum.
Dia berharap keberadaan RUU KIA ini dapat memberi aspek pengawasan lebih konkret saat pemberlakuannya kelak. Ia mencontohkan keberadaan Pasal 32 PP No 33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklutif yang menyebutkan kewajiban tempat bekerja menyiapkan ruang laktasi bagi ibu untuk menyusui buah hatinya.
“Nyatanya pemenuhan hak ASI eksklusif di kalangan ibu bekerja masih jauh panggang dari api. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial kurang mendukung para ibu bekerja untuk memberikan ASI sehingga memberi dampak negatif bagi ibu bekerja itu sendiri maupun anaknya,” sebut Halim.
Dia menyebutkan ruang publik belum ramah bagi ibu menyusui. Akibatnya tak sedikit ibu menyusui memompa ASI di tempat yang tak layak.