MONITOR, Jakarta – Di usia kemerdekaan yang hampir 77 tahun, praktik penyiksaan di Indonesia masih saja terjadi. Pada peringatan Hari Antipenyiksaan Internasional tanggal 26 Juni 2022, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat sedikitnya 13 kasus penyiksaan yang masuk ke LPSK pada 2020; 28 kasus pada 2021; dan 13 kasus pada Januari hingga Mei 2022.
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution mengungkapkan, walau datanya sebatas belasan atau puluhan, LPSK meyakini praktik penyiksaan ini sebagai gejala gunung es. Data itu belum tentu dapat menggambarkan peristiwa sesungguhnya.
“Bisa jadi, peristiwa sesungguhnya lebih besar dari itu. Sebab, tidak semua masyarakat yang mengalami (korban) atau saksi/yang melihat itu punya keberanian untuk melapor,” ujar Nasution di Jakarta, Senin (27/6/2022).
Adapun tahapan penyiksaan yang masuk ke LPSK, menurut Nasution, yang tertinggi pada tahap penangkapan. Kedua, ketika ada penyelidikan. Ketiga, justru di luar proses hukum. Dan, keempat, dalam masa tahanan.
“Siapa aktornya? Aktor/pelaku dari penyiksaan itu, pertama, penyelenggara negara, kedua, aparatur negara dan ketiga, pejabat publik,” kata dia.
Selain itu, lanjut Nasution, LPSK juga menemukan pola penyiksaan yang dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat sipil dengan penyelenggara negara. Misalnya, yang terjadi di Sumba.
“Yang manas-manasi, menghasut oknum tentara untuk melakukan kekerasan itu anggota DPRD,” kata dia lagi.
Nasution menandaskan, fenomena seperti ini masih saja terjadi tidak terlepas dari situasi di Indonesia. Persoalan substansi hukumnya. Indonesia belum mengatur soal mekanisme pencegahan penyiksaan dalam undang-undang induk, KUHP. Dalam KUHP, yang diatur adalah norma kekerasan, bukan penyiksaan.
Di samping itu, Indonesia meskipun sudah meratifikasi Convention Against Turture (CAT) pada 1998, tapi hingga kini, belum juga meratifikasi protokol opsional konvensi dunia melawan penyiksaan atau Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT).
Kedua, masih menurut Nasution, soal struktural. Belum semua aparat penegak hukum (APH) memiliki perspektif dan paradigma yang sama soal penyiksaan. Masih ada APH yang menyamakan kejahatan penyiksaan dengan kekerasan. Padahal, filosofi dan karakter keduanya sangat berbeda.
“Penyiksaan itu kekerasan yang dilakukan aparat negara (di rumah negara atau tempat-tempat yang sejatinya negara menjamin keamanan warganya) untuk menggali informasi,” jelas Nasution.
Tidak itu saja, APH juga masih ada yang paradigmanya jadul (ketinggalan zaman), mengejar pengakuan tersangka semata. Untuk mengejar pengakuan itu, karena miskin metodologi, kadang mengedepankan kekerasan. Padahal, dalam paradigma baru hukum pidana, pengakuan itu bukan segala-galanya.
Nasution menuturkan, masih ada APH yang menganggap bahwa kalau tersangka/terpidana diperlakukan demikian (penyiksaan) adalah wajar, karena mereka orang jahat.
“Ini paradigma keliru. Cacat nalar kemanusiaan. Kalaupun mereka salah, mereka sedang mempertanggungjawabkannya secara hukum,” tegas Nasution.
Ketiga, soal kultural. Masyarakat yang menjadi korban/saksi penyiksaan masih ada yang enggan melapor karena kehilangan kepercayaan, apalagi kalau terduga pelaku adalah APH. “Polisi misalnya. Kemudian dilaporkan ke polisi. Itu jeruk “makan” jeruk. Kalau pun diproses, paling selesai pada tingkat proses internal/disiplin. Demikian alasan mereka yang mengalami distrust,” ungkap Nasution.
Nasution juga meyakini masyarakat yang menjadi korban/saksi penyiksaan juga takut melapor. Berurusan dengan polisi, berproses hukum itu merepotkan, melelahkan. Demikian alasan mereka sehingga tidak mau melapor.
Nasution mengatakan, pada peringatan Hari Antipenyiksaan Internasional, 26 Juni 2022, pihaknya mendorong, pertama, pembuat UU diharapkan memasukkan norma penyiksaan dalam RKUHP.
“Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, di sisa-sisa periode keduanya ini, mengambil inisiatif baru meratifikasi OPCAT. Kalau ini terjadi, sungguh legesi yang baik, husnul khatimah,” ujar Nasution.
Kedua, mendorong APH agar mengintensifkan koordinasi untuk menyamakan perspektif dan paradigma bahwa tindak pidana penyiksaan itu berbeda dengan kekerasan. Ketiga, perlu edukasi dan sosialosasi terus-menerus agar masyarakat berani melapor apabila menjadi korban dan/atau saksi penyiksaan.
“Masyarakat juga perlu diyakinkan bahwa berani melapor kejahatan itu keren. Siapa pun yang berani melapor, laporannya akan diproses secara transparan dan berkeadilan,” pungkasnya.
MONITOR, Jakarta - Isu kemiskinan dan kelaparan menjadi isu yang sama-sama diserukan oleh Ketua DPR…
MONITOR, Jakarta - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo meminta Pemerintah untuk…
MONITOR, Jakarta - Keterbukaan informasi publik menjadi elemen penting dalam penyelenggaraan pemerintahan demokratis. Keterbukaan informasi…
MONITOR, Jakarta – PT Jasa Marga (Persero) Tbk. kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan meraih dua…
MONITOR, Jakarta - Dipanggilnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan dan Fahmi hakim ketua DPRD Provinsi…
MONITOR, Jakarta - Pemilih muda diperkirakan akan memainkan peran penting dalam menentukan hasil Pemilihan Kepala…