Jumat, 19 April, 2024

Partai Gelora Ungkap Kerugian Konstitusional dari Pemilu Serentak

MONITOR, Jakarta – Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyatakan, mengalami kerugian konstitusional karena adanya frasa ‘serentak’ pada pasal 167 ayat 3 dan 347 ayat 1 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Sebab,  frasa ‘serentak’ tersebut, dimaknai sebagai pemungutan suara pada waktu yang sama untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta memilih Anggota DPR RI dan DPRD.

Hal itu disampaikan Kuasa Hukum Pemohon Said Salahudin dalam sidang lanjutan gugatan keserentakan pemilu yang diajukan Partai Gelora pada Senin (11/4/2022).

Sidang perkara No. 35/PUU-XX/2022 ini digelar secara daring, dipimpin dipimpin Ketua Sidang Panel Hakim Konstitusi Suhartoyo, didampingi Hakim Konstitusi  Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Saldi Isra.

- Advertisement -

Menurut Pemohon, pemungutan suara yang dilaksanakan pada hari yang sama, khususnya untuk Pemilihan Presiden dengan DPR dan DPRD, membuat pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden  pada pemilu 2024 didasari pada perolehan suara oleh partai politik pemilu sebelumnya yaitu 2019. 

“Dalam kondisi demikian sebagai partai politik yang belum lahir pada 2019, Pemohon merasa hak konstitusional yang dijamin Pasal 28 huruf c ayat 2 UUD 1945 yang ingin diwujudkan melalui pengusulan calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada pemilu 2024, menjadi terlanggar atau tidak terpenuhi sehingga timbul kerugian konstitusional bagi Pemohon yang hilang kesempatannya,” papar Said.

Pemohon juga mengatakan apabila Pemilihan Presiden dan anggota DPR pada Pemilu 2024 tidak dilakukan pada hari yang sama. Atau Pemilihan DPR dan DPRD diselenggarakan lebih awal, maka syarat pengusulan calon Presiden dan calon Wakil Presiden pada Pemilu 2024 tidak didasari pada perolehan kursi partai politik DPR hasil Pemilu 2019.

“Hal ini mengingat bahwa sampai hari ini belum ada satupun partai politik yang telah dinyatakan sebagai peserta Pemilu 2024 oleh KPU. Status seluruh partai politik hari ini adalah bakal peserta pemilu 2024, baik partai politik mantan peserta Pemilu 2019 maupun partai politik baru yang akan mengikuti Pemilu 2024. Sehingga dalam kedudukan hukumnya, sama sebagai partai politik bakal calon peserta Pemilu 2004,” ujar Said.

Sehingga semua partai politik semestinya memiliki hak dan peluang yang sama, tidak boleh mendapatkan perlakuan berbeda antara satu partai dengan partai yang lain yang akan menjadi peserta Pemilu 2024.

“Dari uraian diatas, maka tergambar adanya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik secara aktual menurut penalaran yang wajar yang dapat terjadi atau akan dialami oleh pemohon. Dimana sebagaimana dijelaskan memperlihatkan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian konstitusional yang dialami dengan berlakunya pasal 167 ayat 3 dan 341 ayat 1 UU Pemilu,” tegasnya.

Said menegaskan, Partai Gelora tidak menggugat ambang batas pencalonan presiden.  Dengan begitu, permohonannya berbeda dengan Partai Ummat yang telah dinyatakan ditolak gugatannya oleh MK, karena bukan peserta pemilu 2019. 

“Batu uji yang kami ajukan berbeda dengan yang digunakan dalam uji materi yang pernah diputus Mahkamah. Pengujian kita pasal 167 ayat 3 dan 347 ayat 1. Berdasarkan pasal 60 ayat 2 UU MK  MK juncto 78 ayat 2 PMK Nomor 2/2021 tentang tata beracara dalam perkara pengujian UU dapat diajukan pengujian sepanjang menggunakan dasar konstitusional yang berbeda sehingga permohonan pemohon tidak nebis in idem,” jelasnya.

Pemohon lantas meminta MK menyatakan frasa ‘serentak’ pada 167 ayat 3 dan 347 ayat 1 UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pemilihan anggota DPR, DPRD, presiden dan wakil presiden terhitung sejak Pemilu 2024 tidak dilaksanakan pada hari yang sama, dan pemilihan presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah penetapan perolehan kursi DPR RI.

Karena itu, berdasarkan uraian diatas, maka pemohon memiliki legal standing. Pemohon juga telah menguraikan secara terperinci mengenai subyek hukum pemohon, sebagai partai politik yang telah resmi menjadi badan hukum berdasarkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.

“Dengan demikian Mahkamah berwenang untuk memeriksa mengadili dan memutus permohonan pemohon. Oleh sebab itu semua petitum bisa dikabulkan dan langsung dieksekusi,” tegas Said.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER