MONITOR, Banda Aceh – Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Prof Rokhmin Dahuri membeberkan sejumlah strategi pembangunan kelautan dan perikanan di Provinsi Aceh pada Rapat Koordinasi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Aceh di Banda Aceh, Selasa (1/3/2022).
“Sektor Kelautan dan Perikanan (KP) dianggap berperan (berjasa) signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan suatu wilayah (Kabupaten/Kota, Provinsi, atau Negara), bila ia mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata > 7% per tahun), berkualitas (banyak menyerap tenaga kerja), inklusif (mampu mensejahterakan seluruh pelaku usaha dan stakeholders secara berkeadilan), dan ramah lingkungan serta berkelanjutan (sustainable),” katanya.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut mengatakan bahwa Provinsi Aceh memiliki sejumlah potensi besar di sektor kelautan dan perikanan terutama untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan dan garam.
“Laut Aceh berada di WPP 571 & 572 dengan potensi SDI 423.410 ton/tahun (sumber: DKP Aceh, 2012). Hingga 2020, tingkat pemanfaatan potensi tersebut mencapai 46,97 persen. Aceh juga memiliki perairan umum darat dengan potensi perikanan tangkap di PUD Aceh, meliputi: 11 Wilayah Sungai, 154 Danau/Situ/Waduk/Embung, Rawa, dan Genangan Air Lainnya,” ujar Prof Rokhmin.
Adapun 11 Wilayah Sungai Aceh meliputi: Alas Singkil, Meureudu-Baro, Jamboe Aye, Woyla-Seunagan, Tripa-Bateutue, Krueng Aceh, Pase-Peusangan, Tamiang-Langsa, Teunom-Lambeusoi, Krueng Baru-Kluet, dan Pulau Simeulue. Sementara 10 Danau/Situ/Waduk/Embung terluas di Aceh diantaranya: 1. Danau Laut Tawar (5.761 ha), 2. Waduk Keuliling (266 ha), 3. Waduk Paya Seunara (96 ha), 4. Danau Bungara (86 ha), 5. Danau Paris (58 ha), 6. Danau Aneuk Laot (46 ha), 7. Embung Pineung Suasa (42 ha), 8. Waduk Sianjo-anjo (42 ha), 9. Embung Paya Nie (42 ha), dan 10. Danau Pinang (34 ha).
Sedangkan untuk perikanan budidaya, total potensi lahan perikanan budidaya Provinsi Aceh sebesar 358.091 ha, dimana tingkat pemanfaatan hingga 2020 baru 40%, dengan dominan dari jenis budidaya Air Tawar dimana udang menjadi komoditas tertinggi produksi Perikanan Budidaya Kab./Kota Pesisir Aceh.
“Sektor industri pengolahan hasil perikanan mencatatkan potensi dimana Ekspor produk perikanan Aceh dominan komoditas Tuna-Tongkol-Cakalang/TTC (88% total volume dan 84% total nilai),” terangnya.
Untuk Produksi Garam Non Tambak Nasional tahun 2019 (ton) Aceh merupakan produsen terbesar garam non tambak nasional (72%) dimana Sekitar 96% produksi garam Aceh berasal dari non tambak Produksi terbesar berasal dari Kabupaten Pidie (39%).
Adapun strategi pembangunan sektor kelautan dan perikanan provinsi Aceh yang harus dijalankan antara lain: Pertama, peningkatan produktivitas (CPUE, Hasil Tangkap per Satuan Upaya) dan efisiensi secara berkelanjutan (sustainable).
“Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan di Kabupaten/Kota Pesisir: Pantai Timur, Pantai Barat Aceh, P. Sabang, dan PUD,” ungkapnya.
Kedua, Modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan/bulan.
Ketiga, Pengembangan kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (WPP-571 dan WPP-572), dan laut lepas > 200 mil.
Keempat, Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety).
Kelima, Pemerintah wajib menyediakan sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah Provinsi Aceh.
Keenam, Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual kapan saja dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan).
Ketujuh, Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.
Untuk ub sektor Perikanan Budidaya, beberapa streteginya adalah; pertama, revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.
Kedua, Ekstensifikasi usaha di lahan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); payau (udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun darat (nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah). Tahun 2022 – 2024 Pengembangan 10.000 ha tambak udang Vaname intensif di: Pantai Timur dan Pantai Barat Aceh.
Ketiga, Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat. “Penguatan dan pengembangan usaha perikanan budidaya di setiap Kabupaten dan Kota berbasis komoditas unggulan setempat (lokal),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.
Menurut Prof Rokhmin, untuk Kabupaten/Kota non-pesisir, komoditas/spesies unggulannya adalah jenis-jenis ikan perairan tawar, seperti: ikan Nila, Gurame, Mas, Patin, Lele, Baung, Lobster Air Tawar, Udang Galah, dan ikan hias. Sedangkan untuk Kabupaten/Kota pesisir komoditas unggulan di perairan laut: kakap putih, kerapu, kerang hijau, kerang darah, gonggong, lobster, bawal bintang, dan rumput laut (Euchema spp).
“Komoditas unggulan perairan payau (tambak): Udang Vaname, Nila Salin, Bandeng, Kepiting, dan Rumput Laut (Gracillaria spp). Komoditas unggulan di perairan tawar: ikan Nila, Gurame, Mas, Patin, Lele, Baung, Lobster Air Tawar, Udang Galah, dan ikan hias,” terangnya.
Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga merekomendasikan beberapa hal yang mesti dikerjakan pemprov Aceh antara lain Penyusunan Rencana Pembangunan, Investasi, dan Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan oleh setiap Kabupaten/Kota, Penyusunan Proposal Pembangunan KP sesuai kebutuhan di setiap Kabupaten/Kota.
“Berdasarkan pada hal diatas, pemprov bisa menarik dana APBN (KKP, Kemen PUPR, Kemenhub, Kemenperin, dll) dan APBD Propinsi; dan menarik investor yang credible,” jelasnya.
Selain itu yang terpenting menurut Prof Rokhmin, pemerintah harus menghadirkan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif dan atraktif: perizinan, keadilan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, keamanan berusaha, tenaga kerja, RTRW, infrastruktur, dan lain-lain.
MONITOR, Jakarta - Ketua DPR RI Puan Maharani berharap peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2024…
MONITOR, Jakarta - Koperasi sebagai tonggak pemberdayaan masyarakat, telah membuktikan bahwa ekonomi yang kuat dapat…
MONITOR, Banten - Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Mendes PDT) Yandri Susanto mengaku kaget…
MONITOR, Jakarta – Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imipas) menyerahkan bantuan untuk pengungsi erupsi Gunung Lewotobi di Lembata, Nusa Tenggara…
MONITOR, Jakarta - Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) mengeluarkan surat penangkapan bagi…
MONITOR, Jakarta - Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Prof. Dr. Ir. Rokhmin…