Jumat, 22 November, 2024

Komisi VIII DPR Minta Perpres Sanksi Menolak Vaksin Dicabut, Ini Alasannya

MONITOR, Jakarta – Langkah pemerintah memberikan sanksi denda kepada masyarakat yang menolak divaksin menuai kritik. Salah satunya datang dari Anggota Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf. Bukhori menilai, kendati dalam situasi darurat, manajemen krisis oleh pemerintah tidak boleh mengabaikan aspek humanisme.

Politisi PKS ini menambahkan, untuk mencapai kesadaran publik atas pentingnya vaksin bagi kesehatan sekaligus usaha pemulihan ekonomi nasional, pemerintah tidak sepatutnya pendek akal. Apalagi sampai membahasakan pesan tersebut dengan narasi yang agresif.  

“Pada hakikatnya, PKS akan mendukung setiap kebijakan pemerintah dalam menanggulangi pandemi sepanjang mengutamakan keselamatan masyarakat dan dilakukan melalui cara-cara yang humanis. Terkait halnya sanksi denda bagi warga penolak vaksin, sangat disesalkan bahwa kami tidak melihat cara tersebut sebagai metode yang diilhami dari pikiran yang jernih,” ungkapnya.

“Masyarakat sudah depresi karena pandemi. Bansos saja dikorupsi. Kini, kembali dibebankan oleh sanksi denda hanya karena menolak vaksinasi? Sementara, vaksin itu bersifat pilihan karena itu hak,” ujarnya.

- Advertisement -

Anggota Komisi Kebencanaan ini menerangkan, dirinya bisa memahami niat baik pemerintah, yakni untuk segera membentuk herd immunity melalui aturan anyar ini (red, Peraturan Presiden Nomor 14 tahun 2021). Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa dirinya juga turut mencermati kondisi gejolak sosial dan psikologis masyarakat, utamanya kecemasan dari kelompok masyarakat yang masih ragu terhadap vaksin.

“Secara garis besar ada beberapa alasan utama dari warga yang masih diliputi rasa bimbang. Pertama, masih ada yang mempertanyakan simpang siur kehalalan vaksin. Kedua, soal efek samping serius dari vaksin mengingat ini menyangkut nyawa. Misalnya, beberapa negara di dunia telah melaporkan kasus pembekuan darah setelah vaksinasi sehingga secara fatal berakibat pada kematian. Ketiga, sejauh mana keamanan vaksin dan kepastian pertanggungjawaban pemerintah jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan,” paparnya.

Keterangan politisi dapil Jateng 1 ini senada dengan hasil survei yang dilakukan oleh University of Maryland dan Facebook yang kemudian dirilis oleh Kementerian Kesehatan pada 12 Mei 2021. Hasil survei tersebut menyebutkan sejumlah alasan masyarakat yang ragu divaksin mulai dari urutan dengan persentase tertinggi. Di antaranya sebanyak 49% karena alasan khawatir efek samping. Kemudian sebanyak 35% dengan alasan menunggu dan melihat situasi aman, sementara sekitar 7% dengan alasan bertentangan dengan kepercayaan/agama.

Anggota Komisi Agama ini meyakini, sejatinya tidak ada masyarakat yang menginginkan dirinya rentan terhadap virus Covid-19. Apalagi dalam syariat, vaksinasi adalah bagian dari ikhtiar seorang muslim untuk Hifzun Nafs atau menjaga jiwa.

Ia pun menyarankan supaya Perpres tersebut dicabut dan meminta pemerintah berfokus pada strategi edukasi yang masif.  

“Artinya, akar permasalahan bukan terletak pada faktor keengganan masyarakat untuk divaksin, tetapi sejauh mana efektivitas pemerintah dalam mendialogkan duduk perkara dengan masyarakat, mengkomunikasikan pesan soal manfaat dan kepastian vaksin, serta meluruskan kabar hoax soal vaksin di tengah masyarakat. Ini adalah cara-cara humanis untuk membangkitkan kesadaran publik tanpa harus membuat mereka benci dengan program baik pemerintah,” jelasnya.

Tidak hanya itu, demikian Bukhori melanjutkan, untuk memastikan niat baik pemerintah ini bisa sampai dengan utuh hingga ke masyarakat akar rumput, butuh kerja kolosal yang melibatkan banyak pihak. Misalnya tokoh agama dan tokoh masyarakat. Tokoh agama/masyarakat dari tingkat pusat hingga daerah, menurutnya, perlu dirangkul oleh pemerintah untuk bekerjasama memberikan edukasi kepada masyarakat.

“Perlu dipastikan bahwa para tokoh agama/masyarakat tidak hanya dilihat sebagai objek penerima vaksin semata, tetapi sebagai subjek berdaya yang bisa menyukseskan upaya percepatan vaksinasi dengan menjadi bagian tim khusus penyuluh vaksin di bawah supervisi otoritas kesehatan setempat,” ujar Anggota Komisi Agama ini.

Di sisi lain, Bukhori juga menyoroti persoalan terkait  manajemen penyelenggaraan vaksinasi massal di sejumlah tempat yang lemah secara tata kelola. Beberapa penyelenggara terbukti gagal mengantisipasi kerumunan yang ditimbulkan akibat antrian yang membludak. Alhasil, usaha vaksinasi menjadi kontradiktif dengan tujuan utamanya.

“Demi menghindari kerumunan dan percepatan vaksinasi, sebaiknya setiap penyelenggaraan vaksinasi dilakukan dengan menggandeng layanan RT/RW. Alasannya, pengondisian massa lebih mudah dilakukan. Kedua, sasaran lebih mudah teridentifikasi, khususnya bagi mereka yang masih ragu, bisa segera diedukasi oleh pengurus RT/RW setempat,” usulnya.

Ketua DPP PKS ini juga memperingatkan, upaya vaksinasi akan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan upaya menekan mobilitas warga. Menurutnya, pemerintah semestinya tidak serba tanggung dalam meramu kebijakan untuk merespons kondisi aktual terkait pandemi. Sebab kebijakan yang serba tanggung hanya akan menjadi bom waktu yang akan menguras biaya sosial-ekonomi lebih tinggi di kemudian hari.

“Kebijakan pemerintah yang tidak konsisten sedari awal telah menyebabkan kecemasan bagi masyarakat. Desakan daerah maupun para ahli untuk segera menerapkan karantina wilayah selama beberapa waktu ke depan demi membatasi mobilitas warga secara ketat harus dicermati dengan serius oleh Presiden Jokowi. Unsur ini menjadi penting mengingat vaksinasi bukan satu-satunya kunci menanggulangi pandemi,” pungkasnya.

- Advertisement -

BERITA TERKAIT

TERPOPULER